A.
Ramayana
Ramayana dari bahasa Sansekerta (रामायण) Rāmâyaṇa yang berasal dari kata
Rāma dan Ayaṇa yang berarti "Perjalanan Rama", adalah sebuah
cerita epos dari India yang digubah oleh Walmiki (Valmiki) atau Balmiki. Cerita
epos lainnya adalah Mahabharata. Ramayana terdapat
pula dalam khazanah sastra Jawa dalam bentuk kakawin Ramayana, dan
gubahan-gubahannya dalam bahasa Jawa Baru yang tidak semua berdasarkan kakawin
ini. Dalam bahasa Melayu
didapati pula Hikayat Seri Rama yang isinya berbeda dengan kakawin Ramayana
dalam bahasa Jawa kuna. Di India
dalam bahasa Sansekerta, Ramayana dibagi menjadi tujuh kitab.
Dalam buku Ramayana karangan C. Rajagopalachari ini
dikisahkan secara runtut perjalanan Rama dan Sinta. Disini, cerita dikemas
dengan bahasa yang indah dan mudah dimengerti, sehingga pembaca akan lebih
mudah dan akan dibawa kedunia imajinasi.
B.
Ringkasan Cerita Ramayana
Raja
Dasarata memimpin kerajaan dari ibu kota Ayodya. Ia tegakkan nilai-nilai yang
diajarkan para dewa. Kemasyhurannya tersebar di ketiga dunia. Ia setara dengan Batara Indra dan
Kubera. Dasarata mempunyai tiga istri, yaitu Kaekayi, Sumitra, dan Kausalya.
Namun, sampai saat ini Dasarata belum mempunyai putera. Maka, untuk mendapatkan
seorang putra, Dasarata melakukan upacara persembahan kuda. Dasarata diberikan
minuman para dewa, lalu ketiga akhirnya mengandung. Seiring berjalannya waktu,
putra-putra Dasarata lahir. Dewi Kausalya melahirkan Rama. Kaekayi melahirkan
Bharata. Sumitra melahirkan putra kembar, Lesmana dan Satruguna.
Suatu
ketika, Wismamitra datang ke Ayodya untuk meminta kepada Dasarata agar kedua
anaknya Rama dan Lesmana ikut membantunya untuk menumpas dua raksasa perkasa
yaitu Maricha dan Subahu. Dengan perdebatan sengit akhirnya Dasarata memberikan
izin kepada Rama dan Lesmana untuk pergi bersama Wismamitra.Dalam kisah
perjalanannya, akhirnya Rama dan Lesmana dapat membunuh raksasa-raksasa jahat.
Di
sebuah negeri bernama Mantili ada seorang putri nan cantik jelita bernama Dewi
Sinta. Dia seorang putri raja negeri Mantili yaitu Prabu Janaka. Suatu hari
sang Prabu mengadakan sayembara untuk mendapatkan sang Pangeran bagi puteri
tercintanya yaitu Sinta, dan akhirnya sayembara itu dimenangkan oleh Putera
Mahkota Kerajaan Ayodya, yang bernama Raden Rama Wijaya. Ketika Rama akan
dinobatkan menjadi Raja kerajaan Ayodya oleh ayahandanya bernama Dasarata,
ibunya Kaekayi tidak menyetujuinya. Kaekayi dihasut oleh Mantara agar anaknya
Bharata yang menjadi raja. Kaekayi meminta kepada Dasarata untuk mengasingkan
Rama selama 14 tahun di hutan. Mendengar permohonan permaisurinya itu Dasarata
sangat kaget dan tidak menerima kenyataan ini. Dia, teringat dulu dia pernah
membunuh seorang anak yang tak berdosa, kedua orang tuanya tidak terima dan
menyumpahi Dasarata, bahwa suatu saat nanti dia juga akan merasakan apa yang
mereka rasakan, Dasarata akan kehilangan anak yang paling dia cintai.
Akhirnya,
Rama, Sinta, dan Lesmana memenuhi permintaan ibu tirinya yaitu kaekayi untuk
mengasingkan diri di hutan. Kepergian Rama, Lesmana dan Sinta membuat Dasarata
merasakan kesengsaraan yang begitu dalam. Karena sayangnya dengan Rama, dan dia
tidak dapat menerima kenyataan pahit ini, akhirnya Dasarata meninggal dunia.
Bharata,
anak Kaekayi dinobatkan sebagai pengganti Dasarata. Namun, dalam kisah ini,
diceritakan bahwa sebenarnya Bharata tidak mau menerima kedudukan sebagai Raja.
Bharata sadar bahwa Rama lah yang berhak atas kedudukan itu. Bharata akhirnya
mencari Rama dan membujuknya untuk kembali ke Ayodya, namun, Rama tidak mau,
dan memberikan amanah raja kepada Bharata.
Pada
awal musim dingin,di asrama kediamannya, Rama, Sinta, dan Lesmana bertemu
dengan Surpanaka. Surpanaka adalah seorang raksasa yang merupakan saudara
perempuan Rahwana. Saat itu Sarpakenaka tertarik dengan ketampanan Rama, dan
dia menggodanya, namun Rama tetap setia dengan Sinta. Lalu, Surpanaka menggoda
Lesmana, yaitu adik Rama, namun hidung Surpanaka justru dipotong Lesmana.
Karena tidak terima,Surpanaka mengadu kepada Rahwana yaitu kakaknya. Nafsu
angkara yang membakar hati Surpanaka adalah membalas dendam dengan
mempermalukan Sinta. Untuk memancing Rahwana, ia gambarkan Sinta dengan cara
sedemikian rupa sehingga kakaknya itu terpikat dan terbakar nafsu untuk
memiliki. Rahwana meminta bantuan Maricha untuk dapat mendapatkan Sinta. Rahwana
menculik Sinta untuk dibawa ke istananya dan dijadikan istri, dengan siasatnya
Rahwana mengubah seorang hambanya bernama Maricha menjadi seekor kijang
kencana. Dengan tujuan memancing Rama pergi memburu kijang ‘jadi-jadian' itu,
karena Sinta menginginkannya. Dan memang benar setelah melihat keelokan kijang
tersebut, Sinta meminta Rama untuk menangkapnya. Karena permintaan sang istri
tercinta maka Rama berusaha mengejar kijang seorang diri sedang Shinta dan
Lesmana menunggui.
Setelah
cukup lama ditinggal berburu, Sinta mulai mencemaskan Rama, saat itu ada
terdengar suara teriakan Rama. “Aduh, aduh! Oh, Sinta, Oh Lesmana!” demikianlah
seru Maricha menirukan suara Rama. Karena khawatir, akhirnya Sinta meminta
Lesmana untuk mencari Rama. Sebenarnya Lesmana tau, bahwa itu adalah suara
tipuan raksasa, namun karena Sinta terus mendesaknya akhirnya Lesmana pergi
mencari kakanya. Lesmana mengikuti jalan-jalan yang dilalui Rama. Rahwana yang
telah menantikan kesempatan itu kemudian mendekati asrama Rama. Ia menyaru
menjadi petapa yang mengenakan pakaian kuning jingga bersih. Bibirnya
berkomat-kamit mengucapkan syair-syair Weda. Sementara itu, jauh di lubuk hati
ia tetap Raksasa yang berhati segelap malam. Seperti yang diperintahkan
tradisi, ketika melihat pertapa berpakaian kuning jingga dan membawa tempat
minum, Sinta segera mengucapkan salam hormat. Sinta mempersilahkan duduk dan
menghidangkan buah-buahan dan umbi-umbian. Akhirnya setelah bercakap-cakap,
dengan satu tangan, Rahwana jambak rambut Sinta dan dengan tangan yang lain
memondong dan menaikkan Sinta ke atas kereta yang sudah menunggu di balik
pohon. Saat dalam perjalanan pulang itu terjadi pertempuran dengan seekor
burung tua yang bernama Jatayu yang hendak menolong Sinta. Jatayu dapat
mengenali Sinta sebagai puteri dari Janaka yang merupakan teman baiknya, namun
dalam pertempuan itu Jatayu dapat dikalahkan Rahwana.
Disaat
yang sama Rama terus memburu kijang kencana dan akhirnya Rama berhasil
memanahnya, namun kijang itu berubah kembali menjadi raksasa. Dalam wujud
sebenarnya Maricha mengadakan perlawanan pada Rama sehingga terjadilah
pertempuran antar keduanya, dan pada akhirnya Rama berhasil memanah si raksasa.
Pada saat yang bersamaan Lesmana berhasil menemukan Rama dan mereka berdua kembali
ke tempat semula dimana Sinta ditinggal sendirian, namun sesampainya Shinta
tidak ditemukan. Selanjutnya mereka berdua berusaha mencarinya dan bertemu
Jatayu yang luka parah, Dari keterangan Jatayu mereka mengetahui bahwa Sinta
diculik oleh Rahwana. Setelah menceritakan semuanya akhirnya si burung garuda
ini meninggal.
Dalam
pencariannya untuk menemukan Sinta. Ketika masuk hutan, kedua pangeran itu
tiba-tiba bertemu dengan raksasa yang sangat besar. Raksasa itu bernama Kabanda.
Rama dan Lesmana menebas tangan raksasa itu. Setelah kedua tangannya
dibuntungi, raksasa itu tidak berdaya dan mulai bercerita:
“Karena
perbuatan-perbuatan jahatku, aku dikutuk Batara Indra untuk menjalani hidup
dengan wujud dan nama ini. Aku yakin kalian adalah Rama dan Lesmana. Batara
Indra berjanji akan melepaskanku dari kutukan ini setelah berjumpa denganmu dan
setelah kedua tanganku kalian buntungi. Sekarang bakarlah tubuhku dengan api.”
Akhirnya, Rama dan Lesmana membakarnya. Sebelum pergi, Kabanda berkata kepada
Rama, “Kau akan dapatkan Sinta kembali. Pergilah ke pinggir Sungai Pampa yang
permai. Mintalah bantuan kepada Sugriwa yang tinggal di Bukit Risyamuka.
Setelah diusir dari kerajaan oleh saudaranya, Subali, ia hidup dicekam
ketakutan dan bahaya. Jalinlah persahabatan dengannya dank au akan berhasil
mencapai tujuanmu. Kemudian, Rama dan Lesmana berangkat menuju Pampa. Di tempat
yang permai itu, mereka mengunjungi asrama sanyasini tua, sabari. Pertemuan
denagn perempuan suci dan air Sungai pampa itu memberikan kekuatan batin bagi
kedua pangeran.
Sugriwa
adalah pangeran wanara yang melarikan diri. Bersama dengan para pengikut
setianya, dengan was-was ia mengamati Rama dan lesmana yang masuk ke hutan. Ia
takut, para kestaria yang memihak Subali datang untuk membunuhnya. Hanoman
adalah menteri utama Sugriwa. Dengan menyamar sebagai seorang Brahmana, Hanoman
mendekati Rama dan Lesmana. Stelah berbincang-bincang dan menjelaskan maksud
kedatangannya, akhirnya mereka sepakat untuk menjadi sahabat sejati. Rama dan
Lesmana akan membantu sugriwa membunuh subali, dan Sugriwa akan membantunya
mendapatkan Sinta. Singkat cerita, akhirnya Subali berhasil dibunuh oleh Rama.
Namun, sebelum menghembuskan nafas terakhir, Subali menitipkan Anggada anaknya,
kerajaannya, dan Tara istinya.
Dari
sampati, para wanara tahu Sinta ditawan di tanah bangsa raksasa, seratus yojana
melintasi samudra. Wanara menyampaikan pada hanoman, bahwa hanya dia yang dapat
membantu Rama. Akhirnya, hanoman pergi ke Alengka. Dia menyamar sebagai kera
kecil. Betapa terpesonanya dia ketika melihat kerajaan Alengka.
