Analisis Teori Sastra

A.        Ramayana
Ramayana dari bahasa Sansekerta (रामायण) Rāmâyaṇa yang berasal dari kata Rāma dan Ayaṇa  yang berarti "Perjalanan Rama", adalah sebuah cerita epos dari India yang digubah oleh Walmiki (Valmiki) atau Balmiki. Cerita epos lainnya adalah Mahabharata. Ramayana terdapat pula dalam khazanah sastra Jawa dalam bentuk kakawin Ramayana, dan gubahan-gubahannya dalam bahasa Jawa Baru yang tidak semua berdasarkan kakawin ini. Dalam bahasa Melayu didapati pula Hikayat Seri Rama yang isinya berbeda dengan kakawin Ramayana dalam bahasa Jawa kuna. Di India dalam bahasa Sansekerta, Ramayana dibagi menjadi tujuh kitab.
Dalam buku Ramayana karangan C. Rajagopalachari ini dikisahkan secara runtut perjalanan Rama dan Sinta. Disini, cerita dikemas dengan bahasa yang indah dan mudah dimengerti, sehingga pembaca akan lebih mudah dan akan dibawa kedunia imajinasi.
B.        Ringkasan Cerita Ramayana
Raja Dasarata memimpin kerajaan dari ibu kota Ayodya. Ia tegakkan nilai-nilai yang diajarkan para dewa. Kemasyhurannya tersebar di ketiga  dunia. Ia setara dengan Batara Indra dan Kubera. Dasarata mempunyai tiga istri, yaitu Kaekayi, Sumitra, dan Kausalya. Namun, sampai saat ini Dasarata belum mempunyai putera. Maka, untuk mendapatkan seorang putra, Dasarata melakukan upacara persembahan kuda. Dasarata diberikan minuman para dewa, lalu ketiga akhirnya mengandung. Seiring berjalannya waktu, putra-putra Dasarata lahir. Dewi Kausalya melahirkan Rama. Kaekayi melahirkan Bharata. Sumitra melahirkan putra kembar, Lesmana dan Satruguna.
Suatu ketika, Wismamitra datang ke Ayodya untuk meminta kepada Dasarata agar kedua anaknya Rama dan Lesmana ikut membantunya untuk menumpas dua raksasa perkasa yaitu Maricha dan Subahu. Dengan perdebatan sengit akhirnya Dasarata memberikan izin kepada Rama dan Lesmana untuk pergi bersama Wismamitra.Dalam kisah perjalanannya, akhirnya Rama dan Lesmana dapat membunuh raksasa-raksasa jahat.
Di sebuah negeri bernama Mantili ada seorang putri nan cantik jelita bernama Dewi Sinta. Dia seorang putri raja negeri Mantili yaitu Prabu Janaka. Suatu hari sang Prabu mengadakan sayembara untuk mendapatkan sang Pangeran bagi puteri tercintanya yaitu Sinta, dan akhirnya sayembara itu dimenangkan oleh Putera Mahkota Kerajaan Ayodya, yang bernama Raden Rama Wijaya. Ketika Rama akan dinobatkan menjadi Raja kerajaan Ayodya oleh ayahandanya bernama Dasarata, ibunya Kaekayi tidak menyetujuinya. Kaekayi dihasut oleh Mantara agar anaknya Bharata yang menjadi raja. Kaekayi meminta kepada Dasarata untuk mengasingkan Rama selama 14 tahun di hutan. Mendengar permohonan permaisurinya itu Dasarata sangat kaget dan tidak menerima kenyataan ini. Dia, teringat dulu dia pernah membunuh seorang anak yang tak berdosa, kedua orang tuanya tidak terima dan menyumpahi Dasarata, bahwa suatu saat nanti dia juga akan merasakan apa yang mereka rasakan, Dasarata akan kehilangan anak yang paling dia cintai.
Akhirnya, Rama, Sinta, dan Lesmana memenuhi permintaan ibu tirinya yaitu kaekayi untuk mengasingkan diri di hutan. Kepergian Rama, Lesmana dan Sinta membuat Dasarata merasakan kesengsaraan yang begitu dalam. Karena sayangnya dengan Rama, dan dia tidak dapat menerima kenyataan pahit ini, akhirnya Dasarata meninggal dunia.
