Sastra Jawa


Sastra adalah perwujudan pikiran dalam bentuk tulisan. Tulisan adalah media pemikiran yang tercurah melalui bahasa, bahasa yang bisa direpresentasikan dalam bentuk tulisan, media lain bisa saja berbentuk gambar, melody musik, lukisan ataupun karya lingkungan binaan (arsitektur). Sastra menjadi bagian dari budaya masyarakat.Sastra secara etimologi berasal dari bahasa Sansekerta, berasal dari akar kata ‘sas’,
yang dalam kata kerja turunan berarti ‘mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk/intruksi. Akhiran ‘tra’ menunjuk pada alat, sarana, sehingga sastra berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran.
Biasanya kata sastra diberi awalan ‘su’ ( menjadi susastra ). Su artinya ‘baik’, indah, sehingga istilah susastra berarti pengajaran atau petunjuk yang tertuang dalam suatu tulisan yang berisi hal-hal yang baik dan indah, atau dengan kata lain, ‘belles-letters’ ( tulisan yang indah dan sopan ).
Sebagai bahan dasar sastra (kesusasteraan) adalah bahasa. Bahasa yang digunakan dalam kesusasteraan memang berbeda dengan bahasa keilmuan maupun bahasa yang digunakan sehari-hari.
Bentuk karya sastra juga ada beberapa macam,
meliputi; Karya sastra yang berbentuk prosa, karya sastra yang berbentuk puisi dan
 karya sastra yang berbentuk drama.
Karya sastra lebih berfungsi untuk menghibur dan sekaligus memberi pengajaran sesuatu terhadap manusia. Sastra juga berfungsi untuk mengungkapkan adanya nilai keindahan (yang indah), nilai manfaat (berguna), dan mengandung nilai moralitas (pesan moral).
Melihat sastra yang begitu banyak ragam dan begitu panjang sejarahnya, menarik bagi kita untuk sedikit membahas tentang sastra jawa. Sastra yang sekarang ini tampak terpinggirkan dikarenakan kepentingan kebangsaan kita.

Sedikit sebagai patokan dalam perioderisasi sastra Jawa, kebanyakkan kidung ditulis di Bali. Berdasarkan karya-karya yang kita miliki, semua karya sastra Jawa pertengahan berasal dari Bali, tetapi tidak berarti bahwa karya ini tidak dikenal di Jawa sebelum runtuhnya Majapahit.
Istilah Jawa kuno, Jawa pertengahan, dan Jawa modern jika ditilik dari linguistik benar-benar membingungkan. Seolah-olah perioderisasi ini dibuat hanya berdasarkan masa atau kejadian tertentu. Istilah Jawa modern biasanya dipakai untuk menunjukkan bahasa yang dipakai dalam sastra Jawa padaawal abad ke-19.
Menurut sebuah teori, perioderisasi sastra tersebut berdasarkan rangkaian-rangkaian peristiwa. Hingga masa kekuasaan Majapahit, selain bahasa Jawa kuno yang digunakan menulis kakawin, jugaada bahasa Jawa lain, yang juga digunakan untuk menulis karya sastra lain. Setelah muncul kekuasaan Islam, bahasa Jawa lain itu pecah menjadi dua, yaitu bahasa Jawa yang dipergunakan di Bali dan disebut Jawa pertengahan, dan bahasa yang digunakan masyarakat Islam selanjutnya yang disebut Jawa modern. Memang teori ini masih memiliki kelemahan-kelemahan, namun secara rasional dapat diterima.
Dahulu, sastrawan Jawa menulis karyanya di lempengan batu dan prasasti, namun ada juga yang menggunakan daun lontar. Lontar tersebut diproses hingga menjadi kaku dan siap ditulisi. Jika berupa cerita, biasanya lontar tersebut dipotong-potong berukuran panjang 40-60 cm dan 3-5 cm untuk lebarnya. Bagian ujung dilubangi sehingga dapat dibendel kemudian diberi cover dari bahan yang lebih tebal. Sayangnya daun lontar tidak dapat bertahan lama. Kerusakan umumnya disebabkan karena serangga. Jarang ada daun lontar yang sanggup bertahan berabad-abad, Indonesia hanya memiliki daun lontar yang berumur 1-1.5 abad. Koleksi karya sastra kuno tersebut ada di tiga tempat, yaitu: Perpustakaan nasional di Jakarta, perpustakaan Universitas negeri Liden, Belanda, dan perpustakaan Kirtya di Singaraja. Koleksi terbanyak ada di Leiden. Ini tidak mengherankan karena pada saat itu pemerhati budaya Jawa banyak berasal dari Belanda.
Karya-karya sastra Jawa turut andil dalam perkembangan sastra Nusantara, karya-karya pujangga besar seperti Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca, Arjunawiwaha-Mpu Kanwa, Sutasoma, Ramayana, Desawarnana, Porusadasanta, Kidung Sunda, dan masih banyak lagi yang lain. Adanya karya-karya sastra tersebut hingga sekarang juga karena jasa juru salin, yang mengawetkan karya sastra tersebut dari tahun ke tahun. Kemungkinan kesalahan tulis dapat terjadi. Bisa dikarenakan kekurangtelitian atau kemiripan huruf, kesalahan itu dapat terjadi.
Karya-karya sastra tersebut merupakan salah satu kekayaan bangsa kita, dimana kita dapat mengetahui suatu sejarah dan pemikiran nenek moyang kita. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa penelitian di bidang ini masih terbuka luas. Masih banyak hal-hal yang tidak kita ketahui, misal perdebatan akan perioderisasi sastra Jawa, dan masih banyaknya karya yang sulit dibaca. Perlu adanya tekad dan usaha kita sebagai bangsa yang mencintai budaya untuk tetap melestarikan karya-karya langka ini. Memang upaya ini tidak bisa dipaksakan ke generasi muda mengingat banyaknya hal-hal yang mungkin lebih menarik minat mereka. Namun pasti di antara mereka masih banyak yang sadar dan mencintai budaya, mungkin perlu adanya suatu badan yang mengkoordinasi upaya pelestari sastra Jawa, dimana kegiatan-kegiatannya dapat menarik minat para pemuda-pemudi bangsa.