Taman
Argasoka adalah taman kerajaan Alengka tempat dimana Sinta menghabiskan
hari-hari penantiannya dijemput kembali oleh sang suami. Karena sudah beberapa
kali Rahwana meminta dan ‘memaksa' Sinta menjadi istrinya tetapi ditolak,
sampai-sampai para istri Rahwana habis kesabarannya yaitu ingin membunuh Sinta
namun dapat dicegah oleh Trijata. Trijata adalah raksasi yang mengingatkan
raksasi yang lain agar tidak membunuh sinta. Trijata menceritakan mimpi
buruknya secara rici:
“Dalam
mimpiku, aku melihat Rama. Ia bersinar terang seperti matahari. Ia datang
menjemput Sinta. Rahwana memasuki istana Batara Yama. Rama mengangkat Sinta
naik gajah dan membawanya pulang. Aku melihat Rahwana dan semua bangsa Raksasa
yang berpakaian kumal penuh debu diseret batara Yama.”
Hanoman
duduk bersembunyi di atas pohon. Dari balik dahan, Hanoman mendaraskan dengan
suara lembut dan merdu kisah Rama supaya di dengar Sinta. Setelah itu, Hanoman
diam sebentar. Syair yang lembut,
membuat hati Sinta berbunga-bunga sekaligus bertanya-tanya. Ia melihat
sekeliling, ke atas ke bawah. Sinta melihat putra Batara bayu, menteri raja
wanara yang bijaksana, dalam wujud kera kecil. Wajahnya bercahaya seperti
matahari terbit. Sinta sebenarnya tidak percaya dengan hanoman, namun hanoman
terus bercerita kepada Sinta. Dan untuk menambah kepercayaan Sinta, Hanoman
memberikan cincin kepada Sinta.
Dengan
gagah berani, Hanoman mencoba untuk menantang perang pasukan Alengka dan Rahwana.
Dengan segala kekuatannya, akhirnya kota Alengka dibakar olehnya. Rahwana marah
besar dan berniat untuk membunuh Hanoman. Namun, pasukan Rahwana dapat dibunuh
oleh Hanoman. Hanoman, Rama, Lesmana, dan pasukan wanara serta Sugriwa berusaha
untuk merebut Sinta. Rahwana pergi meminta bantuan Kumbakarna. Karena suatu
kutukan, Kumbakarna biasa tidur selan berbulan-bulan. Akhirnya, Kumbakarna
berhasil dibangunkan dan bersedia membantu Rahwana. Kumbakarna pun tewas di
tangan Rama sendiri. Kematian Kumbakarna membuat Rahwana semakin murka dan
sedih. Dengan bantuan Indrajit, pasukan-pasukannya termasuk juga Kumba, Nikumba
dan Yupaksa ia mencoba untuk memusnahkan Rama dan kawan-kawannya. Wibisana adik
Rahwana, membantu Rama untuk merebut Sinta kembali. Setelah bertarung sengit,
Kumba tewas di tangan Sugriwa dan Nikumba di tangan Hanoman. Maharaksa, putra
Kara, yang menghadapi Rama, tewas diterjang panah api Rama. Masih banyak lagi
senopati perang bala tentara raksasa yang tewas bersimbah darah. Dan akhirnya, Indrajit
pun tewas di tangan Lesmana. Rahwana sangat sedih dengan kematian putranya.
Ratap
tangis terdengar di setiap rumah di Alengka. Kesedihan, rasa malu, dan amarah
campur aduk menggelegak di dada Rahwana seperti laut yang mengamuk. Rahwana dan
bala tentaranya maju ke medan laga. Rahwana terus maju menuju medan laga
didampingi Wiropaksa, Mahodara, dan Mahaparswa. Para raksasa yang menemani
Rahwana langsung bertumbangan disambut hujan panah dan batu mematikan. Rahwana
bertarung sengit dengan Rama. Dalam pertarungannya, Rahwana tidak dapat
dimatikan. Akhirnya, Rama pun segera mengucapkan mantra seraya melontarkan
panah Bramastra. Meskipun sepuluh kepala Rahwana berulang kali bunting,
kepala-kepala itu tumbuh kembali. Kesaktian Rahwana membingungkan Rama. Brahmastra,
yang memancarkan bara api, melesat dan menerjang dada Rahwana, Brahmastra
menerjang persis pada bagian yang menyimpan rahasia kesaktian Rahwana, bagian
rahasia itu remuk seketika. Busur meluncur jatuh dari jari-jemari rahwana dan
raksasa sakti tersebut akhirnya tumbang dan terjatuh dari kereta; tersungkur di
tanah. Kematian Rahwana membuat hati Wibisana sedih. Rahwana, kakak kandungnya
akhirnya tewas di tangan Rama.
Singkat
cerita setelah kematian Rahwana, Wibisana dinobatkan menjadi raja Alengkan
dengan upacara yang megah. Namun, keraguan merasuki hati Rama, dia meragukan
kesucian Sinta. Sinta sangat kecewa dengan tuduhan Rama. Kemudian, Sinta
menyuruh Lesmana untuk membuat api unggun yang besar untuknya. Seperti yang
diperintahkan Sinta, Lesmana membuat api unggun besar. Kemudian, dengan mata
menatap lurus ke tanah, berjalan mengelilingi suaminya. Akhirnya, ia meloncat
ke dalam kobaran api. Dan ajaib! Di sela-sela kobaran api muncul para penghuni
kahyangan. Para dewa datang dan bersama-sama di sana.
Batara
agni, Dewa Api, muncul di antara kobaran api dan memondong Sinta. Seluruh
pakaian serta perhiasan yang dikenakan Sinta sama sekali tak terbakar dan utuh.
Kemudian, ia serahkan Sinta kepada Rama. Akhirnya, Rama dan Sinta hidup
bahagian bersama dan Rama dinobatkan menjadi Raja di Ayodya.
C.
Membaca
dan Menilai Sastra oleh A. Teeuw
Membaca
dan menilai sebuah karya sastra bukanlah sesuatu yang mudah. Setiap pembaca
roman atau puisi, baik modern atau pun klasik, pasti pernah mengalami
kesulitan, merasa seakan-akan tidak memahami apa yang dikatakan atau pun
dimaksudkan oleh pengarangnya. Proses membaca adalah memberi makna kepada
sebuah teks tertentu yang dipilih atau yang dipaksakan kepada kita yakni proses
yang memerlukan pengetahuan system kode yang cukup rumit, kompleks, dan aneka
ragam. Untuk memahami sebuah karya sastra, pembaca harus menguasai berbagai
macam sistem kode, baik kode bahasa, kode budaya, maupun kode sastra (Teeuw,
1983: 15).
1.
Kode Bahasa
Faktor
pertama yang dalam model semiotik sastra harus diberi tempat yang selayaknya
adalah bahasa, sebagai sistem tanda yang kompleks dan beragam. Bahasa merupakan
sistem pembentuk model yang primer, yang mengikat baik penulis maupun pembaca,
tidak hanya dalam arti bahwa kedua-duanya harus mengetahui bahasa yang dipakai
dalam karya sastra, tetapi juga dalam arti bahwa keistimewaan struktur bahasa
itu secara luas membatasi dan sekaligus menciptakan potensi karya sastra dalam
bahasa tersebut.
2.
Kode Sastra
Kode sastra adalah kode
yang berkenaan dengan hakikat, fungsi sastra, karakteristik sastra, kebenaran
imajinatif dalam sastra, sastra sebagai sistem semiotik,sastra sebagai dokumen
sosal budaya, dan sebagainya. Menurut Teeuw (1991: 14),sesungguhnya kode sastra
itu tidak mudah dibedakan dengan kode budaya, meskipunbegitu, pada prinsipnya
keduanya tetap harus dibedakan dalam kegiatan membaca dan memahami teks sastra.
3.
Kode Budaya
Kode budaya adalah
pemahaman terhadap latar kehidupan, konteks, dan sistem sosial budaya. Menurut
Chapman (1980: 26), kelahiran karya sastra diprakondisikan oleh kehidupan
sosial budaya pengarangnya. Karena itu, sikap dan pandangan pengarang dalam
karyanya mencerminkan kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Sejalan dengan
itu, Rachmat Djoko Pradopo (2001: 55- 56), menyatakan bahwa karya sastra
sebagai tanda terikat pada konvensi masyarakatnya, karena merupakan cermin
realitas budaya masyarakat yang menjadi modelnya.
Untuk
memahami kode budaya dalam kisah Ramayana ini maka kita mengembalikan karya
sastra ini dan memandang karya ini sebagai perwujudan nilai-nilai dan
peristiwa-peristiwa penting pada jamannya, seperti kehidupan kebudayaan, alam
pikiran, susunan tata pemerintahan, kebiasaan adat-istiadat, keadaan
kemasyarakatan, dan kegiatan kultural lainnya yang hanya dapat dipahami dalam
suatu totalitas kehidupan masyarakat yang telah melahirkannya.
D.
Analisis
Kisah Ramayana Karangan C. Rajagopalachari
1. KODE BAHASA
a. Pola Unsur Sastra
Yang dimaksud pola unsur sastra
ialah berupa unsur-unsur sastra yang mengandung mitologi dalam jalinan
genealogi atau silsilah yang dihubung-hubungkan dengan dewa-dewa, bidadari, tokoh-tokoh
wayang, resi atau Begawan dan diselingi legenda yang bertalian dengan pola
dasar alam pikiran pokok kehidupan yang cukup lama yang mengandung unsur-unsur
air, tanah, api, dan udara. Kadangkala diperkuat lagi dengan siimbolisme yang
berwujud lambang-lambang sinar berkelarat di angkasa yang disebut wahyu, daru,
pulung atau berwujud benda-benda pusaka keramat, dan kata-kata kiasan.
Kadangkala dengan hagiografi yang menunjukkan kemukjizatan atau dengan unsur
sugesti berupa ramalan atau firasat, suara gaib, tabir mimpi, dan pemali.
Unsur mitologi (unsur-unsur fiktif),
legende (asal muasal) , hagiografi (peristiwa-peristiwa mukjizat), simbolisme,
dan sugesti (pengaruh) dinamakan aspek fiktif sebagai ramuan sastra dalam
membentuk suatu bangunan sastra.
a.
Pemilihan diksi
Pada cerita Ramayana karangan C.
Rajagopalachari digunakan diksi (pemilihan kata yang sangat bagus, yaitu :
1. “Kedatangan Wismamitra di Ayodya
amat mengejutkan. Raja Dasarata sendiri pun turun dari singgasana dan menyambut kedatangan resi itu.”
è Penggunaan kata singgasana ini merupakan
aspek kode bahasa yaitu penggunaan diksi atau pemilihahan kata. Singgasana
mempunyai arti rumah tempat tinggal, namun untuk lebih memperindah kata
tersebut penulis memilih kata singgasana.
2. Dengan kata-kata yang manis, ia coba
menghibur Trisanku, “Paduka yang mulia,
aku sudah mendengar kabar tentang keadilanmu. Aku akan menolongmu; jangan
takut…”
è Dari penggalan cerita ini, maka
terdapat kode bahasa yaitu berupa diksi atau pemilihan kata. Paduka yang mulia
adalah pengganti sebutan untuk Raja. Disini dijelaskan bahwa, Wismamitra
kasihan kepada raja, raja yang dimaksudkan dalam penggalan cerita ini adalah
Raja Trisanku yang dikutuk menjadi chandala. Disebutkan juga Wismamitra
memanggil Raja Trisanku dengan sebutan “Yang Mulia Trisanku”.
è Untuk menyebut Dasarata digunakan Paduka Raja
3. Pada bagian lain juga terdapat diksi
yang menyebut Rama dan Lesmana menggunakan kedua
putra raja dan kedua pangeran. Yaitu
pada penggalan :
è Kedua putra raja diminta menghadap Resi Wismamitra.
Kemudian raja, para permaisuri, dan Resi Wasista memberikan berkat dan
mengantar mereka pergi bersama Resi Wismamitra.
Angin berhembus lembut dan awan-awan
bergelantungan seperti untaian bunga yang ditabur para penghuni kahyangan.