Bharata, anak Kaekayi dinobatkan sebagai pengganti Dasarata. Namun, dalam kisah ini, diceritakan bahwa sebenarnya Bharata tidak mau menerima kedudukan sebagai Raja. Bharata sadar bahwa Rama lah yang berhak atas kedudukan itu. Bharata akhirnya mencari Rama dan membujuknya untuk kembali ke Ayodya, namun, Rama tidak mau, dan memberikan amanah raja kepada Bharata.
Pada awal musim dingin,di asrama kediamannya, Rama, Sinta, dan Lesmana bertemu dengan Surpanaka. Surpanaka adalah seorang raksasa yang merupakan saudara perempuan Rahwana. Saat itu Sarpakenaka tertarik dengan ketampanan Rama, dan dia menggodanya, namun Rama tetap setia dengan Sinta. Lalu, Surpanaka menggoda Lesmana, yaitu adik Rama, namun hidung Surpanaka justru dipotong Lesmana. Karena tidak terima,Surpanaka mengadu kepada Rahwana yaitu kakaknya. Nafsu angkara yang membakar hati Surpanaka adalah membalas dendam dengan mempermalukan Sinta. Untuk memancing Rahwana, ia gambarkan Sinta dengan cara sedemikian rupa sehingga kakaknya itu terpikat dan terbakar nafsu untuk memiliki. Rahwana meminta bantuan Maricha untuk dapat mendapatkan Sinta. Rahwana menculik Sinta untuk dibawa ke istananya dan dijadikan istri, dengan siasatnya Rahwana mengubah seorang hambanya bernama Maricha menjadi seekor kijang kencana. Dengan tujuan memancing Rama pergi memburu kijang ‘jadi-jadian' itu, karena Sinta menginginkannya. Dan memang benar setelah melihat keelokan kijang tersebut, Sinta meminta Rama untuk menangkapnya. Karena permintaan sang istri tercinta maka Rama berusaha mengejar kijang seorang diri sedang Shinta dan Lesmana menunggui.
Setelah cukup lama ditinggal berburu, Sinta mulai mencemaskan Rama, saat itu ada terdengar suara teriakan Rama. “Aduh, aduh! Oh, Sinta, Oh Lesmana!” demikianlah seru Maricha menirukan suara Rama. Karena khawatir, akhirnya Sinta meminta Lesmana untuk mencari Rama. Sebenarnya Lesmana tau, bahwa itu adalah suara tipuan raksasa, namun karena Sinta terus mendesaknya akhirnya Lesmana pergi mencari kakanya. Lesmana mengikuti jalan-jalan yang dilalui Rama. Rahwana yang telah menantikan kesempatan itu kemudian mendekati asrama Rama. Ia menyaru menjadi petapa yang mengenakan pakaian kuning jingga bersih. Bibirnya berkomat-kamit mengucapkan syair-syair Weda. Sementara itu, jauh di lubuk hati ia tetap Raksasa yang berhati segelap malam. Seperti yang diperintahkan tradisi, ketika melihat pertapa berpakaian kuning jingga dan membawa tempat minum, Sinta segera mengucapkan salam hormat. Sinta mempersilahkan duduk dan menghidangkan buah-buahan dan umbi-umbian. Akhirnya setelah bercakap-cakap, dengan satu tangan, Rahwana jambak rambut Sinta dan dengan tangan yang lain memondong dan menaikkan Sinta ke atas kereta yang sudah menunggu di balik pohon. Saat dalam perjalanan pulang itu terjadi pertempuran dengan seekor burung tua yang bernama Jatayu yang hendak menolong Sinta. Jatayu dapat mengenali Sinta sebagai puteri dari Janaka yang merupakan teman baiknya, namun dalam pertempuan itu Jatayu dapat dikalahkan Rahwana.
Disaat yang sama Rama terus memburu kijang kencana dan akhirnya Rama berhasil memanahnya, namun kijang itu berubah kembali menjadi raksasa. Dalam wujud sebenarnya Maricha mengadakan perlawanan pada Rama sehingga terjadilah pertempuran antar keduanya, dan pada akhirnya Rama berhasil memanah si raksasa. Pada saat yang bersamaan Lesmana berhasil menemukan Rama dan mereka berdua kembali ke tempat semula dimana Sinta ditinggal sendirian, namun sesampainya Shinta tidak ditemukan. Selanjutnya mereka berdua berusaha mencarinya dan bertemu Jatayu yang luka parah, Dari keterangan Jatayu mereka mengetahui bahwa Sinta diculik oleh Rahwana. Setelah menceritakan semuanya akhirnya si burung garuda ini meninggal.