1. Periodesasi sastra jawa kuno
Sastra Jawa Kuno atau seringkali dieja sebagai Sastra Jawa Kuna meliputi sastra yang ditulis dalambahasa Jawa Kuna pada periode kurang-lebih ditulis dari abad ke-9 sampai abad ke-14 Masehi, dimulai denganPrasasti Sukabumi. Karya sastra ini ditulis baik dalam bentuk prosa (gancaran) maupun puisi (kakawin). Karya-karya ini mencakup genre seperti sajak wiracarita, undang-undang hukum, kronik (babad), dan kitab-kitab keagamaan.
Sastra Jawa Kuno diwariskan dalam bentuk manuskrip dan prasasti. Manuskrip-manuskrip yang memuat teks Jawa Kuno jumlahnya sampai ribuan sementara prasasti-prasasti ada puluhan dan bahkan ratusan jumlahnya. Meski di sini harus diberi catatan bahwa tidak semua prasasti memuat teks kesusastraan.
Karya-karya sastra Jawa penting yang ditulis pada periode ini termasuk Candakarana, Kakawin Ramayana dan terjemahan Mahabharata dalam bahasa Jawa Kuno.
Karya sastra Jawa Kuno sebagian besar terlestarikan di Bali dan ditulis pada naskah-naskah manuskrip lontar. Walau sebagian besar sastra Jawa Kuno terlestarikan di Bali, di Jawa dan Madura ada pula sastra Jawa Kuno yang terlestarikan. Bahkan di Jawa terdapat pula teks-teks Jawa Kuno yang tidak dikenal di Bali.
Penelitian ilmiah mengenai sastra Jawa Kuno mulai berkembang pada abad ke-19 awal dan mulanya dirintis oleh Stamford Raffles, Gubernur-Jenderal dari Britania Raya yang memerintah di pulau Jawa. Selain sebagai seorang negarawan beliau juga tertarik dengan kebudayaan setempat. Bersama asistennya, Kolonel Colin Mackenzie beliau mengumpulkan dan meneliti naskah-naskah Jawa Kuno.
Istilah sastra Jawa Kuno agak sedikit rancu. Istilah ini bisa berarti sastra dalam bahasa Jawa sebelum masuknya pengaruh Islam atau pembagian yang lebih halus lagi: sastra Jawa yang terlama. Jadi merupakan sastra Jawa sebelum masa sastra Jawa Pertengahan. Sastra Jawa Pertengahan adalah masa transisi antara sastra Jawa Kuno dan sastra Jawa Baru. Di dalam artikel ini, pengertian terakhir inilah yang dipakai
Periodesasi sastra jawa baru
Sastra Jawa Baru kurang-lebih muncul setelah masuknya agama Islam di pulau Jawa dari Demak antara abad kelima belas dan keenam belas Masehi.
Dengan masuknya agama Islam, orang Jawa mendapatkan ilham baru dalam menulis karya sastra mereka. Maka, pada masa-masa awal, zaman Sastra Jawa Baru, banyak pula digubah karya-karya sastra mengenai agama Islam. Suluk Malang Sumirang adalah salah satu yang terpenting.
Kemudian pada masa ini muncul pula karya-karya sastra bersifat ensiklopedis seperti Serat Jatiswara danSerat Centhini. Para penulis ‘ensiklopedia’ ini rupanya ingin mengumpulkan dan melestarikan semua ilmu yang (masih) ada di pulau Jawa, sebab karya-karya sastra ini mengandung banyak pengetahuan dari masa yang lebih lampau, yaitu masa sastra Jawa Kuna.
Gaya bahasa pada masa-masa awal masih mirip dengan Bahasa Jawa Tengahan. Setelah tahun ~ 1650,bahasa Jawa gaya Surakarta menjadi semakin dominan. Setelah masa ini, ada pula renaisans Sastra Jawa Kuna. Kitab-kitab kuna yang bernapaskan agama Hindu-Buddha mulai dipelajari lagi dan digubah dalam bahasa Jawa Baru.
Sebuah jenis karya yang khusus adalah babad, yang menceritakan sejarah. Jenis ini juga didapati pada Sastra Jawa-Bali.
3. Periodesasi sastra jawa pertengahan
Sastra Jawa Pertengahan muncul di Kerajaan Majapahit, mulai dari abad ke-13 sampai kira-kira abad ke-16. Setelah ini, sastra Jawa Tengahan diteruskan di Bali menjadi Sastra Jawa-Bali. Pada masa ini muncul karya-karya puisi yang berdasarkan metrum Jawa atau Indonesia asli. Karya-karya ini disebut kidung.
Daftar Prosa Sastra Jawa Tengahan
Tantu Panggelaran
Calon Arang
Tantri Kamandaka
Korawasrama
Pararaton
Daftar Puisi Sastra Jawa Tengahan
Kakawin Dewaruci
Kidung Sudamala
Kidung Subrata
Kidung Sunda
Kidung Panji Angreni
Kidung Sri Tanjung
4. Periodesasi sastra jawa moderen
Sastra Jawa Modern muncul setelah pengaruh penjajah Belanda dan semakin terasa di Pulau Jawa sejak abad kesembilan belas Masehi.
Para cendekiawan Belanda memberi saran para pujangga Jawa untuk menulis cerita atau kisah mirip orangBarat dan tidak selalu berdasarkan mitologi, cerita wayang, dan sebagainya. Maka, lalu muncullah karyasastra seperti di Dunia Barat; esai, roman, novel, dan sebagainya. Genre yang cukup populer adalah tentangperjalanan.
Gaya bahasa pada masa ini masih mirip dengan Bahasa Jawa Baru. Perbedaan utamanya ialah semakin banyak digunakannya kata-kata Melayu, dan juga kata-kata Belanda.
Pada masa ini (tahun 1839, oleh Taco Roorda) juga diciptakan huruf cetak berdasarkan aksara Jawa gayaSurakarta untuk Bahasa Jawa, yang kemudian menjadi standar di pulau Jawa.

e

Daftar Pustaka
• Amin, Drs, Darori, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000.
• Astianto, Henny, Filsafat Jawa, Yogyakarta: Warta Pustaka, 2006.
• Faruqi, Ismail R, Islam dan Kebudayaan, Bandung: MIZAN, 1984.
• Hasan, M, Tholhah, Islam dalam Perspektif Sosial Cultural, Jakarta: Lata Bora Pers, 1987.
• Padmosoekotjo, Ngengrengan Kasusastran Djawa. Jogjakarta: Hien Hoo Sing, 1960.









BASA JAWA

Bahasa Jawa adalah bahasa tutur yang digunakan oleh penduduk asli suku Jawa terutama yang tinggal di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta. 
namun dalam prakteknya, tidak semua bahasa satu daerah sama. Bahasa Jawa memiliki ragam dialek yang sangat banyak sekali. 
berikut sedikit dialek yang menguasai daerah Jawa :
1. Bahasa Jawa Semarang adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di Karesidenan Semarang. Dialek ini tak banyak berbeda dengan dialek di daerah Jawa lainnya. Semarang termasuk daerah pesisir Jawa bagian utara, maka tak beda dengan daerah lainnya, YogyakartaSoloBoyolali dan Salatiga. Walau letak daerah Semarang yang heterogan dari pesisir (Pekalongan/Weleri, Kudus/Demak/Purwodadi) dan dari daerah bagian selatan/pegunungan membuat dialek yang dipakai memiliki kata ngokongoko andhap dan madya di Semarang ada di zaman sekarang.
·         Frasa: "Yo ora.." (Ya tidak) dalam dialek semarang menjadi "Yo orak too ". Kata ini sudah menjadi dialek sehari-hari para penduduk Semarang.
·         Contoh lain: " kuwi ugo" (itu juga) dalam dialek Semarang menjadi "kuwi barang" ("barang" diucapkan sampai sengau memakai huruf h "bharhang").
Para pemakai dialek Semarang juga senang menyingkat frasa, misalnya Lampu abang ijo (lampu lalu lintas) menjadi "Bang-Jo", Limang rupiah (5 rupiah) menjadi "mang-pi", kebun binatangmenjadi "Bon-bin", seratus (100) menjadi "nyatus", dan sebagainya. Namun tak semua frasa bisa disingkat, sebab tergantung kepada kesepakatan dan minat para penduduk Semarang mengenai frasa mana yang disingkat. Jadi contohnya "Taman lele" tak bisa disingkat "Tam-lel" juga Gedung Batu tak bisa menjadi "Ge-bat", dsb.
Namun ada juga kalimat-kalimat yang disingkat, contohnya; "Kau lho pak mu Nadri" artinya "Itu lho pamanmu dari Wanadri". "Arep numpak Kijang kol" artinya akan menumpang omprengan. Zaman dulu kendaraan omprengan biasa menggunakan mobil merk "Colt", disebut "kol" maka setelah diganti "Toyota Kijang" menjadi Kijang-kol. Apa lacur kini ada yang menjadi "mercy-kol".
Adanya para warga/budaya yang heterogen dari Jawa, TiongkokArabPakistan/India juga memiliki sifat terbuka dan ramah di Semarang tadi, juga akan menambah kosakata dan dialektik Semarang di kemudian hari. Adanya bahasa Jawa yang dipergunakan tetap mengganggu bahasa Jawa yang baku, sama dengan di daerah Solo. Artinya, jika orang Kudus, Pekalongan, Boyolali pergi ke kota Semarang akan gampang dan komunikatif berkomunikasi dengan penduduknya.
Dialek Semarang memiliki kata-kata yang khas yang sering diucapkan penuturnya dan menjadi ciri tersendiri yang membdakan dengan dialek Jawa lainnya. Orang Semarang suka mengucapkan kata-kata seperti "Piye, jal?" (=Bagaimana, coba?) dan "Yo, mesti!". Orang semarang lebih suka menggunakan kata "He'e" daripada "Yo" atau "Ya".
Orang Semarang juga lebih banyak menggunakan partikel "ik" untuk mengungkapkan kekaguman atau kekecewaan yang sebenarnya tidak dimiliki oleh bahasa Jawa. Misalnya untuk menyatakan kekaguman :"Alangkah indahnya!", orang Semarang berkata: "Apik,ik!". Contoh lain untuk menyatakan kekecewaan: "Sayang, orangnya pergi!", orang Semarang berkata: "Wonge lungo, ik"!.
Partikel "ik" kemungkinan berasal dari kata "iku" yang berarti "itu' dalam bahasa Jawa, sehingga untuk mengungkapkan kesungguhan orang Semarang mengucapkan "He'e, ik!" atau "Yo, ik".
Beberapa kosakata khas Semarang adalah: "semeh" Yang berarti "ibu" dan "sebeh" yang berarti "ayah", yang dalam dialek Jawa yang lain, "sebeh" sering dipakai dalam arti "mantra" atau "guna-guna"
2. Bahasa Jawa Surakarta adalah dialek bahasa Jawa yang diucapkan di daerah Surakarta dan sekitarnya. Dialek ini menjadi standar bagi pengajaran bahasa Jawa.
Meskipun satu rumpun, Bahasa Jawa di tiap daerah di Jawa Tengah mempunyai ciri-ciri tersendiri yang khas mencerminkan dari mana asal Bahasa Jawa tersebut.
Untuk istilah "dingin" di Surakarta menggunakan kata Bahasa Jawa "adem", sedangkan orang yang tinggal di Semarang menyebutnya "atis". Contoh:
"'Lha piye tho, aku meh mangkat nanging ra duwe duit."
("Bagaimana ini, saya akan berangkat tapi tidak punya uang.")
"Mbok kowe mesake aku, dijilehi duit piro wae sak nduwekmu."
("Kasihani aku, dipinjami uang berapa saja yang kamu punya.")
"Sesok tak baleke yen wis oleh kiriman soko mbakyu ku."
("Besok (dalam waktu yang tidak bisa ditentukan kapan) saya kembalikan kalau sudah dapat kiriman dari kakak perempuan saya.")