Sayup-sayup terdengar alunan napas alam. Dengan tangan tertangkup di dada, kedua pangeran itu berjalan dikiri dan
kanan sang brahmaresi.
è Pada penggalan cerita ini juga ada
permajasan yang merupakan penggambaran kepergian Rama, Lesmana, dan Wismamitra
yang disambut oleh orang-orang tersayang mereka. Permajasan ini merupakan
bagian dari kode bahasa.
4. Bayi nan elok memikat ini dibesarkan Raja Janaka dan permaisuri terkasihnya.
è Bayi nan elok memikat = merupakan
diksi yang digunakan untuk menggambarkan bayi yang sangat cantik.
è Permaisuri terkasihnya = merupakan
diksi yang ditujukan untuk istri Raja Janaka.
è Kode bahasa yang ada yaitu diksi
atau pilihan kata.
5.
Seorang gadis pelayan kecil menari
dengan hati riang. “Apakah engkau tidak tahu esok pagi Ramachandra akan
dinobatkan memjadi Yuwaraja?”. Barulah Mantara sadar apa yang sedang terjadi. Pelan-pelan amarah meriap dan menguasai
hatinya. Bagaikan anak panah melesat dari busur, ia berlari turun. Ia
langsung menuju kamar Dewi Kaikeyi. Waktu
itu, sang permaisuri sedang tidur di peraduan.
è Kode bahasa yang ada yaitu diksi,
yaitu:
·
Seorang gadis pelayan kecil menari
dengan hati riang.
·
Pelan-pelan amarah meriap dan
menguasai hatinya.
·
Waktu itu, sang permaisuri sedang
tidur di peraduan.
6.
Dewi Kausalya tumpahkan segala amarah yang membadai di
hatinya kepada Dasarata yang dihantam kegalauan
hati dan penyesalan tak terkira. Kesedihan hati Kausalya menemukan muara
dalam kata-kata tajam menusuk hati. Bagi Dasarata, kata-kata itu seperti
memberi garam pada nganga luka di hati. Gejolak perasaan Kausalya terlampiaskan
dalam kata-katanya kepada Dasarata.
7.
Terhenyak oleh serangan dari belakang – ia sama sekali tidak
menyangka diserang dari belakang – Subali melihat sekeliling dengan tatapan tak
mengerti. Ia melihat Rama dan Lesmana mendekat dengan busur di tangan. Air mata
mengalir dari pipi saking marahnya.
è Pemilihan diksi yang merupakan kode
bahasa yaitu berupa kata saking.
Pada bagian lain juga ada kata-kata
saking, yaitu:
Ia tumpukan kaki dan tangan pada
bukit itu. Karena tekanan itu, bunga-bunga berguguran dan menyelimuti bukit.
Saking kuat tekanan kaki Hanoman, Bukit Mahendra memuntahkan mata air, seperti
air mata yang mengalir dari pipi gajah.
8. “Kakakku ini sebenarnya terlahir dengan hak istimewa. Ia terlahir
sebagai putra sulung raja besar. Ia tinggalkan kerajaannya dan hidup di hutan.
Di hutan, istrinya yang ia kasihi lebih daripada hidupnya sendiri, diculik oleh
Rahwana.
è Pada bagian ini Rama dipanggil
dengan kakak, namun pada bagian lain Rama dipanggil kanda oleh adiknya, yaitu :
“Kanda Rama, demi aku, kau tidur di atas rumput….”
9. Sinta turun dari tandu. Dengan wajah
muram, ia berjalan menuju Rama. “Aryaputra,” katanya sambil tersedu,
tak sanggup melanjutkan kata-kata.
è Aryaputra dalam bahasa sansekerta
berarti yang terkasih dan yang mulia, serta merupakan sapaan intim seorang
istri kepada suami.
è Aryaputra merupakan pemilihan diksi
yang ada dalam cerita Ramayana ini. Pada bagian lain, Sinta memanggil Rama
dengan suamiku, yaitu:
“Suamiku, kata-katamu indah. Bagiku,
apa yang kau katakana itu aneh. Seorang istri dipisahkan dari suaminya.
Kewajiban suami bukan tanggung jawab istri…..”
Pemilihan diksi ini merupakan bagian dari kode bahasa.
b. Permajasan
1. Karena khawatir kekuasaannya akan
guncang, para dewa mengalah dan memohon supaya Wismamitra berhenti unjuk
kekuatan. “Biarlah Trisanku tetap berada di sana. Biarlah bintang gemintang ciptaanmu menggantung di langit untuk
selamanya, seperti kemasyhuran dan kehormatanmu. Kendalikan amarahmu dan
marilah berdamai.”
è Pada penggalan cerita ini, maka
terdapat bermajasan yaitu alegori, yang merupakan penggambaran kekuatan seorang
Wismamitra (kemasyhuran dan kehormatannya). Pada saat ini, diceritakan bahwa
Wismamitra sangat murka karena Trisanku ditolak masuk surga.
2.
Ketika ia masuk halaman pertapaan, hutan memancarkan gairah musim semi, angin selatan membawa harum bunga,
dan burung-burung kokila menawarkan angin selatan membawa harum bunga.
è Pada penggalan cerita ini, terdapat
permajasan yang menggambarkan kecantikan seorang dewi kahyangan yaitu Dewi
Ramba. Dewi Ramba diutus para dewa untuk mengganggu atau memikat Wismamitra,
agar tapa bratanya selama seribu tahun untuk mengalahkan semua hawa nafsu dapat
digagalkan.
3.
Meskipun demikian, dengan
hati yang penuh syukur kita bisa sedikit mencicipi kecantikan dewi bumi melalui
pepohonan yang menghijau pada musim semi, kemilau daun-daun yang masak di pohon
pada musim gugur; dengan hati yang terbuka kita bisa menyaksikan sedikit pesona
kecantikan sang dewi bumi melalui keindahan dan keagungan gunung, lembah,
sungai, dan lautan.
è Kata-kata yang dicetak tebal diatas
merupakan permajasan yang menggambarkan kecantikan Sinta yang begitu sangat
cantik.
è dengan hati yang penuh syukur kita bisa sedikit mencicipi
kecantikan dewi bumi = merupakan majas sinestesia.
4.
Dasarata tahu dan
senang dengan harapan rakyat itu. Karenanya, pada usianya yang sudah beranjak
senja, ia ingin menobatkan Rama sebagai Yuwaraja. Dengan demikian, ia
mempercayakan tampuk kekuasaan kerajaan secara de facto. Setelah meminta
nasihat nasihat kepada para menteri, Dasarata mengundang dewan kerajaan untuk
bertemu. Para resi dan para bijak, para pemimpin kota dan raja-raja dari negara
tetangga hadir dalam pertemuan itu. Setelah semua duduk di tempat yang telah
disediakan, dasarata berdiri dan bicara kepada mereka semua. Suaranya yang berat, seperti suara terompet
atau deru awan mendung, memenuhi gedung pertemuan. Wajahnya menampakkan
kemuliaan seorang raja. Kata-katanya
penuh makna dan memikat orang-orang yang mendengarkan.
è Pada
bagian ini ada kode sastra yaitu berupa permajasan , yang ditunjukkan pada
bagian yang dicetak tebal diatas.
5.
“Bangun,
bangun, perempuan bodoh! Badai
kemalangan meradang dan siap menelanmu! Engkau dikhianati dan akan segera
hancur. Bintangmu telah luruh.
Perempuan bodoh, sekarang bukan saat yang tepat untuk enak-enak tidur!”
è Kode bahasa yang
ada pada bagian ini adalah berupa permajasan.
a)
Badai
kemalangan meradang dan siap menelanmu! Maksud
majas ini adalah kesengsaraan akan melanda Dewi Kaekayi.
b)
Bintangmu
telah luruh. Maksudnya adalah Dewi Kaekayi akan
kehilangan kedudukannya.
6.
Mulut Kaikeyi tetap terkunci, tetapi
matanya mengutarakan kobaran amarah yang telah menghanguskan hatinya.
è Kode bahasa yang ada yaitu berupa
permajasan. Majas ini menjelaskan bahwa: Kaikeyi tetap diam tak mau bicara
mendengar kata-kata Dasarata yang mengatakan banyak kata kepadanya, karena dia
tidak rela kalau Rama tidak bisa menjadi Raja. Rama adalah anak tertua yang
sangat patuh, yang sangat baik. Walau diam namun sebenarnya dalam pikiran
Kaikeyi sudah berkobar perasaan tidak rela dan tetap pada pendiriannya. Hatinya
sudah dirasuki perasaan atas keserakahan.
7. Ketika
sais kereta itu tiba, kota tampak muram
dan kehilangan keceriaan dari hiruk-pikuk para penghuninya. Segera setelah
ia melewati gerbang kota, orang-orang menghentikan keretanya. Mereka
memberondong Sumantra dengan pertanyaan, “Di mana kau tinggalkan Rama?
Bagaimana keadaannya ketika kau pergi?”
è Kode
bahasa yang ada pada bagian ini berupa majas personifikasi yaitu kota tampak muram dan kehilangan keceriaan
dari hiruk-pikuk para penghuninya. Maksud majas ini adalah menggambarkan
kesedihan para rakyat yang ditinggal oleh Rama, Lesmana dan Sinta.
8.
Seperti yang yang
diminta Rama, Sumantra masuk dan memberitahukan kepada raja. Betapa terkejut
Sumantra ketika melihat Raja Dasarata. Seperti matahari yang dilanda gerhana,
layaknya tungku yang suram karena abu, laksana bak api yang kehabisan air, raja
tergolek di lantai. Sama sekali tidak tampak kemuliaan seorang raja. Wajahnya suram dilipat duka nestapa.
è Kode bahasa
Yaitu pada
pemilihan kata à Wajahnya suram dilipat duka nestapa. Kata-kata ini adalah pilihan
kata untuk menunjukkan wajah Dasarata yang sangat sedih.
9. “…. Kau akan jadi permaisuri dan istri penguasa
Alengka, penakluk Kubera. Marilah kita nikmati kenikmatan dunia di Puspaka Wimana. Jangan biarkan awan kesedihan memayungi wajahmu. Marilah kita
cicipi surga kenikmatan.”
è Kode
bahasa yang ada disini berupa permajasan yaitu Jangan biarkan awan kesedihan memayungi wajahmu.
10.
Dewi Kausalya yang
malah berusaha sebaik-baiknya menghibur sang raja. Tapi, hiburan macam apakah
yang bisa diberikan seorang perempuan yang sedang dirundung duka? Malam merangkak lambat, detik demi detik.
Dingin udara malam serasa jilatan api yang membara. Sinar bulan yang lembut
terasa panas membakar seperti matahari di terik siang.
è Kode
bahasa yang ada disini adalah berupa permajasan. Majas ini menggambarkan
bagaimana keadaan malam itu saat Dewi Kausalya sangat begitu sedih.
11. “Seperti pengemis yang menemukan harta karun
terpendam, ketiga permaisuri itu gembira bukan alang kepalang. Tak lama
kemudian, ketiganya pun mengandung.”
è Episode
ini ditafsirkan secara alegoris bahwa ketiga istri Dasarata yaitu Dewi
Kausalya, Sumitra dan Kekayi sangat senang karena akhirnya dapat mengandung. ketika
Dasarata menerima mangkuk payas dari para dewa untuk dibagi-bagikan pada ketiga
istrinya untuk dapat mengandung seorang putra.
12. “Berkat
kemuliaan budi leluhur, Engkau berkenan mengunjungi kami. Seperti cahaya pagi yang mengusir kegelapan malam, kedatanganmu membawa
kebahagiaan bagi kami. Hatiku amat gembira. Meskipun terlahir sebagai raja,
engkau menjadi brahmaresi berkat laku tapa. Dan, engkau sendiri datang
mengunjungi istanaku. Pakah yang dapat aku lakukan untuk Maharesi? Jika ada,
perintahlah dan aku akan laksanakan.”