Dalam pencariannya untuk menemukan Sinta. Ketika masuk hutan, kedua pangeran itu tiba-tiba bertemu dengan raksasa yang sangat besar. Raksasa itu bernama Kabanda. Rama dan Lesmana menebas tangan raksasa itu. Setelah kedua tangannya dibuntungi, raksasa itu tidak berdaya dan mulai bercerita:
“Karena perbuatan-perbuatan jahatku, aku dikutuk Batara Indra untuk menjalani hidup dengan wujud dan nama ini. Aku yakin kalian adalah Rama dan Lesmana. Batara Indra berjanji akan melepaskanku dari kutukan ini setelah berjumpa denganmu dan setelah kedua tanganku kalian buntungi. Sekarang bakarlah tubuhku dengan api.” Akhirnya, Rama dan Lesmana membakarnya. Sebelum pergi, Kabanda berkata kepada Rama, “Kau akan dapatkan Sinta kembali. Pergilah ke pinggir Sungai Pampa yang permai. Mintalah bantuan kepada Sugriwa yang tinggal di Bukit Risyamuka. Setelah diusir dari kerajaan oleh saudaranya, Subali, ia hidup dicekam ketakutan dan bahaya. Jalinlah persahabatan dengannya dank au akan berhasil mencapai tujuanmu. Kemudian, Rama dan Lesmana berangkat menuju Pampa. Di tempat yang permai itu, mereka mengunjungi asrama sanyasini tua, sabari. Pertemuan denagn perempuan suci dan air Sungai pampa itu memberikan kekuatan batin bagi kedua pangeran.
Sugriwa adalah pangeran wanara yang melarikan diri. Bersama dengan para pengikut setianya, dengan was-was ia mengamati Rama dan lesmana yang masuk ke hutan. Ia takut, para kestaria yang memihak Subali datang untuk membunuhnya. Hanoman adalah menteri utama Sugriwa. Dengan menyamar sebagai seorang Brahmana, Hanoman mendekati Rama dan Lesmana. Stelah berbincang-bincang dan menjelaskan maksud kedatangannya, akhirnya mereka sepakat untuk menjadi sahabat sejati. Rama dan Lesmana akan membantu sugriwa membunuh subali, dan Sugriwa akan membantunya mendapatkan Sinta. Singkat cerita, akhirnya Subali berhasil dibunuh oleh Rama. Namun, sebelum menghembuskan nafas terakhir, Subali menitipkan Anggada anaknya, kerajaannya, dan Tara istinya.
Dari sampati, para wanara tahu Sinta ditawan di tanah bangsa raksasa, seratus yojana melintasi samudra. Wanara menyampaikan pada hanoman, bahwa hanya dia yang dapat membantu Rama. Akhirnya, hanoman pergi ke Alengka. Dia menyamar sebagai kera kecil. Betapa terpesonanya dia ketika melihat kerajaan Alengka.
Taman Argasoka adalah taman kerajaan Alengka tempat dimana Sinta menghabiskan hari-hari penantiannya dijemput kembali oleh sang suami. Karena sudah beberapa kali Rahwana meminta dan ‘memaksa' Sinta menjadi istrinya tetapi ditolak, sampai-sampai para istri Rahwana habis kesabarannya yaitu ingin membunuh Sinta namun dapat dicegah oleh Trijata. Trijata adalah raksasi yang mengingatkan raksasi yang lain agar tidak membunuh sinta. Trijata menceritakan mimpi buruknya secara rici:
“Dalam mimpiku, aku melihat Rama. Ia bersinar terang seperti matahari. Ia datang menjemput Sinta. Rahwana memasuki istana Batara Yama. Rama mengangkat Sinta naik gajah dan membawanya pulang. Aku melihat Rahwana dan semua bangsa Raksasa yang berpakaian kumal penuh debu diseret batara Yama.”