3. Dialek Surabaya atau lebih sering dikenal sebagai bahasa Suroboyoan adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di Surabaya dan sekitarnya. Dialek ini berkembang dan digunakan oleh sebagian masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Secara struktural bahasa, bahasa Suroboyoan dapat dikatakan sebagai bahasa paling kasar. Meskipun demikian, bahasa dengan tingkatan yang lebih halus masih dipakai oleh beberapa orang Surabaya, sebagai bentuk penghormatan atas orang lain. Namun demikian penggunaan bahasa Jawa halus (madya sampai krama) di kalangan orang-orang Surabaya kebanyakan tidaklah sehalus di Jawa Tengah terutama Yogyakarta dan Surakarta dengan banyak mencampurkan kata sehari-hari yang lebih kasar.
Beberapa kosa kata khas Suroboyoan:
·         "Pongor, Gibeng, Santap, Waso (istilah untuk Pukul atau Hantam);
·         "kathuken" berarti "kedinginan" (bahasa Jawa standar: kademen);
·         "gurung" berarti "belum" (bahasa Jawa standar: durung);
·         "gudhuk" berarti "bukan" (bahasa Jawa standar: dudu);
·         "deleh" berarti "taruh/letak" (delehen=letakkan) (bahasa Jawa standar: dekek);
·         "kek" berarti "beri" (kek'ono=berilah) (bahasa Jawa standar: wenehi);
·         "ae" berarti "saja" (bahasa Jawa standar: wae);
·         "gak" berarti "tidak" (bahasa Jawa standar: ora);
·         "arek" berarti "anak" (bahasa Jawa standar: bocah);
·         "kate/kape" berarti "akan" (bahasa Jawa standar: arep);
·         "lapo" berarti "sedang apa" atau "ngapain" (bahasa Jawa standar: ngopo);
·         "opo'o" berarti "mengapa" (bahasa Jawa standar: kenopo);
·         "soale" berarti "karena" (bahasa Jawa standar: kerono);
·         "atik" (diucapkan "atek") berarti "pakai" atau "boleh" (khusus dalam kalimat"gak atik!" yang artinya "tidak boleh");

4. Dialek Banyumasan atau sering disebut Bahasa Ngapak adalah kelompok bahasa bahasa Jawa yang dipergunakan di wilayah barat Jawa Tengah,Indonesia. Beberapa kosakata dan dialeknya juga dipergunakan di Banten utara serta daerah Cirebon-Indramayu. Logat bahasanya agak berbeda dibanding dialek bahasa Jawa lainnya. Hal ini disebabkan bahasa Banyumasan masih berhubungan erat dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi).
Bahasa Banyumasan terkenal dengan cara bicaranya yang khas. Dialek ini disebut Banyumasan karena dipakai oleh masyarakat yang tinggal di wilayah Banyumasan.
Seorang ahli bahasa Belanda, E.M. Uhlenbeck, mengelompokan dialek-dialek yang dipergunakan di wilayah barat dari Jawa Tengah sebagai kelompok (rumpun) bahasa Jawa bagian barat (Banyumasan, Tegalan, Cirebonan dan Banten Utara). Kelompok lainnya adalah bahasa Jawa bagian Tengah (Surakarta, Yogyakarta, Semarang dll) dan kelompok bahasa Jawa bagian Timur.
Kelompok bahasa Jawa bagian barat (harap dibedakan dengan Jawa Barat/Bahasa Sunda) inilah yang sering disebut bahasa Banyumasan (ngapak-ngapak).
Secara geografis, wilayah Banten utara dan Cirebon-Indramayu memang berada di luar wilayah berbudaya Banyumasan tetapi menurut budayawan Cirebon TD Sudjana, logat bahasanya memang terdengar sangat mirip dengan bahasa Banyumasan. Hal ini menarik untuk dikaji secara historis.
Dibandingkan dengan bahasa Jawa dialek Yogyakarta dan Surakarta, dialek Banyumasan banyak sekali bedanya. Perbedaan yang utama yakni akhiran 'a' tetap diucapkan 'a' bukan 'o'. Jadi jika di Solo orang makan 'sego' (nasi), di wilayah Banyumasan orang makan 'sega'. Selain itu, kata-kata yang berakhiran huruf mati dibaca penuh, misalnya kata enak oleh dialek lain bunyinya ena, sedangkan dalam dialek Banyumasan dibaca enakdengan suara huruf 'k' yang jelas, itulah sebabnya bahasa Banyumasan dikenal dengan bahasa Ngapak atau Ngapak-ngapak.

Dalam dalam satu kota pun terkadang masih banyak lagi logat daerah yang beragam. misalnya dalam lingkup kecil aja, logat daerah Pati akan ada perbedaan logat Jepara, Kudus. ini menjadi satu kekayaan budaya yang dimiliki Jawa.



Teori Sastra Bab MIMETIK

A.PENGERTIAN MIMETIK
Secara Umum Pendekatan mimetik adalah pendekatan yang mendasarkan
 pada hubungan karya sastra dengan universe (semesta) atau lingkungan sosial-budaya
yang melatarbelakangi lahirnya karya sastra itu. Tetapi menurut beberapa pakar
mimetik yakni:
        Pendekatan mimetik adalah pendekatan kajian sastra yang menitik beratkan
kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra.
Pendekatan yang memandang karya sastra sebagai imitasi dan realitas (Abrams
1981 :89).
        Aristoteles berpendapat bahwa mimesis bukan sekedar tiruan. bukan sekedar
 potret dan realitas, melainkan telah melalui kesadaran personal batin
 pengarangnya. Puisi sebagal karya sastra, mampu memaparkan realitas di luar diri
manusia persis apa adanya. Maka karya sastra seperti halnya puisi merupakan
cerminan representasi dan realitas itu sendiri.
        Pendapat Plato tentang seni. Menurut Plato seni hanya dapat meniru dan
membayangkan hal-hal yang ada dalam kenyataan yang nampak. Dan seni yang
terbaik adalah lewat mimetik.
Mimesis merupakan salah satu wacana yang ditinggalkan Plato dan
Aristoteles sejak masa keemasan filsafat Yunani Kuno. hingga pada akhirnya Abrams
memasukkannya menjadi salah satu pendekatan utama untuk menganalisis sastra
selain pendekatan ekspresif, pragmatik dan objektif. Mimesis merupakan ibu dan
 pendekatan sosiologi sastra yang darinya dilahirkan puluhan metode kritik sastra
yang lain.
Mimesis berasal bahasa Yunani yang berarti tiruan. Dalam hubungannya
dengan kritik sastra mimesis diartikan sebagai pendekatan sebuah pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra selalu berupaya untuk mengaitkan karya sastra dengan
realitas atau kenyataan. Perbedaan pandangan Plato dan Aristoteles menjadi sangat
menarik karena keduanya merupakan awal filsafat alam, merekalah yang
menghubungkan antara persoalan filsafat dengan kehidupan ( Ravertz.2007: 12)
B.TELAAH MELALUI PENGKAJIAAN MIMETIK
Penelaah adalah pada hubungan antara karya seni dan realitas yang
melatarbelakangi kemunculannya. Pendekatan ini memandang seni sebagai tiruan
dan aspek-aspek realitas, dan gagasan-gagasan eksternal dan abadi, dan pola-pola
 bunyi, pandangan, gerakan, atau bentuk yang muncul secara terus menerus dan tidak
 pernah berubah. penelaah pertama memahami suatu karya atas dasar teks tertulis;
kedua dia memandang teks tertulis itu sebagai pengungkapan pengalaman, perasaan.
imajinasi, persepsi, sikap dan sebagainya dan kedua dia menghubungkannya dengan

realitas yang terjadi di masyarakatnya. 