è Pada
penggalan episode ini ditafsirkan secara alegoris yaitu pada bagian yang
dicetak tebal, kiasan ini menggambarkan bahwa kedatangan Wismamitra kepada
Dasarata digambarkan seolah-olah Wismamitra membawa cahaya atau kebahagiaan
untuk Dasarata.
13.
Setiap upaya Dasarata
menarik kembali janji yang telah diucapkan semakin membuat Wismamitra murka. Semua permohonan dan alasannya seperti
percikan minyak pada bara api yang membakar amarah sang resi.
è Penggalan
cerita ini juga ditafsirkan secara alegoris yang merupakan gambaran emosi
Wismamitra yang semakin membara karena alasan dan permohonan Dasarata. Dasarata
tidak menyetujui anaknya Rama dibawa oleh Wismamitra untuk mengalahkan raksasa.
14.
Mereka bertiga berjalan
beriringan dengan busur dan setangkup anak panah di bahu serta pedang di
pinggang. Gagah seperti ular kobra yang
menegakkan kepala dengan posisi siaga.
è Penggalan
ini juga ditafsirkan secara alegoris menggambarkan kegagahan Rama, Lesmana, dan
Wismamitra yang bersiap pergi untuk mengalahkan raksasa.
15.
Setelah bertahun-tahun
tertutup dedaunan dan rerumputan serta menepati jani, Ahalya bebas dari
kutukan. Di hadapan Rama, ia tampak
bercahaya, seperti bulan yang menyibak awan gemawan, bak nyala api yang
menyelinap di sela-sela asap, juga laksana matahari yang berkilauan di
riak-riak air.
è Penggalan
cerita ini menggambarkan kecantikan Ahalya yang telah lama tertutup karena kutukan
dari Gautama.
16.
Setelah beroleh izin
dari Wismamitra dan raja, Rama melangkah mendekati kotak besi. Semua mata
memandag Rama penuh harap. Setelah membuka tutup kotak, sungguh ajaib, ia dapat menganggkat busur tersebut dengan
entengnya, seperti mengangkat karangan bunga saja. Ia rentangkan tali busur
itu dengan mengambil gerakan siap membidik. Ketika tali dilepaskan, busur sakti seperti meledak sekeras halilintar.
Hujan bunga turun dari kahyangan.
è Yang
pertama : ia dapat menganggkat busur
tersebut dengan entengnya, seperti mengangkat karangan bunga saja.
Penggalan ini
menggambarkan betapa kuatnya Rama mengangkat busur Syiwa. Seperti tidak ada
beban saja, ia dapat mengangkat busur itu.
è Yang
kedua : melukiskan betapa kerasnya ledakan busur ketika dilepaskan oleh
Rama.
17.
Barulah Mantara sadar apa yang sedang terjadi. Pelan-pelan
amarah meriap dan menguasai hatinya. Bagaikan
anak panah melesat dari busur, ia berlari turun. Ia langsung menuju kamar
Dewi Kaikeyi. Waktu itu, sang permaisuri sedang tidur di peraduan.
è “Bagaikan anak panah melesat dari busur, ia berlari turun.” Penggalan ini menggambarkan betapa
sangat cepat sekali Mantara berlari untuk menemui Kaekayi.
18.
Tidak sanggup
menghadapi kenyataan yang sedemikian berat, Dasarata jatuh pingsan. Ketika
sadar, ia jatuhkan diri dihadapan Kaikaeyi. Seperti melihat harimau yang siap menerkam, badan Dasarata bergetar
tidak keruan. Ia duduk dilantai dan meratap. Tidak ada lagi daya atau wibawa, seperti ular kobra yang terbius
mantra. Sekali lagi ia tumbang; tak sadarkan diri.
·
Seperti
melihat harimau yang siap menerkam, badan Dasarata bergetar tidak keruan. Penggalan
ini menggambarkan ketakutan Dasarata yang tidak sanggup menghadapi kenyataan
bahwa Kaekayi meminta Bharata untuk menjadi Raja, dan Rama harus mundur.
·
Tidak
ada lagi daya atau wibawa, seperti ular kobra yang terbius mantra. Maksud
penggalan ini adalah menggambarkan Dasarata sudah lemas tak berdaya karena
harus menghadapi kenyataan pahit atas kepergian Rama ke hutan selama 14 tahun.
19.
Dalam Kamba Ramayana, ketika bicara kepada Lesmana yang “marah
membara seperti api yang siap membakar apa saja.”, Rama berkata, “ Bukan salah
sungai, ketika airnya mengering. Demikian pula, pengasinganku ke hutan bukan
salah raja, Ibunda Kaikeyi atau Bharata. Ini sudah suratan takdir. Jika
demikian, apa gunanya marah-marah?”
è Menggambarkan
dengan cara lain ketika Lesmana sangat marah karena tidak terima jika kakaknya
Rama harus diasingkan di hutan. Yaitu: ketika
bicara kepada Lesmana yang “marah membara seperti api yang siap membakar apa
saja.”
è Permajasan
yang kedua adalah Bukan salah sungai,
ketika airnya mengering. Demikian pula, pengasinganku ke hutan bukan salah
raja, Ibunda Kaikeyi atau Bharata. Bagian ini menggambarkan bahwa tidak ada
yang perlu disalahkan karena semua sudah suratan takdir.
20. Seperti
yang yang diminta Rama, Sumantra masuk dan memberitahukan kepada raja. Betapa
terkejut Sumantra ketika melihat Raja Dasarata. Seperti matahari yang dilanda gerhana, layaknya tungku yang suram
karena abu, laksana bak api yang kehabisan air, raja tergolek di lantai. Sama
sekali tidak tampak kemuliaan seorang raja.
Wajahnya suram dilipat duka nestapa.
·
Majas alegori à
Seperti matahari yang dilanda gerhana,
layaknya tungku yang suram karena abu, laksana bak api yang kehabisan air, raja
tergolek di lantai. Penggalan ini menggambarkan keadaan Dasarata yang
tergolek sakit karena kekecewaannya kepada Kaekeyi dan kedukaannya yang begitu
dalam.
21.
“Aku
tertipu parasmu. Kupikir kau adalah perempuan luhur hingga aku memperistrimu.
Seperti laki-laki bodoh yang tergoda untuk minum anggur beracun, aku terpikat
kecantikanmu dan mengambilmu sebagai istri. Seperti rusa yang terjerat
perangkap pemburu, aku terjebak dalam jebakan dan akan mati. Seperti brahmana
mabuk di jalan, semua orang akan mencomoohku.
Apa permohonan yang kau pinta dariku? Permintaan yang memberi cemar pada
kemasyhuran dinasti untuk selama-lamanya. Permintaan yang akan dikenang sebagai
kedunguan laki-laki pikun penuh nafsu yang sampai hati mengusir putra terkasih
dan terbaiknya.”
è Penggalan
ini menggambarkan kekecewaan dasarata pada Kaekayi.
22. “Dosa
masa lalu membunuhku; laksana makanan yang dilarang seorang tabib, tapi secara
bodoh dimakan oleh orang yang sakit. Apa yang dikatakan orang tua dalam
kepengapan dan kesedihan hati yang tak terkira itu sekarang benar-benar terjadi. Dengan mata kepalaku sendiri, aku
saksikan putraku yang tanpa cela dibuang ke hutan. Sebentar lagi, aku akan mati
karena derita batin yang tak tertahankan.
è Dosa masa lalu
membunuhku; laksana makanan yang dilarang seorang tabib, tapi secara bodoh
dimakan oleh orang yang sakit. Penggalan ini
melukiskan penyesalan dimasa lalu yang telah dilakukan oleh Dasarata. Dulu
Dasarata pernah memanah seseorang tanpa sengaja, dan kedua orang tuanya tidak
terima dan mereka mengutuk Dasarata. Suatu saat Dasarata akan merasakan duka
yang begitu dalam karena ditinggalkan oleh anak kesayangannya. Dan akhirnya,
Dasarata merasakan buah dari hasil perbuatannya.
23.
Seketika itu, Maricha mengubah diri menjadi kijang
kencana. Setiap bagian tubuhnya menebarkan warna dan keindahan yang mempesona.
Seperti pelangi di langit, kijang itu memukau setiap mata yang memandang.
Kulitnya yang elok seperti bertabur emas, perak, intan, mutiara, dan bebungaan.
Kulitnya yang memancarkan cahaya keemasan seperti bertabur batu permata.
è Pada
bagian ini pun juga ada kode bahasa yaitu berupa permajasan, yaitu bagaimana
majas-majas itu digunakan untuk menggambarkan keindahan kijang kencana.
24.
Setelah memasang anak
panah pada tali dan menariknya sampai ke telinga. Rama lesatkan anak panah
persis ke dada perkasa Subali. Diterjang anak panah yang melaju tak
tertahankan, Subali tumbang ke tanah
seperti pohon besar yang tumbang ditebang kapak. Subali terjungkal ke tanah
berdarah-darah seperti panji-panji festival yang dicabut setelah pesta usai.
Meskipun
demikian, ketampanannya tetap bersinar terang. Badannya berkilau seperti awan
yang tertimpa cahaya matahari. Medali sakti pemberian Batara Indra bersinar
terang di dadanya. Medali inilah yang menjaga nyawa dan nasib baik Subali.
Medali itu, anak panah Rama, luka yang berdarah-darah, semuanya menambah
cemerlang cahaya badannya yang perkasa.
è Pada
bagian ini terdapat kode bahasa berupa permasajasan. Majas ini menggambarkan
bagaimana keadaan Subali saat ia akan meregang nyawanya setelah dipanah oleh
Rama.
v Majas metafora:
25. Ia menatap ke sekeliling sambil menyembunyikan
diri di balik rerimbunan pohon. Ia duduk pada salah satu cabangnya dan melihat
ke bawah. Benar saja, ia melihat sesosok perempuan sedang duduk di gazebo.
Perempuan itu sangat cantik dan murni seperti seorang dewi.
Meskipun kurus
dan pucat, wajahnya bersinar seperti rembulan pada awal paruh. Kecantikannya
terpancar dari hati yang sendu, seperti api yang tersaput asap. Mengenakan
pakaian yang kotor, ia seperti bunga teratai cantik yang terlapisi lumut yang
berlumpur. Air mata membasahi wajahnya. Ia tampak pucat dan kurus karena kurang
makan. Ia hanyut dalam kesedihan hati. Sendirian. Sama sekali tidak terpancar
sinar harapan. Setiap kali mata itu memandang, hanya para raksasi yang ia
temukan. Ia merasa seperti rusa betina yang terpisah dari kawannya dan dikepung
sekelompok anjing liar. Satu kepang rambutnya yang panjang seperti ular tampak
berantakan dan tak terurus, memanjang sampai pinggang. Di mata Hanoman, ia
tampak menarik dan sekaligus mengundang belas kasihan, seperti syair-syair
agung yang disobek dari kitab suci oleh orang-orang yang ingkar. Ia seperti
harta karun yang tenggelam di antara puing-puing tanpa arti, seperti harapan
yang hancur berantakan dan keyakinan yang terkhianati, seperti kecerdasan yang
dinodai kegilaan, juga seperti kemurnian tanpa cela yang dinodai fitnah yang
keji…………………………………………………………..
è Pada
bagian ini merupakan kode bahasa berupa majas metafora. Yang menggambarkan
bagaimana kesedihan hati Sinta saat jauh dari Rama, saat ia diculik oleh
Rahwana.
c. Kode
bahasa yang lain pada cerita Ramayana ini adalah bahasa untuk menyampaikan
cinta Rahwana kepada Sinta, yaitu:
“Kau
boleh menganggap dan menikmati semua ini sebagai milikmu. Kau akan menjadi
permaisuriku yang akan kucintai lebih daripada hidupku sendiri. Aku punya
banyak istri, tapi aku akan jadikan kau tuan atas mereka. Mulai sekarang,
cintaku hanya untukmu dan hanya untukmu. Dengarkan aku, sambutlah keinginanku.