Hanoman duduk bersembunyi di atas pohon. Dari balik dahan, Hanoman mendaraskan dengan suara lembut dan merdu kisah Rama supaya di dengar Sinta. Setelah itu, Hanoman diam sebentar.  Syair yang lembut, membuat hati Sinta berbunga-bunga sekaligus bertanya-tanya. Ia melihat sekeliling, ke atas ke bawah. Sinta melihat putra Batara bayu, menteri raja wanara yang bijaksana, dalam wujud kera kecil. Wajahnya bercahaya seperti matahari terbit. Sinta sebenarnya tidak percaya dengan hanoman, namun hanoman terus bercerita kepada Sinta. Dan untuk menambah kepercayaan Sinta, Hanoman memberikan cincin kepada Sinta.
Dengan gagah berani, Hanoman mencoba untuk menantang perang pasukan Alengka dan Rahwana. Dengan segala kekuatannya, akhirnya kota Alengka dibakar olehnya. Rahwana marah besar dan berniat untuk membunuh Hanoman. Namun, pasukan Rahwana dapat dibunuh oleh Hanoman. Hanoman, Rama, Lesmana, dan pasukan wanara serta Sugriwa berusaha untuk merebut Sinta. Rahwana pergi meminta bantuan Kumbakarna. Karena suatu kutukan, Kumbakarna biasa tidur selan berbulan-bulan. Akhirnya, Kumbakarna berhasil dibangunkan dan bersedia membantu Rahwana. Kumbakarna pun tewas di tangan Rama sendiri. Kematian Kumbakarna membuat Rahwana semakin murka dan sedih. Dengan bantuan Indrajit, pasukan-pasukannya termasuk juga Kumba, Nikumba dan Yupaksa ia mencoba untuk memusnahkan Rama dan kawan-kawannya. Wibisana adik Rahwana, membantu Rama untuk merebut Sinta kembali. Setelah bertarung sengit, Kumba tewas di tangan Sugriwa dan Nikumba di tangan Hanoman. Maharaksa, putra Kara, yang menghadapi Rama, tewas diterjang panah api Rama. Masih banyak lagi senopati perang bala tentara raksasa yang tewas bersimbah darah. Dan akhirnya, Indrajit pun tewas di tangan Lesmana. Rahwana sangat sedih dengan kematian putranya.
Ratap tangis terdengar di setiap rumah di Alengka. Kesedihan, rasa malu, dan amarah campur aduk menggelegak di dada Rahwana seperti laut yang mengamuk. Rahwana dan bala tentaranya maju ke medan laga. Rahwana terus maju menuju medan laga didampingi Wiropaksa, Mahodara, dan Mahaparswa. Para raksasa yang menemani Rahwana langsung bertumbangan disambut hujan panah dan batu mematikan. Rahwana bertarung sengit dengan Rama. Dalam pertarungannya, Rahwana tidak dapat dimatikan. Akhirnya, Rama pun segera mengucapkan mantra seraya melontarkan panah Bramastra. Meskipun sepuluh kepala Rahwana berulang kali bunting, kepala-kepala itu tumbuh kembali. Kesaktian Rahwana membingungkan Rama. Brahmastra, yang memancarkan bara api, melesat dan menerjang dada Rahwana, Brahmastra menerjang persis pada bagian yang menyimpan rahasia kesaktian Rahwana, bagian rahasia itu remuk seketika. Busur meluncur jatuh dari jari-jemari rahwana dan raksasa sakti tersebut akhirnya tumbang dan terjatuh dari kereta; tersungkur di tanah. Kematian Rahwana membuat hati Wibisana sedih. Rahwana, kakak kandungnya akhirnya tewas di tangan Rama.
Singkat cerita setelah kematian Rahwana, Wibisana dinobatkan menjadi raja Alengkan dengan upacara yang megah. Namun, keraguan merasuki hati Rama, dia meragukan kesucian Sinta. Sinta sangat kecewa dengan tuduhan Rama. Kemudian, Sinta menyuruh Lesmana untuk membuat api unggun yang besar untuknya. Seperti yang diperintahkan Sinta, Lesmana membuat api unggun besar. Kemudian, dengan mata menatap lurus ke tanah, berjalan mengelilingi suaminya. Akhirnya, ia meloncat ke dalam kobaran api. Dan ajaib! Di sela-sela kobaran api muncul para penghuni kahyangan. Para dewa datang dan bersama-sama di sana.