Analisis Novel

ANALISIS NOVEL DAN WUJUD TEORI SEMIOTIK
DALAM NOVEL “Godane Prawan INDO”
Karya ANY

Oleh
Tiur Wulan Anggraeni
(2601412092)

Teori semiotik menurut A.Teeuw dikelompokan menjadi 3 yaitu
o   Kode Bahasa
Dalam novel, kode bahasa di wujudkan dalam diksi atau pemilihan kata, gaya bahasa dan pola kalimat.
A.     Diksi atau Pemilihan Kata
ü  “wis An, tjukup semene wae tjeritaku. Wis kesel lehku ndremimil. Tur meneh iki jaw is wengi ngene  djare---“
Kata yang bergaris bawah berarti bercerita, berceloteh atau bisa juga di artikan “ngomong” namun disini pengarang memilih diksi ndremimil yang juga berarti sama.
ü  “ Ijak….mung didjaluki tulung ngono wae kok kakehan tjing-tjong lo kowe iki. Ora ilang ta wis  jen  mung nulungi aku wae”
Kata yang bergaris bawah sangat unik, bukanlah bahasa baku dalam KBBI namun bahasa tersebut sering digunakan dalam komunikasi sehari-hari yang berarti banyak bicara atau cerewet.
ü  “Tekan ngarepe tuan Hoffman anggone mbagegake rombongan kita ora nganggo boso Walanda utawa Inggeris , nanging deweke migunakake basa Indonesia sing lantjar, malah tjara Djawa barang ija wasis banget lan mlepes bisa basa alus karma inggil.”
Kata Mlepes berarti mahir, diksi ini sangat penting untuk memberi arti yang lebih menekan arti kata tersebut. Agar kesan melebih-lebihkan dapat dirasakan oleh pembaca.
B.     Gaya Bahasa
Bagaimana penulis menyampaikan gaya bicaranya dalam penokohan yang ada dalam novel.
Dalam novel ini Any menggunakan gaya bahasa jawa tengahan. Terbukti dengan cara dia melafalkan kata dalam tulisanya seperti contoh dibawah ini :
ü  Let rong wulan metuku saka rumah-sakit, aku mulih menjang Sala.”
Kalimat diatas jika diartikan kedalam bahasa Indonesia menjadi, “sejak dua bulan kepulanganku dari rumah sakit, aku pulang ke Sala.
è Kata “Let”, setahu saya  dalam bahasa jawa sekarang ini sudah tidak lagi terdengar atau diucapkan di daerah manapun. Sehingga tidak mudah memahami maksud penulis jika pola tata kalimatnya tidak jelas.
è Kata “menjang”, penulis dalam mengucapkan fonem “ny” disini masih di tulis dengan huruf “J”. Sekarang ini, model penulisan seperti itu sudah tidak dipakai lagi.
Semua gaya bahasa dan penulisan fonem yang sepeti itu selalu digunakan Any dalam menyampaikan ceritanya. Cermati kalimat dibawah ini:
Satamate pematjaku, lajang nuli tak-lebokake menjang amplop terus tak-simpen neng latji.
           
C.     Pola Kalimat
Pola kalimat yang disajikan sangat jelas subjek, predikat, object dan keteranganya. Sehingga pembaca tidak bingung memahami maksud yang disampaikan dalam setiap kalimat.
Seperti beberapa contoh berikut :
ü  Let sepuluh dina aku budal numpak kapal saka darmaga pitu Tandjung Priuk.”
                                   Ket.waktu         S          P          ket.cara                                    ket.tempat
ü  Dumadakan lagi oleh rong sasi, ibune Evie ngadjal.
Ket.waktu                         S               P
o   Kode Sastra
Kode sastra adalah unsur estetika yang membangun keindahan sastra (bisa berupa unsur intrinsic)
A.     Alur : alur sangat jelas, dalam novel ini diceritakan secara runtut. Sehingga termasuk dalam alur maju.
B.     Penokohan : unsur penokohan disini juga merupakan salah satu kode sastra.
Terlihat kesedihan seorang Evie selama di Nederland, sosok Evie digambarkan sangat tegar dalam menjalani beban hidupnya sendiri sebagai perempuan yang bekerja dipertambangan kala itu.
“ Kabeh mau tak-tampa kanthi pamuwung, eluhku wis asat-tuntas nganti ora bisa nangis maneh. Puluh-puluh wis dadi nasibe awaku.”
“ Aduh mas, jen ora gede2 pertjaja lan imanku, rasane wis ora kuat maneh, bisoa mono kepengin enggal mungkasi lakon, nganjut tuwuh nutup riwajating uripku kang kebak panandang iki.”
Dari curahan hati si Evie dalam suratnya untuk Ratwinta sangatlah bisa dirasakan aura estetika seorang perempuan muda yang merantau dalam kesendirian, tanpa cinta dan tanpa saudara. Sosok Evie yang tabah menerima dan menjalani keputusanya untuk kembali ke Nederland.
Keindahan novel ini juga digambarkan oleh tokoh Any yang sangat peduli terhadap jalinan kasih Ratwinta dan Evie yang hanya bisa berkomunikasi lewat surat. Hal itu tergambar dalam dialog berikut :
“Ja mung kowe sing kudu kuwat rat, djer mbokmanawa pantjen wis ginaris dening Kang Murbeng Kuwasa jen Evie kuwi mula dudu djodomu!—wangsulanku kanggo ngejem-ejemi atine, sanadjan atiku dewe melu krasa jaja dirudjit-rudjit.”
C.     Latar atau Plot
Kode sastra yang lain yaitu berupa latar atau plot yang menggambarkan keasingan Negara Nederland tempat evie bekerja. Seperti dalam cerita Evie berikut :
“Kita kabeh wis manggon dadi siji ana ing kuta Limburg, kumpul dadi sak-asrama. Dene anggone njambut-gawe pada pating blesar golek pakarjan dewe2. Jen sing rada duwur pendidikane, bisa ketampa njambutgawe neng pabrik “Philips” ing Eindhoven. Nanging jen kepinterane mung tangung2, paling2 njambutgawe ana ing tambang batubara.”
Dari cuplikan diatas terdapat lebih dari satu latar tempat yang ada dalam cerita novel tersebut. Menambah nilai estetika bahwa kesengsaraan Evie dalam cerita juga didukung oleh lingkungan yang bukan semestinya tempatnya bekerja.
D.     Amanat atau Pesan moral yang ada dalam novel
Kode sastra yang lain yaitu berupa sebuah ajaran yang dinyatakan dalam bahasa yang lain dari yang lain, seperti cuplikan di bawah ini:
“Vergeef het mij! Ik wil geen Nederlandsche stuken meer spelen want ik bliif tot mijn hart en nieren een Indonesier!”
Yang berarti:
Ja apuranen wae! Menawa kita iki tetep ora bisa lan ngemohi lagu2 walanda. Sebab senadjan dikaja ngapa ing sadjroning sanubari kita wis kabutjut mbulung-sungsum mandjing rasa dadi wong Indonesia!
Amanat dari novel yang kita dapat dari cuplikan diatas adalah rasa nasionalisme sebagai bangsa yang cinta Indonesia, diwujudkan dalam penolakan warga Indonesia yang ada disana untuk tidak menyanyikan lagu kebangsaaan selain lagu bangsa Indonesia.
E.      Permajasan dan Syair
Keindahan karya sastra juga sangat erat dengan makna yang tidak lugas dan sifatnya kias, dalam cerita diwujudkan dalam cuplikan kata yang dicetak miring berikut :

“ Apa maneh bareng tansah bisa sesambungan lajang karo Evie, donjaku dadi padang maneh, bisa bali kaja wingi uni”
donjaku dadi padang berarti kehidupan Ratwinta akan lebih berarti jika ada Evie disampingnya.
Berikut adalah majas Hiperbola yang sifatnya melebih-lebihkan :
“ Aku dewe sak-bakdane kuwi ja rumangsa getun banget, kena diumpamake sewu gela dadi siji.”
“ Pikiranku wis lumpuh, atiku wis ndjendel-matu, eluhku wis asat-tuntas nganti ora bisa nangis maneh. Puluh2 wis dadi nasibe awaku.
Ada pula permajasan analogi yang membandingkan :
“ uripku tansah kedungsangan ing kasusahan. Rumangsaku tanpo nganggo kepenaran, bebasan suket-godong kaju-watu dadi mungsuh. Saenggon2 kebak goda-rentjana”

Estetika antar unsur juga sagat jelas tergambarkan dalam cuplikan berikut :
“saja wengi sajatumlawung swarane, wiramane  saja nglangut nganjut-anjut ngeres-eresi ati, malah ora setitik sing karo mrebes mili, kaja2 kanti tjara mangkono bis njutak rasa kangene marang Indonesia, kangen marang tanah kelairane, kelingan mrang Negara kang pandjang-pundjung pasir-wukir loh-djinawi. Tanah Nusantara kang idjo-royo2 kebak pengeling0eling kang edi endah”
o   Kode Budaya
Kode budaya adalah pemahaman terhadap latar kehidupan, konteks, dan sistem sosial budaya. Menurut Chapman (1980: 26), kelahiran karya sastra diprakondisikan oleh kehidupan sosial budaya pengarangnya. Karena itu, sikap dan pandangan pengarang dalam karyanya mencerminkan kehidupan sosial budaya masyarakatnya.
“ Tudjune pondokanku tjerak karo gredja. Ja ana ing gredja mau nasibing awaku tak pasrahke marang ngarsane Pangeran.”
Dari cuplikan diatas terlihat budaya sosial sekitar tokoh bahwa lingkungan tempatnya religious dan kebiasaanya dating ke gereja.
“ Enggal2 Evie ndjaluk idin marang Suster perlu arep ngeterke aku ndeleng2 istana Versailles, djer tekaku mrono ora lija perlu ndjaluk dieterake nonton kraton.”
Penulis menuturkan istana dan kraton, mampu menslimulus pembaca untuk membayangkan bahwa kebudayaan disana juga terdapat kastil dan bangunan besar yang dipertontonkan. Termasuk kode budaya karena tidak semua tempat terdapat hal yang sama seperti dalam konteks cuplikan di atas.