Laut seluas ratusan mil mengelilingi tempat kita. …”
2. KODE SASTRA
a. Alur
: alur dalam cerita Ramayana karangan C. Rajagopalachari adalah alur maju. Pada
buku ini, alur cerita sangat runtut dari awal cerita hingga akhir cerita. Setiap
episode diceritakan dengan bahasa-bahasa indah (gaya bahasa), seperti :
b. Penokohan
: unsur penokohan disini juga merupakan salah satu kode sastra. Nama-nama yang
digunakan merupakan tokoh-tokoh dalam pewayangan. Namun, dalam buku Ramayana
ini dikemas menjadi satu kesatuan cerita yang seolah-olah terjadi dalam dunia
nyata. Cerita ini merupakan gambaran masyarakat India. Misalnya:
1. Dalam
menggambarkan kecantikan sosok Dewi Ramba, ditunjukkan oleh:
Mengetahui para
dewa ketakutan, Batara Indra segera memanggil dewi kahyangan yang jelita, Dewi
Ramba. Ia perintahkan sang dewi untuk memikat Wismamitra dengan kecantikan dan
rayuannya. Semula Dewi Ramba sangat takut menerima tugas itu, tapi Batara Indra
berjanji tidak akan membiarkannya bekerja sendirian. Ia akan mengutus Dewi
Cinta dan Dewa Musim Semi untuk membantu Ramba. Pada akhirnya, walau dengan
hati enggan, Ramba berangkat juga. Ketika
ia masuk halaman pertapaan, hutan memancarkan gairah musim semi, angin selatan
membawa harum bunga, dan burung-burung kokila menawarkan merdu kicauan. Dewa
Cinta dan Dewi Musim Semi datang membantu kecantikan Ramba. Merasa terganggu
dengan piruk-pikuk yang telah lama tidak ia dengar. Wismamitra membuka mata dan
melihat seorang gadis jelita di depannya. Keindahan hutan, wangi bunga, dan
kicau burung musim semi seolah memuncak pada diri gadis jelita di depan
matanya.
2.
Penggambaran
sosok Parasurama, yaitu:
Ketika Dasarata
dan Wasista sedang berdialog, tiba-tiba badai datang menerjang. Pohon-pohon bertumbangan, bumi berguncang,
dan debu beterbangan menutupi matahari. Suasana berubah gelap. Semua dicekam
ketakutan. Ternyata, inilah alasan kejadian aneh itu. Di hadapan mereka berdiri
tegak sosok yang menggetarkan nyali, Parasurama. Dulu Parasurama pernah
bersumpah akan membunuh setiap ksatria yang dijumpai. Dengan busur di pundak
yang satu dan kapak perang di pundak yang lain, serta anak panah yang berkilau
seperti kilatan petir di tangan. Sebuah penampakan yang menyeramkan. Rambutnya
yang panjang digelung berpilin-pilin. Ia seperti rudra yang menikmati
penghancuran Tripura. Wajahnya memancarkan cahaya seperti api. Putra Jamadagni
ini memang ditakuti golongan kesatria. Banyak sekali kesatria yang telah tewas
di tangannya. Kedatangannya selalu diawali dengan badai dan gempa bumi. Golongan
kesatrian dibuat gemetar ketakutan.
è Dari
penggalan ini pada dapat kita ambil kode sastra yaitu bagaimana tokoh
Parasurama digambarkan sebagai sosok yang sangat menakutkan.
3. Kode
sastra yang ditunjukkan dari aspek penokohan yang lain, yaitu pada diri Dewi
kaekayi, disini, digambarkan bagaimana kecantikan Dewi kaekayi yang walau tanpa
perhiasan. Saat itu ia dalam keadaan telah dihasut oleh Mantara. Dewi kaekayi
takut akan dijadikan budak jika Rama yang menjadi Raja. sekaligus dalam
penggalan kisah ini, kita juga akan mengerti bagaimana sosok Dewi kaekayi itu:
Dalam gelegak
amarah yang mendidih Dewi Kaekayi yakin Dasarata telah mengkhianatinya.
Meskipun telah menanggalkan semua perhiasan dan pasang muka muram durja
bercampur amarah, Dewi Kaekayi masih cantik memikat. Kecantikan sang permaisuri
justru semakin mempesona.
Akal bulus
Mantara telah merasuk pikiran Dewi Kaekayi. Kini, kaekayi telah berubah. Rasa
takut akan menjadi budak Kausalya dan ancaman kematian yang membayangi Bharata
telah menguasai hati Kaekayi. Untuk kali pertama dalam hidupnya, ia tak
mempedulikan rasa malu dan dosa. Hatinya telah menjadi keras. Napasnya berta.
Keringat bercucuran. Dengan mata tertutup, Kaekayi yang cantik seperti Dewi
Naga, melepas gelung rambut. Dengan rambut terurai, ia baringkan diri di
lantai, seperti burung terkena panah pemburu. Hiasan bunga dan perhiasan berkilauan
yang biasanya menjadi pasangan serasi kecantikan kecantikan Kaekayi berserakan
di lantai. Suasana kamar yang gelap membuat perhiasan itu tampak berkilauan
seperti bintang di langit malam.
è Dari
sini, maka kita bisa gambarkan bagaimana sosok Dewi Kaekayi. Sosok yang sangat
cantik, dengan gaya hidup yang serba mewah karena dia adalah seorang istri Raja
yang masyhur.
4. Penggambaran
Dewi Sumitra, yaitu pada penggalan cerita :
Dewi Sumitra
adalah perempuan yang tak banyak bicara, matang, bijak, pemberani, penuh iman,
dan harapan semua orang ketika semua harapan mulai padam. Dikisahkan bahwa Dewi
Sumitra sudah sejak lama tahu keilahian dan tujuan inkarnasi Rama. Pemahaman
itu membantunya tidak hanya untuk menghibur Dewi Kausalya, tapi juga melihat
tugas suci yang harus dijalani Lesmana dalam pengasingan bersama Rama.
5. Penggambaran
kijang kencana yang mampu memikat hati Sinta, yaitu:
Seketika itu
juga, Maricha mengubah diri menjadi kijang kencana. Setiap bagian tubuhnya
menebarkan warna dan keindahan yang mempesona. Seperti pelangi di langit,
kijang itu memukau setiap mata yang memandang. Kulitnya yang elok seperti
bertabur emas, perak, intan, mutiara, dan bebungaan. Kulitnya memancarkan
cahaya keemasan seperti bertabur batu permata.
6. Sinta
Penggambaran sosok
Sinta pada buku ini diceritakan dengan bahasa yang indah, yang merupakan kode
sastra, yaitu:
Manusia yang
fana tidak akan pernah bisa melihat keindahan dewi bumi secara penuh. Meskipun
demikian, dengan hati yang penuh syukur kita bisa sedikit mencicipi kecantikan
dewi bumi melalui pepohonan yang menghijau pada musim semi, kemilau daun-daun
masak di pohon pada musim gugur; dengan hati yang terbuka kita bisa menyaksikan
sedikit pesona kecantikan sang dewi bumi melalui keindahan dan keagungan
gunung, lembah, sungai, dan lautan. Seperti itulah, kecantikan Dewi Sinta dalam
keseluruhannya.
7. Kumbakarna
Kode sastra yang
menunjukkan bagian dari nilai keindahan dari penokohan juga ada pada saat
menggambarkan Kumbakarna, yaitu:
Kumbakarna
adalah raksasa yang berbadan tinggi besar dan sangat kuat. Kumbakarna, yang
mengenakan perhiasan, bercahaya seperti matahari, seperti Triwikrama sendiri.
Seperti yang dianjurkan tradisi, ia kelilingi kakaknya. Kemudian, ia membungkuk
menghaturkan hormat dan berangkat. Ia menuju medan laga dengan tombak di
tangan. Di tengah sorak-sorai serta hujan bunga dan seruan-seruan yang
berpengharapan, ia pimpin satu pasukan yang sangat besar. Ketika sosok Kumbakarna yang luar biasa besar, yang sangat besar
bahkan untuk ukuran raksasa, melangkah ke luar dari benteng kota, para wanara
ketakutan dan lari lintang pulang ke segala penjuru. Memang Kumbakarna tampak
sangat mengerikan, seperti Batara Yama sendiri pada akhir zaman atau bencana
alam besar. Dengan susah payah, para senopati pasukan wanara mengatur
kembali formasi perang.
8. Subali
Setelah
memasang anak panah pada tali dan menariknya sampai ke telinga. Rama lesatkan
anak panah persis ke dada perkasa Subali. Diterjang anak panah yang melaju tak
tertahankan, Subali tumbang ke tanah seperti pohon besar yang tumbang ditebang
kapak. Subali terjungkal ke tanah berdarah-darah seperti panji-panji festival
yang dicabut setelah pesta usai.
Meskipun demikian, ketampanannya
tetap bersinar terang. Badannya berkilau seperti awan yang tertimpa cahaya matahari.
Medali sakti pemberian Batara Indra bersinar terang di dadanya. Medali inilah
yang menjaga nyawa dan nasib baik Subali. Medali itu, anak panah Rama, luka
yang berdarah-darah, semuanya menambah cemerlang cahaya badannya yang perkasa.
è Dari
sini dapat kita ambil kesimpulan bagaimana sosok Subali, hingga akhir hayatnya
dia meninggal dengan keadaan yang begitu indah. Seperti inilah sosok Subali,
keagungan seorang pejuang sejati ketika meregang nyawa di medan laga. Dari sini
dapat kita ambil makna tersirat, bahwa dia adalah sosok pejuang sejati yang
baik hati.
9.
Bulu-bulu
tubuh Hanoman berdiri. Ia meraung keras dan pukul-pukulkan ekornya ke tanah.
Kemudian, ia membungkuk dan mengambil napas dalam. Ia tumpukkan kekuatannya
pada kaki, menutup telinga, dan mengencangkan semua otot. Kemudian, dengan
teriak kemenangan ia meloncat ke udara. Seperti Garuda, ia terbang secepat anak
panah Rama. Daya gerak kecepatan Hanoman menarik pepohonan sampai ke
akar-akarnya. Seperti orang yang mengantar kepergian sahabat, pohon-pohon itu
ikut terbang sebentar, menggugurkan – seperti menaburkan bunga dan jatuh ke
laut. Seperti gunung-gunung yang dulu dikejar Batara Indra dan dilucuti
sayapnya, satu per satu pohon-pohon yang tertarik ikut terbang bersama Hanoman
berjatuhan ke laut. Permukaan air laut yang bertabur bunga-bunga warna cerah
tampak seperti langit yang berbintang. Bahu Hanoman dengan tangan terentang
tampak seperti dua ular kobra yang berkepala lima. Hanoman seperti menelan
langit ketika terbang semakin jauh. Matanya berkilau seperti hutan yang
terbakar api. Hidungnya yang merah bersinar seperti matahari sore. Badannya
yang besar membentang di angkasa seperti komet raksasa. Udara bergemuruh,
ketika ia melaju menembus angkasa. Di bawah, tampak bayangan hanoman seperti
kapal yang melaju menembus ombak. Ia seperti gunung yang sangat besar, terbang
membelah angkasa. Seperti bulan yang bersinar melintasi langit, kadang tertutup
dan muncul lagi dari balik awan. Para gandarwa menurunkan hujan bunga. Para
dewaresi memberkatinya.
è Dari
sini terdapat kode sastra yaitu berupa penokohan, yang menggambarkan bagaimana
sosok dari Hanoman yang gagah perkasa dan kuat tak tertandingi.
c. Latar
/ Plot :
Latar
yang diceritakan pada cerita Ramayana karangan C. Rajagopalachari ini disajikan
dengan bahasa yang indah, seperti misalnya:
1. Saat
menjelaskan kerajaan Alengka milik Rahwana, yaitu:
Di sana, di
Bukit Trikuta, seperti tergantung di atas langit, berdiri megah kota Rahwana.