Ajining Diri Saka Budi Pekerti lan Kendhaling Lathi

Selasa, 10 Desember 2013

Sastra Jawa


Sastra adalah perwujudan pikiran dalam bentuk tulisan. Tulisan adalah media pemikiran yang tercurah melalui bahasa, bahasa yang bisa direpresentasikan dalam bentuk tulisan, media lain bisa saja berbentuk gambar, melody musik, lukisan ataupun karya lingkungan binaan (arsitektur). Sastra menjadi bagian dari budaya masyarakat.Sastra secara etimologi berasal dari bahasa Sansekerta, berasal dari akar kata ‘sas’,
yang dalam kata kerja turunan berarti ‘mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk/intruksi. Akhiran ‘tra’ menunjuk pada alat, sarana, sehingga sastra berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran.
Biasanya kata sastra diberi awalan ‘su’ ( menjadi susastra ). Su artinya ‘baik’, indah, sehingga istilah susastra berarti pengajaran atau petunjuk yang tertuang dalam suatu tulisan yang berisi hal-hal yang baik dan indah, atau dengan kata lain, ‘belles-letters’ ( tulisan yang indah dan sopan ).
Sebagai bahan dasar sastra (kesusasteraan) adalah bahasa. Bahasa yang digunakan dalam kesusasteraan memang berbeda dengan bahasa keilmuan maupun bahasa yang digunakan sehari-hari.
Bentuk karya sastra juga ada beberapa macam,
meliputi; Karya sastra yang berbentuk prosa, karya sastra yang berbentuk puisi dan
 karya sastra yang berbentuk drama.
Karya sastra lebih berfungsi untuk menghibur dan sekaligus memberi pengajaran sesuatu terhadap manusia. Sastra juga berfungsi untuk mengungkapkan adanya nilai keindahan (yang indah), nilai manfaat (berguna), dan mengandung nilai moralitas (pesan moral).
Melihat sastra yang begitu banyak ragam dan begitu panjang sejarahnya, menarik bagi kita untuk sedikit membahas tentang sastra jawa. Sastra yang sekarang ini tampak terpinggirkan dikarenakan kepentingan kebangsaan kita.

Sedikit sebagai patokan dalam perioderisasi sastra Jawa, kebanyakkan kidung ditulis di Bali. Berdasarkan karya-karya yang kita miliki, semua karya sastra Jawa pertengahan berasal dari Bali, tetapi tidak berarti bahwa karya ini tidak dikenal di Jawa sebelum runtuhnya Majapahit.
Istilah Jawa kuno, Jawa pertengahan, dan Jawa modern jika ditilik dari linguistik benar-benar membingungkan. Seolah-olah perioderisasi ini dibuat hanya berdasarkan masa atau kejadian tertentu. Istilah Jawa modern biasanya dipakai untuk menunjukkan bahasa yang dipakai dalam sastra Jawa padaawal abad ke-19.
Menurut sebuah teori, perioderisasi sastra tersebut berdasarkan rangkaian-rangkaian peristiwa. Hingga masa kekuasaan Majapahit, selain bahasa Jawa kuno yang digunakan menulis kakawin, jugaada bahasa Jawa lain, yang juga digunakan untuk menulis karya sastra lain. Setelah muncul kekuasaan Islam, bahasa Jawa lain itu pecah menjadi dua, yaitu bahasa Jawa yang dipergunakan di Bali dan disebut Jawa pertengahan, dan bahasa yang digunakan masyarakat Islam selanjutnya yang disebut Jawa modern. Memang teori ini masih memiliki kelemahan-kelemahan, namun secara rasional dapat diterima.
Dahulu, sastrawan Jawa menulis karyanya di lempengan batu dan prasasti, namun ada juga yang menggunakan daun lontar. Lontar tersebut diproses hingga menjadi kaku dan siap ditulisi. Jika berupa cerita, biasanya lontar tersebut dipotong-potong berukuran panjang 40-60 cm dan 3-5 cm untuk lebarnya. Bagian ujung dilubangi sehingga dapat dibendel kemudian diberi cover dari bahan yang lebih tebal. Sayangnya daun lontar tidak dapat bertahan lama. Kerusakan umumnya disebabkan karena serangga. Jarang ada daun lontar yang sanggup bertahan berabad-abad, Indonesia hanya memiliki daun lontar yang berumur 1-1.5 abad. Koleksi karya sastra kuno tersebut ada di tiga tempat, yaitu: Perpustakaan nasional di Jakarta, perpustakaan Universitas negeri Liden, Belanda, dan perpustakaan Kirtya di Singaraja. Koleksi terbanyak ada di Leiden. Ini tidak mengherankan karena pada saat itu pemerhati budaya Jawa banyak berasal dari Belanda.
Karya-karya sastra Jawa turut andil dalam perkembangan sastra Nusantara, karya-karya pujangga besar seperti Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca, Arjunawiwaha-Mpu Kanwa, Sutasoma, Ramayana, Desawarnana, Porusadasanta, Kidung Sunda, dan masih banyak lagi yang lain. Adanya karya-karya sastra tersebut hingga sekarang juga karena jasa juru salin, yang mengawetkan karya sastra tersebut dari tahun ke tahun. Kemungkinan kesalahan tulis dapat terjadi. Bisa dikarenakan kekurangtelitian atau kemiripan huruf, kesalahan itu dapat terjadi.
Karya-karya sastra tersebut merupakan salah satu kekayaan bangsa kita, dimana kita dapat mengetahui suatu sejarah dan pemikiran nenek moyang kita. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa penelitian di bidang ini masih terbuka luas. Masih banyak hal-hal yang tidak kita ketahui, misal perdebatan akan perioderisasi sastra Jawa, dan masih banyaknya karya yang sulit dibaca. Perlu adanya tekad dan usaha kita sebagai bangsa yang mencintai budaya untuk tetap melestarikan karya-karya langka ini. Memang upaya ini tidak bisa dipaksakan ke generasi muda mengingat banyaknya hal-hal yang mungkin lebih menarik minat mereka. Namun pasti di antara mereka masih banyak yang sadar dan mencintai budaya, mungkin perlu adanya suatu badan yang mengkoordinasi upaya pelestari sastra Jawa, dimana kegiatan-kegiatannya dapat menarik minat para pemuda-pemudi bangsa.