Betapa indah, kaya raya, dan terlindung rapat di balik tembok kota itu. Benteng
dan kota itu tidak kalah jika dibandingkan dengan Amarawati. Tanaman belukar
yang subur, dan parit-parit yang dalam semuanya membuatku kagum.
Ia melewati
jalan-jalan istana. Bunga-bunga yang sangat indah menghiasi kanan kiri jalan.
Seperti petir yang memancarkan cahaya gemerlap melintasi awan gemawan,
bangunan-bangunan yang tinggi menjulang memancarkan cahaya cemerlang menembus
angkasa. Merayapi atap-atap rumah, ia mengagumi keindahan kota. Rumah-rumah
para raksasa yang besar-besar, jalan-jalan, dan hiasan yang dipasang
memancarkan keindahan yang memukau. Suara music yang mengalun indah terdengar
disana- sini…..
è Ini
merupakan penjelasan keindahan istana Rahwana yang sangat begitu menawan
sehingga Hanoman yang melihatnya pun terpukau dengan keindahan istana Alengka.
2. Kode
sastra yang lain yaitu berupa latar atau plot yang menggambarkan bagaimana asal
muasal Sungai Gangga, dengan gaya bahasa yang indah, yaitu:
Bagirata
adalah seorang raja yang gagah berani. Ia tidak mempunyai putra. Untuk memohon
keturunan dan supaya Dewi Gangga turun ke patala, ia pergi ke Gokarna untuk
melakukan tapa brata. Ia tinggalkan urusan kerajaan kepada para menteri.
Bagirata
menjalani tapa brata yang keras dan berat. Ia dikelilingi api dan kepala
terpanggang panas matahari. Ia hanya makan sekali sebulan. Ia terus menjalani
tapanya hingga namanya menjadi perlambang keteguhan hati untuk mencapai tujuan
yang baik.
Batara
Brahma berkenan pada laku tapa Bagirata. Ia pun menampakkan diri di hadapan
Bagirat. “ Apa yang engkau inginkan?” Tanya Bataea Brahma.
Bagirata
mengutarakan dua keinginan, “ Jika Paduka berbelas kasih kepadaku, berkatilah
aku dengan seorang anak yang akan melanjutkan garis keturunan keluarga. Kedua,
karena dikutuk Resi Kapila, leluhurku menjadi tumbukan abu di Patala. Jiwa
mereka hanya akan mencapai nirwana dibasuh air Sungai Gangga. Semoga Paduka
berkenan memerintahkan Gangga turun dari kahyangan.”
Batara
Brahma pun menjawab, “Para dewa berkenan pada tapamu. Keinginanmu akan
terkabul. Tapi, ada satu masalah, yakni bahwa bumi tidak akan sanggup menampung
derasnya aliran Gangga. Karena itu, berdoa dan mohonlah perkenan Batara Syiwa.
“
Bagirata
memulai kembali laku tapa. Ia terus bertapa tanpa makan atau minum dan pada
akhirnya mendapat perkenan Batara Syiwa. Batara Syiwa menampakkan diri dan
berkata, “Kukabulkan permintaanmu. Aku akan menampung aliran Gangga dengan
kepalaku. Semoga Gangga berbelas kasih kepadamu.”
Setelah sang
Mahadewa itu berjanji memberikan bantuan kepada Bagirata, gangga bersiap untuk
turun dari kahyangan seperti yang diperintahkan Batara Brahma. Karena
kecongkaannya, Gangga mengira ia kan membanjiri dan menghanyutkan Mahadewa
sampai ke Patala.
Dewa
bermata tiga itu ingin member pelajaran kepada Gangga. Dan, karena kehendak
Batara Syiwa, aliran air yang tumpah ke atas kepala dapat bertampung dengan
mudah ke dalam tatakan mahkota. Gangga semakin menderakan air yang mengaliri
kepala Mahadewa. Tapi, sederas apa pun usaha Gangga tak setetes air pun
tertumpah dari mahkota Batara syiwa.
Pelan-pelan
Bagirata biarkan aliran Gangga mengalir dari mahkotanya menjadi tujuh aliran
sungai. Tiga mengalir ke timur dan tiga mengalir ke barat. Aliran yang ketujuh
mengalir mengikuti Bagirata yang girang bukan kepalang karena penyucian jiwa
leluhurnya akhirnya akan segera terwujud.
Aliran
Gangga mengikuti kereta Bagirata; menari dan berkilauan seperti kilatan
halilintan. Dari langit para dewa dan gandarwa menyaksikan pemandangan yang
mengagumkan itu. Kadang Gangga mengalir pelan dan kadang cepat, menurun dan
kemudian mendaki, seperti menari di belakang kereta bagirata. Para penghuni
kahyangan tidak beranjak dari tempatnya terpikat keindahan peristiwa itu.
Dalam
perjalanan menuju Patala, Gangga menerjang tempat tapa seorang resi yang
bernama Jahnu. Karena marah Resi jahnu mengisap Gangga masuk ke dalam kepalan
tangannya. Sekali lagi, Gangga menghilang dan Bagirata sangat kebingungan.
Para
dewa dan resi membujuk Resi Jahnu supaya memaafkan Gangga dan membiarkan
bagirata untuk menikmati buah kesabaran dan laku tapanya. Resi berbelah kasih
dan membiarkan Gangga keluar melalui lubang kupingnya. Para dewa amat gembira
dan memberkati Gangga. Mereka berkata, “Karena keluar dari tubuh Resi Jahnu,
seperti seorang anak keluar dari rahim ibunya, maka sekarang engkau bernama
Jahnawi, putri Resi Jahnu.”
Setelah
itu, Gangga terus mengalir tanpa hambatan dan sampai di Patala melalui samudra.
Dengan air suci, bagirata melaksanakan upacara pemakaman dan mengantar jiwa
luluhur masuk ke nirwana.
Berkat
kesabaran dan tapa brata Bagirata, gangga turun kembali ke bumi. Dari peristiwa
tersebut, Sungai Gangga juga dikenal dengan nama Bhagirati.
Orang-orang
yang membersihkan diri dengan air suci Sungai Gangga, membaca atau mendengarkan
kisah ini didedah dengan penuh perhatian akan disucikan dari dosa dan diberkati
dengan keluhuran budi, kekuatan dan api semangat yang tak akan pernah pudar.
è Dari
cerita asal muasal ini, kita dapat mengambil kesimpulan, yaitu adanya kode
sastra yang berupa penggambaran sebuah tempat yaitu Sungai gangga, bagaimana
kisah ceritanya disajikan dengan bahasa-bahasa indah. Sungai Gangga, dikenal
sebagai sungai yang suci, airnya mampu membersihkan jiwa.
d. Kode
Sastra yang lain yang ada pada bagian cerita Ramayana ini adalah berupa syair,
syair ini biasanya didaraskan dalam pernikahan di India ketika pihak keluarga
menyerahkan mempelai perempuan.
Iyam
Seeta mama sutaa
sahadharmacharee
tava
prateechchha
chainaam bhadram te
paanim
grihneeshwa paanimaa
pativrataa
mahaabhaagaa
chhaayevaanugataa
sadaa
e. Kode
sastra yang lain yaitu berupa sebuah ajaran yang dinyatakan dalam bahasa yang
lain dari yang lain, seperti yang ditulis dalam bagian cerita Ramayana yaitu:
“Om
Poornamadah Poornamidam Poornaat Poornamudachyate Poornasya Poornamaadaayaa
Poornamevaavasishyate.”
Artinya:
Apakah keseluruhan itu; inilah keseluruhan ityu; apa yang berasal dari
keseluruhan juga merupakan keseluruhan. Ketika keseluruhan diambil dari
keseluruhan, keseluruhan akan tetap tinggal sebagai keseluruhan.
Ajaran
ini diberikan oleh Sruti (Weda, perwahyuan) kepada keempat putra Dasarata, agar
mereka saling melengkapi dan saling menyayangi satu dengan yang lain.
3. KODE BUDAYA
1. Suatu
hari, pada awal musim panas, ia berpikir untuk mengadakan upacara persembahan kuda guna memohon dikaruniai seorang putra.
è kode
budaya yang ada yaitu: upacara
persembahan kuda.
Dasarata yang
merupakan pemimpin kerajaan dari ibu kota Ayodya akan melakukan upacara
persembahan kuda untuk bisa memiliki seorang putra. Upacara persembahan kuda
ini merupakan sebuah kode sastra yang ada pada cerita ini. Upacara ini adalah
sebuah nilai budaya yang sangat besar. Dijelaskan bahwa:
Ini adalah
upacara yang sangat besar. Para tamu yang diundang antara lain adalah para raja
dari kerajaan-kerajaan tetangga. Tidaklah mudah menyelenggarakan upacara besar
ini. Lokasi dan pendirian tempat korban harus dipersiapkan dengan sangat rinci
sesuai tradisi yang berlaku. Ada ahli khusus yang mengarahkan penataan segala
sesuatu yang dibutuhkan dalam upacara. Acara itu membutuhkan pendirian
kemah-kemah besar yang dapat menampung, menjamu, dan menghibur puluhan ribu
tamu, termasuk di dalamnya para pangeran dan resi dari daerah sekitar. Pendek
kata, upacara persembahan kuda pada zaman itu dapat kita samakan dengan
konferensi atau ekshibisi berskala besar yang disponsori negara.
2. Sambil
mengucapkan terima kasih kepada sang resi, Raja Wismamitra berkata, “Engkau
harus menyerahkan lembu ini kepadaku karena lembu semacam ini akan lebih
bermanfaat jika menjadi milikku. Kemakmuran dan kesaktian semacam ini
seharusnya menjadi milih seorang raja.”
è Dari
penggalan cerita ini, kode budaya yang dapat kita ambil adalah bahwa dari dulu
kala, seorang raja selalu ingin berkuasa, walau dengan merampas hak orang lain.
Lembu yang dijelaskan pada penggalan cerita tersebut adalah sebenarnya milik
Wasista, Lembu bernama Sabala ini adalah sumber segala kebutuhan tiada
habis-habisnya. Maka saat Wismamitra disuguhi jamuan yang beraneka ragam oleh
Wasista, dia terheran-heran , dan menanyakan apa yang membuatnya kaya seperti
itu. Namun, di dalam cerita ini dijelaskan bahwa, Wasista bersikukuh untuk
tidak mau memberikan lembu itu kepada Raja Wismamitra, dengan segala cara
Wismamitra merebut lembu tersebut, namun akhirnya dia dikalahkan oleh Wasista. Kode
budaya yang ada yaitu: seorang raja selalu ingin berkuasa. Jika kita sinkronkan
dengan keadaan sekarang, maka tentunya masih ada. Selalu saja, orang yang di atas
adalah orang yang paling berkuasa. Dan rakyatlah yang akhirnya menjadi
korbannya.
3. Bertapa
, missal dalam penggalan:
a. Wismamitra
sendiri pergi ke Pegunungan Himalaya untuk bertapa.
Ia memohon kepada Batara Syiwa supaya dianugerahi kesaktian untuk mengalahkan
Resi Wasista.
è Kode
budaya lain yang muncul dalam cerita ini adalah budaya bertapa. Tapa merupakan
salah satu kegiatan untuk bisa mendapatkan sebuah kesaktian, tapa merupakan sebuah
laku prihatin agar bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Dijelaskan disini,
karena kegigihan dari Wismamitra dalam menjalani tapa brata dengan keras dan
tekun, akhirnya Batara Syiwa berkenan menampakkan diri dan mengabulkan
permintaan Wismamitra yaitu memberkan semua senjata yang dimiliki para dewa,
gandarwa, resi, yaksa, dan iblis. Tapa
brata juga dilakukan Wismamitra untuk mendapatkan gelar menjadi brahmaresi.
Kalau kita sinkronkan dengan keadaan sekarang bertapa adalah suatu bentuk
prihatin kita. Contohnya saja, para kyai yang ingin menambah ilmu atau
kekuatannya, ia harus melakukan ritual-ritual tertentu.