1. Periodesasi sastra jawa kuno
Sastra Jawa Kuno atau seringkali dieja sebagai Sastra Jawa Kuna meliputi sastra yang ditulis dalambahasa Jawa Kuna pada periode kurang-lebih ditulis dari abad ke-9 sampai abad ke-14 Masehi, dimulai denganPrasasti Sukabumi. Karya sastra ini ditulis baik dalam bentuk prosa (gancaran) maupun puisi (kakawin). Karya-karya ini mencakup genre seperti sajak wiracarita, undang-undang hukum, kronik (babad), dan kitab-kitab keagamaan.
Sastra Jawa Kuno diwariskan dalam bentuk manuskrip dan prasasti. Manuskrip-manuskrip yang memuat teks Jawa Kuno jumlahnya sampai ribuan sementara prasasti-prasasti ada puluhan dan bahkan ratusan jumlahnya. Meski di sini harus diberi catatan bahwa tidak semua prasasti memuat teks kesusastraan.
Karya-karya sastra Jawa penting yang ditulis pada periode ini termasuk Candakarana, Kakawin Ramayana dan terjemahan Mahabharata dalam bahasa Jawa Kuno.
Karya sastra Jawa Kuno sebagian besar terlestarikan di Bali dan ditulis pada naskah-naskah manuskrip lontar. Walau sebagian besar sastra Jawa Kuno terlestarikan di Bali, di Jawa dan Madura ada pula sastra Jawa Kuno yang terlestarikan. Bahkan di Jawa terdapat pula teks-teks Jawa Kuno yang tidak dikenal di Bali.
Penelitian ilmiah mengenai sastra Jawa Kuno mulai berkembang pada abad ke-19 awal dan mulanya dirintis oleh Stamford Raffles, Gubernur-Jenderal dari Britania Raya yang memerintah di pulau Jawa. Selain sebagai seorang negarawan beliau juga tertarik dengan kebudayaan setempat. Bersama asistennya, Kolonel Colin Mackenzie beliau mengumpulkan dan meneliti naskah-naskah Jawa Kuno.
Istilah sastra Jawa Kuno agak sedikit rancu. Istilah ini bisa berarti sastra dalam bahasa Jawa sebelum masuknya pengaruh Islam atau pembagian yang lebih halus lagi: sastra Jawa yang terlama. Jadi merupakan sastra Jawa sebelum masa sastra Jawa Pertengahan. Sastra Jawa Pertengahan adalah masa transisi antara sastra Jawa Kuno dan sastra Jawa Baru. Di dalam artikel ini, pengertian terakhir inilah yang dipakai
Periodesasi sastra jawa baru
Sastra Jawa Baru kurang-lebih muncul setelah masuknya agama Islam di pulau Jawa dari Demak antara abad kelima belas dan keenam belas Masehi.
Dengan masuknya agama Islam, orang Jawa mendapatkan ilham baru dalam menulis karya sastra mereka. Maka, pada masa-masa awal, zaman Sastra Jawa Baru, banyak pula digubah karya-karya sastra mengenai agama Islam. Suluk Malang Sumirang adalah salah satu yang terpenting.
Kemudian pada masa ini muncul pula karya-karya sastra bersifat ensiklopedis seperti Serat Jatiswara danSerat Centhini. Para penulis ‘ensiklopedia’ ini rupanya ingin mengumpulkan dan melestarikan semua ilmu yang (masih) ada di pulau Jawa, sebab karya-karya sastra ini mengandung banyak pengetahuan dari masa yang lebih lampau, yaitu masa sastra Jawa Kuna.
Gaya bahasa pada masa-masa awal masih mirip dengan Bahasa Jawa Tengahan. Setelah tahun ~ 1650,bahasa Jawa gaya Surakarta menjadi semakin dominan. Setelah masa ini, ada pula renaisans Sastra Jawa Kuna. Kitab-kitab kuna yang bernapaskan agama Hindu-Buddha mulai dipelajari lagi dan digubah dalam bahasa Jawa Baru.
Sebuah jenis karya yang khusus adalah babad, yang menceritakan sejarah. Jenis ini juga didapati pada Sastra Jawa-Bali.
3. Periodesasi sastra jawa pertengahan
Sastra Jawa Pertengahan muncul di Kerajaan Majapahit, mulai dari abad ke-13 sampai kira-kira abad ke-16. Setelah ini, sastra Jawa Tengahan diteruskan di Bali menjadi Sastra Jawa-Bali. Pada masa ini muncul karya-karya puisi yang berdasarkan metrum Jawa atau Indonesia asli. Karya-karya ini disebut kidung.
Daftar Prosa Sastra Jawa Tengahan
Tantu Panggelaran
Calon Arang
Tantri Kamandaka
Korawasrama
Pararaton
Daftar Puisi Sastra Jawa Tengahan
Kakawin Dewaruci
Kidung Sudamala
Kidung Subrata
Kidung Sunda
Kidung Panji Angreni
Kidung Sri Tanjung
4. Periodesasi sastra jawa moderen
Sastra Jawa Modern muncul setelah pengaruh penjajah Belanda dan semakin terasa di Pulau Jawa sejak abad kesembilan belas Masehi.
Para cendekiawan Belanda memberi saran para pujangga Jawa untuk menulis cerita atau kisah mirip orangBarat dan tidak selalu berdasarkan mitologi, cerita wayang, dan sebagainya. Maka, lalu muncullah karyasastra seperti di Dunia Barat; esai, roman, novel, dan sebagainya. Genre yang cukup populer adalah tentangperjalanan.
Gaya bahasa pada masa ini masih mirip dengan Bahasa Jawa Baru. Perbedaan utamanya ialah semakin banyak digunakannya kata-kata Melayu, dan juga kata-kata Belanda.
Pada masa ini (tahun 1839, oleh Taco Roorda) juga diciptakan huruf cetak berdasarkan aksara Jawa gayaSurakarta untuk Bahasa Jawa, yang kemudian menjadi standar di pulau Jawa.

e

Daftar Pustaka
• Amin, Drs, Darori, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000.
• Astianto, Henny, Filsafat Jawa, Yogyakarta: Warta Pustaka, 2006.
• Faruqi, Ismail R, Islam dan Kebudayaan, Bandung: MIZAN, 1984.
• Hasan, M, Tholhah, Islam dalam Perspektif Sosial Cultural, Jakarta: Lata Bora Pers, 1987.
• Padmosoekotjo, Ngengrengan Kasusastran Djawa. Jogjakarta: Hien Hoo Sing, 1960.









BASA JAWA

Bahasa Jawa adalah bahasa tutur yang digunakan oleh penduduk asli suku Jawa terutama yang tinggal di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta. 
namun dalam prakteknya, tidak semua bahasa satu daerah sama. Bahasa Jawa memiliki ragam dialek yang sangat banyak sekali. 
berikut sedikit dialek yang menguasai daerah Jawa :
1. Bahasa Jawa Semarang adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di Karesidenan Semarang. Dialek ini tak banyak berbeda dengan dialek di daerah Jawa lainnya. Semarang termasuk daerah pesisir Jawa bagian utara, maka tak beda dengan daerah lainnya, YogyakartaSoloBoyolali dan Salatiga. Walau letak daerah Semarang yang heterogan dari pesisir (Pekalongan/Weleri, Kudus/Demak/Purwodadi) dan dari daerah bagian selatan/pegunungan membuat dialek yang dipakai memiliki kata ngokongoko andhap dan madya di Semarang ada di zaman sekarang.
·         Frasa: "Yo ora.." (Ya tidak) dalam dialek semarang menjadi "Yo orak too ". Kata ini sudah menjadi dialek sehari-hari para penduduk Semarang.
·         Contoh lain: " kuwi ugo" (itu juga) dalam dialek Semarang menjadi "kuwi barang" ("barang" diucapkan sampai sengau memakai huruf h "bharhang").
Para pemakai dialek Semarang juga senang menyingkat frasa, misalnya Lampu abang ijo (lampu lalu lintas) menjadi "Bang-Jo", Limang rupiah (5 rupiah) menjadi "mang-pi", kebun binatangmenjadi "Bon-bin", seratus (100) menjadi "nyatus", dan sebagainya. Namun tak semua frasa bisa disingkat, sebab tergantung kepada kesepakatan dan minat para penduduk Semarang mengenai frasa mana yang disingkat. Jadi contohnya "Taman lele" tak bisa disingkat "Tam-lel" juga Gedung Batu tak bisa menjadi "Ge-bat", dsb.
Namun ada juga kalimat-kalimat yang disingkat, contohnya; "Kau lho pak mu Nadri" artinya "Itu lho pamanmu dari Wanadri". "Arep numpak Kijang kol" artinya akan menumpang omprengan. Zaman dulu kendaraan omprengan biasa menggunakan mobil merk "Colt", disebut "kol" maka setelah diganti "Toyota Kijang" menjadi Kijang-kol. Apa lacur kini ada yang menjadi "mercy-kol".
Adanya para warga/budaya yang heterogen dari Jawa, TiongkokArabPakistan/India juga memiliki sifat terbuka dan ramah di Semarang tadi, juga akan menambah kosakata dan dialektik Semarang di kemudian hari. Adanya bahasa Jawa yang dipergunakan tetap mengganggu bahasa Jawa yang baku, sama dengan di daerah Solo. Artinya, jika orang Kudus, Pekalongan, Boyolali pergi ke kota Semarang akan gampang dan komunikatif berkomunikasi dengan penduduknya.
Dialek Semarang memiliki kata-kata yang khas yang sering diucapkan penuturnya dan menjadi ciri tersendiri yang membdakan dengan dialek Jawa lainnya. Orang Semarang suka mengucapkan kata-kata seperti "Piye, jal?" (=Bagaimana, coba?) dan "Yo, mesti!". Orang semarang lebih suka menggunakan kata "He'e" daripada "Yo" atau "Ya".
Orang Semarang juga lebih banyak menggunakan partikel "ik" untuk mengungkapkan kekaguman atau kekecewaan yang sebenarnya tidak dimiliki oleh bahasa Jawa. Misalnya untuk menyatakan kekaguman :"Alangkah indahnya!", orang Semarang berkata: "Apik,ik!". Contoh lain untuk menyatakan kekecewaan: "Sayang, orangnya pergi!", orang Semarang berkata: "Wonge lungo, ik"!.
Partikel "ik" kemungkinan berasal dari kata "iku" yang berarti "itu' dalam bahasa Jawa, sehingga untuk mengungkapkan kesungguhan orang Semarang mengucapkan "He'e, ik!" atau "Yo, ik".
Beberapa kosakata khas Semarang adalah: "semeh" Yang berarti "ibu" dan "sebeh" yang berarti "ayah", yang dalam dialek Jawa yang lain, "sebeh" sering dipakai dalam arti "mantra" atau "guna-guna"
2. Bahasa Jawa Surakarta adalah dialek bahasa Jawa yang diucapkan di daerah Surakarta dan sekitarnya. Dialek ini menjadi standar bagi pengajaran bahasa Jawa.
Meskipun satu rumpun, Bahasa Jawa di tiap daerah di Jawa Tengah mempunyai ciri-ciri tersendiri yang khas mencerminkan dari mana asal Bahasa Jawa tersebut.
Untuk istilah "dingin" di Surakarta menggunakan kata Bahasa Jawa "adem", sedangkan orang yang tinggal di Semarang menyebutnya "atis". Contoh:
"'Lha piye tho, aku meh mangkat nanging ra duwe duit."
("Bagaimana ini, saya akan berangkat tapi tidak punya uang.")
"Mbok kowe mesake aku, dijilehi duit piro wae sak nduwekmu."
("Kasihani aku, dipinjami uang berapa saja yang kamu punya.")
"Sesok tak baleke yen wis oleh kiriman soko mbakyu ku."
("Besok (dalam waktu yang tidak bisa ditentukan kapan) saya kembalikan kalau sudah dapat kiriman dari kakak perempuan saya.")