4. “Aku
akan persiapkan upacara korban yang
memungkinkanmu naik ke surga bersama dengan tubuhmu ini…”
è Penggalan
kata-kata Wismamitra ini mengandung kode budaya, yaitu upacara korban yang
dilakukan untuk mengembalikan Raja Trisanku naik ke surga dan bebas dari
kutukan. Dijelaskan di dalam cerita ini, upacara yang dilakukan gagal.
Akhirnya, Wismamitra mengambil sesendok besar dupa dan melemparkannya ke dalam
api. Katanya, “Yang Mulia Trisanku, lihatlah kekuatan yogaku. Aku akan berikan
semua kebaikan yang telah aku lakukan untukmu. Jika tapa brataku memang punya
kekuatan, engkau akan terangkat ke surga bersama jasadmu. Aku tidak peduli jika
para dewa tidak berkenan menerima korban persembahanku. Yang Mulia Trisanku,
naiklah ke surga!”. Dan akhirnya Raja Trisanku terangkat ke surga. Kalau kita
sinkronkan dengan keadaan sekarang, upacara korban merupakan suatu acara untuk
menyempurnakan jasad ruh, dalam hal ini mungkin dengan melakukan pemakaman.
5. Karena
ingin melaksanakan upacara korban persembahan, Janaka mempersiapkan lahan yang
akan menjadi tempat upacara. Sebagaimana adat kebiasaan, ia mencangkul sendiri
tempat itu.
è Kode
budaya yang ada yaitu : Upacara korban persembahan yang dilakukan Janaka untuk
meminta keturunan. Pada saat ia membersihkan lahan dan meratakannya, Janaka
melihat bayi nan elok di sela-sela belukar. Akhirnya, bayi itu diangkat menjadi
anaknya, dan diberi nama Sinta. Upacara korban persembahan jika kita sinkronkan
dengan masa sekarang, kira-kira berupa suatu hajatan atau ritual doa bersama
untuk meminta sesuatu kepada Allah.
6. Tempat-tempat
keramat, seperti penggalan :
Memang sungai
atau perbukitan, pepohonan atau awan-agemawan, juga objek keindahan apa pun
bisa membangkitkan perenungan tentang Ada Tertinggi dan perasaan hormat yang
mendalam kepada-Nya. Secara khusus,
tempat-tempat yang dikeramatkan-seperti sungai, candi, atau gambar yang
dikeramatkan – yang selama bergenerasi menjadi objek pemujaan atau kebaktian,
memiliki dalam derajat tertentu kekuatan seperti itu. Berkat
pikiran-pikiran suci yang diarahkan dan diserapnya seperti kain yang menyerap
aroma pewangi, objek-objek semacam itu jadi memiliki kekuatan yang mengingatkan
pada sang Ada Tertinggi.
è Penggalan
cerita ini terdapat kode budaya yaitu mempercayai adanya tempat-tempat keramat.
Pada masa sekarang, kita pun juga masih percaya dan sering mendengarkan adanya
tempat-tempat yang dikeramatkan. Seperti berupa tempat pemandian, pohon besar,dll.
7. “Ketika
kalian pergi berburu dan meninggalkannya sendirian, aku akan menjaga Sinta.”
è Kode
budaya yang terkandung dalam penggalan cerita ini adalah berburu. Kemungkinan
besar, tradisi berburu sudah menjadi budaya bagi para raja, dan masyarakat lainnya.
Budaya berburu pada masa sekarang kemungkinan besar seperti berkelana sebagai
seorang musafir atau bisa saja kita samakan dengan pergi kesuatu tempat untuk
mencari nafkah untuk anak dan istri.
8. “Putriku
Sinta hanya akan menikah, dengan pangeran yang mampu mengangkat, merentangkan,
dan melepaskan busur Syiwa pemberian Batara Baruna.”
è Penggalan
kata-kata Raja Janaka itu terdapat kode budaya yaitu, Raja Janaka melakukan
sayembara untuk mendapatkan Sinta. Karena beliau tidak rela jika Sinta
dipersunting oleh sembarang orang. Siapa saja yang mampu mengangkat,
merentangkan, dan melepaskan busur Syiwa dialah pemenangnya. Disini dapat kita
ambil kesimpulan bahwa, pada jaman dahulu budaya seperti sayembara untuk
memperebutkan sesuatu masih digunakan. Jika kita sinkronkan dengan sekarang.
Budaya sayembara ini digantikan dengan kompetisi untuk mendapatkan sesuatu,
seperti pekerjaan, dll.
9. Di
sungai suci itu, mereka membersihkan
diri dan resi melaksanakan upacara penyucian diri. Kemudian, para resi menata
pertapaan dan mempersiapkan upacara puja. Setelah itu, mereka mempersiapkan
makan. Seusai makan, mereka duduk mengelilingi Wismamitra. Atas permintaan
kedua pangeran, ia menceritakan sejarah sungai Gangga.
è Dapat
kita tarik kesimpulan bahwa kode budaya yang ada pada penggalan cerita ini
yaitu budaya pembersihan diri untuk melakukan tapa brata. Kalau kita samakan
dengan jaman sekarang seperti melakukan wudhu sebelum solat. Budaya ini
tentunya sangat begitu jelas dikalangan orang islam. Dengan berwudhu berarti kita
menyucikan diri dari adanya hadas kecil didalam tubuh kita. Sebelum menyembah
Allah sudah semestinya harus suci.
10.
Rama
dan Lesmana bersujud menyentuh kaki istri Resi Gautama yang telah menjadi suci
lagi berkat laku tapa berat. Ahalya menyambut kedua pangeran itu sesuai
keramahtamahan yang diminta adat kebiasaan. Hujan
bunga turun dari kahyangan ketika Ahalya menebarkan cahaya memukau seperti
layaknya seorang dewi; tidak berapa lama, Resi Gautama kembali ke asrama. Ia kembangkan tangan untuk menerima kembali
istrinya yang telah menjalani laku pertaubatan dan penyucian diri ke dalam
haribaan kasih dan sayang suami istri.
è Pada
bagian ini terdapat kode budaya yaitu:
a. Ahalya menyambut kedua
pangeran sesuai keramahtamahan yang diminta adat kebiasaan. Hal
ini beraarti menunjukkan adanya kode budaya. Karena adat kebiasaan yang masih
dilakukan merupakan bagian dari kebudayaan. Kalau kita sinkronkan dengan budaya
kita, seperti budaya orang Jawa yang apabila di datangi oleh seseorang, dia
akan menyambut dengan ramah, dengan berbagai hidangan,dll.
b. Pada
bagian lain juga masih ada kode budaya yaitu: penyucian diri.
Penyucian diri
dianggap sebagai kode budaya karena, jika kita sinkronkan dengan ajaran agama
islam seperti mandi junub. Penyucian ini dilakukan oleh Ahalya yang dianggap
telah berselingkuh dari suaminya yaitu Gautama.
11.
Dasarata dan rombongan
tiba di Mithila. Mereka disambut dengan suka cita. Setelah saling menyampaikan
salam dan menanyakan kabar, Janaka berkata kepada Dasarata, “Upacara korbanku
akan segera selesai. Sebaiknya kita selenggarakan pernikahan setelah upacara
korban, dan mohon perkenanmu, Raja Dasarata.”
“Paduka
adalah ayah mempelai perempuan dan Padukalah yang berhak mengatur upacara
pernikahan.”
Pada
jam dan hari yang telah ditetapkan, Raja Janaka menyerahkan mempelai perempuan,
“Inilah putriku, Sinta. Ia akan menyertaimu di jalan dharma. Sambutlah
tangannya, ia adalah perempuan terberkati dan setia. Seperti layaknya bayangan,
ia akan selalu menemanimu:
Iyam Seeta mama sutaa
sahadharmacharee tava
prateechchha chainaam bhadram te
paanim grihneeshwa paanimaa
pativrataa mahaabhaagaa
chhaayevaanugataa sadaa
syair ini biasanya didaraskan dalam
pernikahan di India ketika pihak keluarga menyerahkan mempelai perempuan.
è Kode
budaya yaitu : upacara korban (upacara untuk pernikahan ) dan syair yang
dibacakan pada saat pernikahan.
è Kalau
kita sinkronkan dengan masa sekarang seperti tradisi kita yaitu saat acara ijab
kobul.
12. Satu-satunya
keinginanku sekarang adalah menobatkanmu di singgasana moyangku. Kemarin malam,
aku bermimpi buruk. Para penafsir mimpi mengatakan kedukaan besar, bahkan
mungkin kematian, barangkali akan menimpaku. Karena itu, aku ingin upacacara penobatan dilaksanakan besok. Kata ahli
perbintangan, besok adalah hari yang baik. Hatiku berkata, “Segera laksanakan upacara penobatan.” Malam ini, engkau dan Dewi Sinta harus
berpuasa untuk persiapan upacara. Tidurlah di tempat tidur yang beralas rumput
darbha dan mintalah para sahabat terpercaya untuk menjagamu.
è Kode
budaya yang ditunjukkan disini adalah:
a. Percaya
pada ahli perbintangan untuk memilih hari yang baik dalam melaksanakan upacara
penobatan. Jika kita sinkronkan dengan keadaan saat ini, masih berlaku,
orang-orang saat ini, kadang pergi kepada Kyai untuk memilih hari pernikahan,
atau melakukan hal-hal lain yang dianggap penting. Ini mempunyai nilai budaya
yang saat ini masih sangat kental dimasyarakat kita.
b. Upacara
penobatan. Upacara penobatan menunjukkan kode budaya. Jika kita sinkronkan
dengan masa sekarang yaitu syukuran karena kenaikan pangkat atau yang lain.
Adat istiadat ini masih sangat kental dilakukan pada masyarakat kita.
c. Puasa
untuk persiapan upacara. Tradisi ini merupakan sebuah kode budaya, jika kita
bandingkan dengan masa sekarang, tradisi puasa untuk persiapan upacara seperti
layaknya kita melakukan tirakat dulu dengan puasa ketika akan mengadakan
hajatan besar atau ketika kita meminta sesuatu. Tirakat ini tujuannya agar
semua yang kita inginkan bisa berjalan dengan lancar dan hasilnya pun juga akan
maksimal.
13.
Ketika kembali ke
istana, Wasista melihat orang-orang berkumpul di jalan menuju istana. Dengan
hati gembira, mereka membicarakan upacara agung yang akan dilangsungkan besok. Orang-orang sibuk menghias rumah dengan
bunga-bunga, rangkaian kembang, dan umbul-umbul. Karena jalan-jalan ramai, Resi
Wasista harus bersusah payah supaya bisa masuk ke istana raja.
Pada
hari Raja Dasarata mengundang pertemuan agung para tertua serta pemuka kerajaan
dan mengangkat Rama menjadi Yuwaraja, Mantara naik ke teras keputren dan dari atas
melihat-lihat kota. Ia melihat
orang-orang membersihkan dan menghias jalan-jalan. Umbul-umbul aneka warna
terpasang di atap-atap rumah. Orang-orang mengenakan pakaian baru dan perhiasan
yang gemerlap. Mereka bersolek dan mempercantik diri dengan bunga-bunga. Mereka
tampak mondar-mandir di antara kerumunan, asyik membicarakan sesuatu yang
tampaknya menggembirakan. Suara tabuhan gamelan terdengar di kuil-kuil.
è Kode budaya yang
ada pada penggalan cerita ini melukiskan bahwa untuk melakukan upacara penobatan.
Orang-orang menghias diri dan menghias jalan-jalan dengan berbagai
pernak-pernik. Kalau kita sinkronkan dengan keadaan kita, adat istiadat atau
tata cara seperti ini masih ada dimasyarakat kita. Seperti ketika kita ingin
masuk pada bulan agustus. Kita sering menyibukkan diri untuk menghias
kampung-kampung kita dengan berbagai hiasan. Bulan agustus kita anggap sebagai
hari yang bersejarah untuk bangsa kita. Masyarakat sangat gembira menyambut
bulan ini. Atau jika kita sinkronkan dengan yang lain, seperti saat acara
pernikahan atau pada acara-acara seperti syukuran, kita selalu disibukkan
dengan mendekor, memasang hiasan-hiasan. Dan kita juga selalu memakai pakaian
khusus saat pergi pada acara-acara seperti ini.