3. Dialek Surabaya atau lebih sering dikenal sebagai bahasa Suroboyoan adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di Surabaya dan sekitarnya. Dialek ini berkembang dan digunakan oleh sebagian masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Secara struktural bahasa, bahasa Suroboyoan dapat dikatakan sebagai bahasa paling kasar. Meskipun demikian, bahasa dengan tingkatan yang lebih halus masih dipakai oleh beberapa orang Surabaya, sebagai bentuk penghormatan atas orang lain. Namun demikian penggunaan bahasa Jawa halus (madya sampai krama) di kalangan orang-orang Surabaya kebanyakan tidaklah sehalus di Jawa Tengah terutama Yogyakarta dan Surakarta dengan banyak mencampurkan kata sehari-hari yang lebih kasar.
Beberapa kosa kata khas Suroboyoan:
·         "Pongor, Gibeng, Santap, Waso (istilah untuk Pukul atau Hantam);
·         "kathuken" berarti "kedinginan" (bahasa Jawa standar: kademen);
·         "gurung" berarti "belum" (bahasa Jawa standar: durung);
·         "gudhuk" berarti "bukan" (bahasa Jawa standar: dudu);
·         "deleh" berarti "taruh/letak" (delehen=letakkan) (bahasa Jawa standar: dekek);
·         "kek" berarti "beri" (kek'ono=berilah) (bahasa Jawa standar: wenehi);
·         "ae" berarti "saja" (bahasa Jawa standar: wae);
·         "gak" berarti "tidak" (bahasa Jawa standar: ora);
·         "arek" berarti "anak" (bahasa Jawa standar: bocah);
·         "kate/kape" berarti "akan" (bahasa Jawa standar: arep);
·         "lapo" berarti "sedang apa" atau "ngapain" (bahasa Jawa standar: ngopo);
·         "opo'o" berarti "mengapa" (bahasa Jawa standar: kenopo);
·         "soale" berarti "karena" (bahasa Jawa standar: kerono);
·         "atik" (diucapkan "atek") berarti "pakai" atau "boleh" (khusus dalam kalimat"gak atik!" yang artinya "tidak boleh");

4. Dialek Banyumasan atau sering disebut Bahasa Ngapak adalah kelompok bahasa bahasa Jawa yang dipergunakan di wilayah barat Jawa Tengah,Indonesia. Beberapa kosakata dan dialeknya juga dipergunakan di Banten utara serta daerah Cirebon-Indramayu. Logat bahasanya agak berbeda dibanding dialek bahasa Jawa lainnya. Hal ini disebabkan bahasa Banyumasan masih berhubungan erat dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi).
Bahasa Banyumasan terkenal dengan cara bicaranya yang khas. Dialek ini disebut Banyumasan karena dipakai oleh masyarakat yang tinggal di wilayah Banyumasan.
Seorang ahli bahasa Belanda, E.M. Uhlenbeck, mengelompokan dialek-dialek yang dipergunakan di wilayah barat dari Jawa Tengah sebagai kelompok (rumpun) bahasa Jawa bagian barat (Banyumasan, Tegalan, Cirebonan dan Banten Utara). Kelompok lainnya adalah bahasa Jawa bagian Tengah (Surakarta, Yogyakarta, Semarang dll) dan kelompok bahasa Jawa bagian Timur.
Kelompok bahasa Jawa bagian barat (harap dibedakan dengan Jawa Barat/Bahasa Sunda) inilah yang sering disebut bahasa Banyumasan (ngapak-ngapak).
Secara geografis, wilayah Banten utara dan Cirebon-Indramayu memang berada di luar wilayah berbudaya Banyumasan tetapi menurut budayawan Cirebon TD Sudjana, logat bahasanya memang terdengar sangat mirip dengan bahasa Banyumasan. Hal ini menarik untuk dikaji secara historis.
Dibandingkan dengan bahasa Jawa dialek Yogyakarta dan Surakarta, dialek Banyumasan banyak sekali bedanya. Perbedaan yang utama yakni akhiran 'a' tetap diucapkan 'a' bukan 'o'. Jadi jika di Solo orang makan 'sego' (nasi), di wilayah Banyumasan orang makan 'sega'. Selain itu, kata-kata yang berakhiran huruf mati dibaca penuh, misalnya kata enak oleh dialek lain bunyinya ena, sedangkan dalam dialek Banyumasan dibaca enakdengan suara huruf 'k' yang jelas, itulah sebabnya bahasa Banyumasan dikenal dengan bahasa Ngapak atau Ngapak-ngapak.

Dalam dalam satu kota pun terkadang masih banyak lagi logat daerah yang beragam. misalnya dalam lingkup kecil aja, logat daerah Pati akan ada perbedaan logat Jepara, Kudus. ini menjadi satu kekayaan budaya yang dimiliki Jawa.



Teori Sastra Bab MIMETIK

A.PENGERTIAN MIMETIK
Secara Umum Pendekatan mimetik adalah pendekatan yang mendasarkan
 pada hubungan karya sastra dengan universe (semesta) atau lingkungan sosial-budaya
yang melatarbelakangi lahirnya karya sastra itu. Tetapi menurut beberapa pakar
mimetik yakni:
        Pendekatan mimetik adalah pendekatan kajian sastra yang menitik beratkan
kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra.
Pendekatan yang memandang karya sastra sebagai imitasi dan realitas (Abrams
1981 :89).
        Aristoteles berpendapat bahwa mimesis bukan sekedar tiruan. bukan sekedar
 potret dan realitas, melainkan telah melalui kesadaran personal batin
 pengarangnya. Puisi sebagal karya sastra, mampu memaparkan realitas di luar diri
manusia persis apa adanya. Maka karya sastra seperti halnya puisi merupakan
cerminan representasi dan realitas itu sendiri.
        Pendapat Plato tentang seni. Menurut Plato seni hanya dapat meniru dan
membayangkan hal-hal yang ada dalam kenyataan yang nampak. Dan seni yang
terbaik adalah lewat mimetik.
Mimesis merupakan salah satu wacana yang ditinggalkan Plato dan
Aristoteles sejak masa keemasan filsafat Yunani Kuno. hingga pada akhirnya Abrams
memasukkannya menjadi salah satu pendekatan utama untuk menganalisis sastra
selain pendekatan ekspresif, pragmatik dan objektif. Mimesis merupakan ibu dan
 pendekatan sosiologi sastra yang darinya dilahirkan puluhan metode kritik sastra
yang lain.
Mimesis berasal bahasa Yunani yang berarti tiruan. Dalam hubungannya
dengan kritik sastra mimesis diartikan sebagai pendekatan sebuah pendekatan yang dalam mengkaji karya sastra selalu berupaya untuk mengaitkan karya sastra dengan
realitas atau kenyataan. Perbedaan pandangan Plato dan Aristoteles menjadi sangat
menarik karena keduanya merupakan awal filsafat alam, merekalah yang
menghubungkan antara persoalan filsafat dengan kehidupan ( Ravertz.2007: 12)
B.TELAAH MELALUI PENGKAJIAAN MIMETIK
Penelaah adalah pada hubungan antara karya seni dan realitas yang
melatarbelakangi kemunculannya. Pendekatan ini memandang seni sebagai tiruan
dan aspek-aspek realitas, dan gagasan-gagasan eksternal dan abadi, dan pola-pola
 bunyi, pandangan, gerakan, atau bentuk yang muncul secara terus menerus dan tidak
 pernah berubah. penelaah pertama memahami suatu karya atas dasar teks tertulis;
kedua dia memandang teks tertulis itu sebagai pengungkapan pengalaman, perasaan.
imajinasi, persepsi, sikap dan sebagainya dan kedua dia menghubungkannya dengan

realitas yang terjadi di masyarakatnya. 

Analisis Novel

ANALISIS NOVEL DAN WUJUD TEORI SEMIOTIK
DALAM NOVEL “Godane Prawan INDO”
Karya ANY

Oleh
Tiur Wulan Anggraeni
(2601412092)

Teori semiotik menurut A.Teeuw dikelompokan menjadi 3 yaitu
o   Kode Bahasa
Dalam novel, kode bahasa di wujudkan dalam diksi atau pemilihan kata, gaya bahasa dan pola kalimat.
A.     Diksi atau Pemilihan Kata
ü  “wis An, tjukup semene wae tjeritaku. Wis kesel lehku ndremimil. Tur meneh iki jaw is wengi ngene  djare---“
Kata yang bergaris bawah berarti bercerita, berceloteh atau bisa juga di artikan “ngomong” namun disini pengarang memilih diksi ndremimil yang juga berarti sama.
ü  “ Ijak….mung didjaluki tulung ngono wae kok kakehan tjing-tjong lo kowe iki. Ora ilang ta wis  jen  mung nulungi aku wae”
Kata yang bergaris bawah sangat unik, bukanlah bahasa baku dalam KBBI namun bahasa tersebut sering digunakan dalam komunikasi sehari-hari yang berarti banyak bicara atau cerewet.
ü  “Tekan ngarepe tuan Hoffman anggone mbagegake rombongan kita ora nganggo boso Walanda utawa Inggeris , nanging deweke migunakake basa Indonesia sing lantjar, malah tjara Djawa barang ija wasis banget lan mlepes bisa basa alus karma inggil.”
Kata Mlepes berarti mahir, diksi ini sangat penting untuk memberi arti yang lebih menekan arti kata tersebut. Agar kesan melebih-lebihkan dapat dirasakan oleh pembaca.
B.     Gaya Bahasa
Bagaimana penulis menyampaikan gaya bicaranya dalam penokohan yang ada dalam novel.
Dalam novel ini Any menggunakan gaya bahasa jawa tengahan. Terbukti dengan cara dia melafalkan kata dalam tulisanya seperti contoh dibawah ini :
ü  Let rong wulan metuku saka rumah-sakit, aku mulih menjang Sala.”
Kalimat diatas jika diartikan kedalam bahasa Indonesia menjadi, “sejak dua bulan kepulanganku dari rumah sakit, aku pulang ke Sala.
è Kata “Let”, setahu saya  dalam bahasa jawa sekarang ini sudah tidak lagi terdengar atau diucapkan di daerah manapun. Sehingga tidak mudah memahami maksud penulis jika pola tata kalimatnya tidak jelas.
è Kata “menjang”, penulis dalam mengucapkan fonem “ny” disini masih di tulis dengan huruf “J”. Sekarang ini, model penulisan seperti itu sudah tidak dipakai lagi.
Semua gaya bahasa dan penulisan fonem yang sepeti itu selalu digunakan Any dalam menyampaikan ceritanya. Cermati kalimat dibawah ini:
Satamate pematjaku, lajang nuli tak-lebokake menjang amplop terus tak-simpen neng latji.
           
C.     Pola Kalimat
Pola kalimat yang disajikan sangat jelas subjek, predikat, object dan keteranganya. Sehingga pembaca tidak bingung memahami maksud yang disampaikan dalam setiap kalimat.
Seperti beberapa contoh berikut :
ü  Let sepuluh dina aku budal numpak kapal saka darmaga pitu Tandjung Priuk.”
                                   Ket.waktu         S          P          ket.cara                                    ket.tempat
ü  Dumadakan lagi oleh rong sasi, ibune Evie ngadjal.
Ket.waktu                         S               P
o   Kode Sastra
Kode sastra adalah unsur estetika yang membangun keindahan sastra (bisa berupa unsur intrinsic)
A.     Alur : alur sangat jelas, dalam novel ini diceritakan secara runtut. Sehingga termasuk dalam alur maju.
B.     Penokohan : unsur penokohan disini juga merupakan salah satu kode sastra.
Terlihat kesedihan seorang Evie selama di Nederland, sosok Evie digambarkan sangat tegar dalam menjalani beban hidupnya sendiri sebagai perempuan yang bekerja dipertambangan kala itu.
“ Kabeh mau tak-tampa kanthi pamuwung, eluhku wis asat-tuntas nganti ora bisa nangis maneh. Puluh-puluh wis dadi nasibe awaku.”
“ Aduh mas, jen ora gede2 pertjaja lan imanku, rasane wis ora kuat maneh, bisoa mono kepengin enggal mungkasi lakon, nganjut tuwuh nutup riwajating uripku kang kebak panandang iki.”
Dari curahan hati si Evie dalam suratnya untuk Ratwinta sangatlah bisa dirasakan aura estetika seorang perempuan muda yang merantau dalam kesendirian, tanpa cinta dan tanpa saudara. Sosok Evie yang tabah menerima dan menjalani keputusanya untuk kembali ke Nederland.
Keindahan novel ini juga digambarkan oleh tokoh Any yang sangat peduli terhadap jalinan kasih Ratwinta dan Evie yang hanya bisa berkomunikasi lewat surat. Hal itu tergambar dalam dialog berikut :
“Ja mung kowe sing kudu kuwat rat, djer mbokmanawa pantjen wis ginaris dening Kang Murbeng Kuwasa jen Evie kuwi mula dudu djodomu!—wangsulanku kanggo ngejem-ejemi atine, sanadjan atiku dewe melu krasa jaja dirudjit-rudjit.”
C.     Latar atau Plot
Kode sastra yang lain yaitu berupa latar atau plot yang menggambarkan keasingan Negara Nederland tempat evie bekerja. Seperti dalam cerita Evie berikut :
“Kita kabeh wis manggon dadi siji ana ing kuta Limburg, kumpul dadi sak-asrama. Dene anggone njambut-gawe pada pating blesar golek pakarjan dewe2. Jen sing rada duwur pendidikane, bisa ketampa njambutgawe neng pabrik “Philips” ing Eindhoven. Nanging jen kepinterane mung tangung2, paling2 njambutgawe ana ing tambang batubara.”
Dari cuplikan diatas terdapat lebih dari satu latar tempat yang ada dalam cerita novel tersebut. Menambah nilai estetika bahwa kesengsaraan Evie dalam cerita juga didukung oleh lingkungan yang bukan semestinya tempatnya bekerja.
D.     Amanat atau Pesan moral yang ada dalam novel
Kode sastra yang lain yaitu berupa sebuah ajaran yang dinyatakan dalam bahasa yang lain dari yang lain, seperti cuplikan di bawah ini:
“Vergeef het mij! Ik wil geen Nederlandsche stuken meer spelen want ik bliif tot mijn hart en nieren een Indonesier!”
Yang berarti:
Ja apuranen wae! Menawa kita iki tetep ora bisa lan ngemohi lagu2 walanda. Sebab senadjan dikaja ngapa ing sadjroning sanubari kita wis kabutjut mbulung-sungsum mandjing rasa dadi wong Indonesia!
Amanat dari novel yang kita dapat dari cuplikan diatas adalah rasa nasionalisme sebagai bangsa yang cinta Indonesia, diwujudkan dalam penolakan warga Indonesia yang ada disana untuk tidak menyanyikan lagu kebangsaaan selain lagu bangsa Indonesia.
E.      Permajasan dan Syair
Keindahan karya sastra juga sangat erat dengan makna yang tidak lugas dan sifatnya kias, dalam cerita diwujudkan dalam cuplikan kata yang dicetak miring berikut :

“ Apa maneh bareng tansah bisa sesambungan lajang karo Evie, donjaku dadi padang maneh, bisa bali kaja wingi uni”
donjaku dadi padang berarti kehidupan Ratwinta akan lebih berarti jika ada Evie disampingnya.
Berikut adalah majas Hiperbola yang sifatnya melebih-lebihkan :
“ Aku dewe sak-bakdane kuwi ja rumangsa getun banget, kena diumpamake sewu gela dadi siji.”
“ Pikiranku wis lumpuh, atiku wis ndjendel-matu, eluhku wis asat-tuntas nganti ora bisa nangis maneh. Puluh2 wis dadi nasibe awaku.
Ada pula permajasan analogi yang membandingkan :
“ uripku tansah kedungsangan ing kasusahan. Rumangsaku tanpo nganggo kepenaran, bebasan suket-godong kaju-watu dadi mungsuh. Saenggon2 kebak goda-rentjana”

Estetika antar unsur juga sagat jelas tergambarkan dalam cuplikan berikut :
“saja wengi sajatumlawung swarane, wiramane  saja nglangut nganjut-anjut ngeres-eresi ati, malah ora setitik sing karo mrebes mili, kaja2 kanti tjara mangkono bis njutak rasa kangene marang Indonesia, kangen marang tanah kelairane, kelingan mrang Negara kang pandjang-pundjung pasir-wukir loh-djinawi. Tanah Nusantara kang idjo-royo2 kebak pengeling0eling kang edi endah”
o   Kode Budaya
Kode budaya adalah pemahaman terhadap latar kehidupan, konteks, dan sistem sosial budaya. Menurut Chapman (1980: 26), kelahiran karya sastra diprakondisikan oleh kehidupan sosial budaya pengarangnya. Karena itu, sikap dan pandangan pengarang dalam karyanya mencerminkan kehidupan sosial budaya masyarakatnya.
“ Tudjune pondokanku tjerak karo gredja. Ja ana ing gredja mau nasibing awaku tak pasrahke marang ngarsane Pangeran.”
Dari cuplikan diatas terlihat budaya sosial sekitar tokoh bahwa lingkungan tempatnya religious dan kebiasaanya dating ke gereja.
“ Enggal2 Evie ndjaluk idin marang Suster perlu arep ngeterke aku ndeleng2 istana Versailles, djer tekaku mrono ora lija perlu ndjaluk dieterake nonton kraton.”
Penulis menuturkan istana dan kraton, mampu menslimulus pembaca untuk membayangkan bahwa kebudayaan disana juga terdapat kastil dan bangunan besar yang dipertontonkan. Termasuk kode budaya karena tidak semua tempat terdapat hal yang sama seperti dalam konteks cuplikan di atas.


 
Free Website templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesFree Soccer VideosFree Wordpress ThemesFree Web Templates