14.
“Menurutku
tidak semestinya kalian semua memintaku untuk naik tahta. Menurut tradisi istana kita, anak tertualah yang berhak naik tahta. Dengan
segala hormat kepada kalian semua, aku putuskan untuk pergi ke hutan dan
menjemput Kanda Rama kembali ke Ayodya, bersama dengan Kanda Lesmana dan Dewi
Sinta……”
è Pada
penggalan cerita ini terdapat kode budaya yaitu ditunjukkan pada : Menurut tradisi istana kita, anak tertualah
yang berhak naik tahta.
Dari sini bisa
kita ambil kesimpulan bahwa: nilai budaya yang masih melekat pada kerajaan atau
adat istiadat yang masih dijunjung tinggi disana adalah anak tertua yang
mempunyai hak naik tahta (menjadi raja). Disini diceritakan bahwa Bharata tidak
mau mengambil kekuasaan yang seharusnya menjadi milik kakaknya yaitu Rama.
15. Para
pejabat istana dan tetua susah payah melepaskan pelukan Dewi Kausalya dan
membawanya pergi menjauh. Kemudian, mereka membicarakan upacara pemakaman.
Mereka tidak bisa segera melaksanakan upacara karena Rama dan Lesmana telah
pergi ke hutan serta Bharata dan Sutruguna berada jauh di kediaman paman
mereka. Mereka putuskan untuk menjemput Bharata dan mengawetkan jenazah
sementara seraya menunggu kedatangan Bharata.
è Kode
budaya yang ada yaitu : upacara pemakaman. Upacara pemakaman harus ada salah
satu wakil dari anak Raja. jika kita sinkronkan dengan keadaan sekarang
tentunya masih ada acara pemakaman jenazah.
16.
Suatu pagi pada awal
musim dingin, seperti biasa mereka bertiga pergi ke Sungai Godawari untuk mandi
dan melakukan persembahyangan pagi,
serta tentu saja, mengambil air untuk kebutuhan sehari-hari. Sambil berjalan,
mereka berbincang tentang keindahan pagi. Pikiran Lesmana melayang kepada
Bharata dan bagaimana ia mempersiapkan
upacara persembahyangan untuk musim dingin.
è Kode budaya yang
ada pada bagian cerita ini adalah:
a.
Persembahyangan
pagi yang dilakukan oleh Rama, Sinta, dan
Lesmana. Persembahyangan pagi merupakan salah satu budaya yang ada dalam cerita
ini. Dalam, bagian lain juga disebutkan bahwa Rama memberikan pesan kepada
Sinta saat ia akan pergi ke hutan selama 14 tahun agar Sinta tidak melupakan
sembahyang dan tapa brata, yaitu pada penggalan:
“Putriku,
Dewiku, aku bisa bayangkan betapa sedih hatimu berpisah dariku dan tetap
tinggal di sini. Putri Raja Janaka, tanpa bimbinganku kau bisa jalankan
tugas-tugasmu. Bahagiakan raja dan ketiga permaisuri – ibu-ibumu. Jangan
mengharap perlakuan yang lebih baik daripada yang diterima putri-putri lain di
istana. Hormatilah Bharata yang akan jadi raja dan jangan sampai menyinggung
perasaannya. Aku percaya, selama aku pergi, cintamu untukku tidak akan
berkurang sedikit pun. Jangan lupakan sembahyang dan tapa brata. …….”
è Dari
sini maka dapat kita ambil sebuah kode budaya yaitu melakukan sembahyang dan
tapa brata. Jika kita sinkronkan dengan keadaan sekarang, kemungkinan budaya
ini adalah seperti halnya, solat dan berdoa kepada Allah.
b.
Upacara
persembahyangan untuk musim dingin juga
merupakan salah satu budaya pada masyarakat India yang diceritakan melalui
kisah ini. Upacara ini mungkin merupakan upacara untuk menyambut datangnya
musim dingin.
17.
Sambil melempar dupa ke
dalam api, kedua pangeran mendaraskan doa-doa suci untuk jiwa jatayu. “Wahai
Raja Burung, semoga engkau beroleh buah-buah kebahagiaan dari orang-orang yang
melaksanakan upacara korban besar.
Semoga engkau menikmati kebahagiaan Wanaprasta dari orang-orang yang menjalani
tapa brata yang berat. Semoga engkau beroleh kebahagiaan dari orang-orang yang
memberikan sumbangan besar bagi tanah air. Semoga engkau menikmati kebahagiaan
dari orang-orang yang bertarung dengan gagah berani di medan laga. Semoga
engkau beroleh kebahagiaan yang dirasakan orang-orang yang berbudi luhur.
Setelah melaksanakan upacara korban, Rama lebih tenang dan tabah.
è Kode
budaya yang ada pada bagian ini adalah upacara korban besar untuk pemakaman
Jatayu. Pada bagian ini, merupakan kode budaya yang berkembang pada tradisi di
India.
18.
Kode budaya yang lain
yaitu adanya misteri inkarnasi. Pribadi inkarnasi selalu memanggul debu dan air
mata tubuh yang didiami dan menderita serta bersedih hati seperti manusia pada
umumnya. Kemunduran kesehatan dan ratapan duka Rama bisa dibandingkan dengan
perilaku pribadi inkarnasi yang dihormati umat beriman lainnya.
19.
Hanoman
segera kumpulkan kayu bakar dan membuat api. Sambil berjalan mengelilingi api
unggun, Rama dan Sugriwa mengucapkan sumpah persahabatan: “Marilah saling
berbagi suka dan duka.” Mereka bersumpah, “Semoga persahabatan ini abadi.”
è Kode
budaya yang ada adalah sumpah persahabatan yang dilakukan dengan mengelilingi
api unggun. Jika kita sinkronkan dengan sekarang, mungkin untuk membina sebuah
tali persahabatan, kita simbolkan dengan berjabat tangan, atau menyatukan
kelingking, atau dengan sebuah benda, seperti gelang,dll.
20.
Sementara
Sugriwa dan Rama berbincang, di taman Asoka nun jauh di sana, kelopak mata kiri
Sinta berkedut. Bagi kaum perempuan, kedutan ini merupakan pertanda baik. Pada
saat yang sama, kelopak mata kiri raja raksasa juga kedutan. Itu pertanda
buruk.
è Dari
sini maka dapat kita ambil sebuah nilai budaya yang berupa kepercayaan, yaitu
sebuah kedutan mata. Jika kita sinkronkan dengan masyarakat Jawa,
kejadian-kejadian serta kepercayaan seperti ini masih melekat pada masyarakat
Jawa. Sebagai contoh: jika mata kiri berkedut maka tandanya ada orang yang
sedang kangen kepada kita. Atau bisa juga kita samakan dengan, jika telinga
sebelah kanan memerah dan panas, maka ada seseorang yang sedang membicarakan
kebaikannya. Namun, jika telinga sebelah kiri yang panas dan memerah berarti
ada seseorang yang sedang membicarakan kejelekannya.
21.
Paling kurang, setahun
sekali, orang-orang yang menjalani tradisi kuno mendaraskan doa: kaamokaarsheet manyurakaarsheet (nafsu
membujukku ke dalam dosa, amarah mengundangku ke dalam dosa). Dengan
mengucapkan doa tersebut berulang-ulang dan rasa sesal yang dalam, mereka
berharap bisa membersihkan hati dari dosa. Itulah praktik yang harus
diikuti semua orang, menyesal dan memurnikan hati kembali, dan memasrahkannya
kepada Yang Ilahi, kaamokaarsheet manyurakaarsheet, Naaraayanaayanamah.
è Bagian
yang di cetak tebal tersebut merupakan salah satu kode budaya yang ada dalam
cerita Ramayana, jika kita sinkronkan dengan keadaan sekarang mungkin dapat di
samakan dengan ajaran yang ada dalam agama islam, yaitu pada malam Nifsu
Sya’ban, saat semua amal kita selama setahun akan dilaporkan kepada Allah, kaum
muslimin dan muslimat, melaksanakan solat taubat untuk membersihkan
dosa-dosanya, serta membaca surat Yasin 3x.
22. Rama
Tokoh
rama disini digambarkan sebagai sosok ksatria tangguh, yang baik hati dan berhati mulia, tampan, rajin serta pandai.
Nama Rama pada jaman sekarang digunakan oleh masyarakat kita untuk memberi nama
pada anak-anaknya. Kemungkinan, dengan memberikan nama Rama, anak tersebut
dapat mempunyai watak seperti Rama pada tokoh Ramayana. Ini lah yang menjadi
salah satu kode budaya yang sampai sekarang masih ada.
23. Sinta
Dewi
Sinta digambarkan sebagai sosok wanita yang sangat cantik, bahkan kecantikannya
tak tertandingi. Dia adalah sosok yang setia dan baik hati. Kode budaya yang
ada dari penggambaran sosok Sinta adalah nama Sinta yang dipakai untuk
nama-nama orang. Jika kita analisis, banyak sekali orang-orang yang menamai
anak-anaknya Sinta. Mungkin, harapan orang tua, dengan memberikan nama Sinta,
kelak anaknya bisa menjadi sosok wanita yang tangguh, cantik, baik hati, dan
setia layaknya sosok Sinta dalam Ramayana.
24.
Pada kisah Ramayana ini
diceritakan bahwa, Subali menitipkan Anggada dan istrinya Tara kepada Sugriwa.
Pada cerita ini, zaman dahulu, ketika saudara tua mati dan meninggalkan seorang
istri, tradisi istana dan keluarga ningrat mensyaratkan saudara muda untuk
mengambil sang janda sebagai istri dan melindunginya.
Yaitu
pada bagian:
“Subali,
yang kembali sadar, membuka mata untuk terakhir kalinya. Katanya kepada
Sugriwa, “Saudaraku, semestinya kita berdua bisa menjalin persahabatan dan
memimpin kerajaan ini dengan damai; tapi semua itu tak terjadi karena kita
kurang bijaksana dan kurang puas dengan keadaan kita. Bukan kau, tapi akulah
yang bersalah. Lantas, mengapa bicara soal itu kini? Mulai sekarang, kau akan pimpin kerajaan ini. Kutitipkan Anggada,
putraku, yang kami – aku dan Tara – sayangi lebih daripada hidup kami sendiri.
Ia adalah prajurit yang kesaktiaanya setara denganmu. Anggaplah ia seperti anak
sendiri. Didiklah dia dengan kebaikan. Hanya itu yang kuminta darimu.
Bersikaplah baik kepada Tara. Ia tidak hanya istri yang tanpa cela dan penuh
kasih, tapi juga penasihat yang berpandangan jauh ke depan dan sangat bijak.
Apa pun yang ia ramalkan akan terjadi. Jangan abaikan nasihatnya dalam hal apa
pun. Ini, ambillah medali pemberian Batara Indra………..”
è Dari
tradisi ini maka kita dapat mengambil kode budaya, yaitu ketika saudara tua
mati dan meninggalkan seorang istri, tradisi istana dan keluarga ningrat
mensyaratkan saudara muda untuk mengambil sang janda sebagai istri dan
melindunginya.
è jika
kita sinkronkan dengan keadaan sekarang mungkin, bisa saja kita sinkronkan
dengan, jika seseorang meninggalkan anak dan istrinya, sudah barang tentu dan
menjadi kewajiban saudara yang masih hidup untuk melindungi istri dan anak dari
saudara yang meninggal. Namun, jika kita sinkronkan dengan pemerintahan atau
kekuasaan, missal seorang walikota meninggal, maka wakilnya akan menggantikan
kedudukannya menjadi walikota.
0 komentar:
Posting Komentar