Batara agni, Dewa Api, muncul di antara kobaran api dan memondong Sinta. Seluruh pakaian serta perhiasan yang dikenakan Sinta sama sekali tak terbakar dan utuh. Kemudian, ia serahkan Sinta kepada Rama. Akhirnya, Rama dan Sinta hidup bahagian bersama dan Rama dinobatkan menjadi Raja di Ayodya.
C.              Membaca dan Menilai Sastra oleh A. Teeuw
Membaca dan menilai sebuah karya sastra bukanlah sesuatu yang mudah. Setiap pembaca roman atau puisi, baik modern atau pun klasik, pasti pernah mengalami kesulitan, merasa seakan-akan tidak memahami apa yang dikatakan atau pun dimaksudkan oleh pengarangnya. Proses membaca adalah memberi makna kepada sebuah teks tertentu yang dipilih atau yang dipaksakan kepada kita yakni proses yang memerlukan pengetahuan system kode yang cukup rumit, kompleks, dan aneka ragam. Untuk memahami sebuah karya sastra, pembaca harus menguasai berbagai macam sistem kode, baik kode bahasa, kode budaya, maupun kode sastra (Teeuw, 1983: 15).

1.    Kode Bahasa
Faktor pertama yang dalam model semiotik sastra harus diberi tempat yang selayaknya adalah bahasa, sebagai sistem tanda yang kompleks dan beragam. Bahasa merupakan sistem pembentuk model yang primer, yang mengikat baik penulis maupun pembaca, tidak hanya dalam arti bahwa kedua-duanya harus mengetahui bahasa yang dipakai dalam karya sastra, tetapi juga dalam arti bahwa keistimewaan struktur bahasa itu secara luas membatasi dan sekaligus menciptakan potensi karya sastra dalam bahasa tersebut.

2.    Kode Sastra
Kode sastra adalah kode yang berkenaan dengan hakikat, fungsi sastra, karakteristik sastra, kebenaran imajinatif dalam sastra, sastra sebagai sistem semiotik,sastra sebagai dokumen sosal budaya, dan sebagainya. Menurut Teeuw (1991: 14),sesungguhnya kode sastra itu tidak mudah dibedakan dengan kode budaya, meskipunbegitu, pada prinsipnya keduanya tetap harus dibedakan dalam kegiatan membaca dan memahami teks sastra.

3.    Kode Budaya
Kode budaya adalah pemahaman terhadap latar kehidupan, konteks, dan sistem sosial budaya. Menurut Chapman (1980: 26), kelahiran karya sastra diprakondisikan oleh kehidupan sosial budaya pengarangnya. Karena itu, sikap dan pandangan pengarang dalam karyanya mencerminkan kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Sejalan dengan itu, Rachmat Djoko Pradopo (2001: 55- 56), menyatakan bahwa karya sastra sebagai tanda terikat pada konvensi masyarakatnya, karena merupakan cermin realitas budaya masyarakat yang menjadi modelnya.
Untuk memahami kode budaya dalam kisah Ramayana ini maka kita mengembalikan karya sastra ini dan memandang karya ini sebagai perwujudan nilai-nilai dan peristiwa-peristiwa penting pada jamannya, seperti kehidupan kebudayaan, alam pikiran, susunan tata pemerintahan, kebiasaan adat-istiadat, keadaan kemasyarakatan, dan kegiatan kultural lainnya yang hanya dapat dipahami dalam suatu totalitas kehidupan masyarakat yang telah melahirkannya.


D.        Analisis Kisah Ramayana Karangan C. Rajagopalachari
1. KODE BAHASA             
a. Pola Unsur Sastra
Yang dimaksud pola unsur sastra ialah berupa unsur-unsur sastra yang mengandung mitologi dalam jalinan genealogi atau silsilah yang dihubung-hubungkan dengan dewa-dewa, bidadari, tokoh-tokoh wayang, resi atau Begawan dan diselingi legenda yang bertalian dengan pola dasar alam pikiran pokok kehidupan yang cukup lama yang mengandung unsur-unsur air, tanah, api, dan udara. Kadangkala diperkuat lagi dengan siimbolisme yang berwujud lambang-lambang sinar berkelarat di angkasa yang disebut wahyu, daru, pulung atau berwujud benda-benda pusaka keramat, dan kata-kata kiasan. Kadangkala dengan hagiografi yang menunjukkan kemukjizatan atau dengan unsur sugesti berupa ramalan atau firasat, suara gaib, tabir mimpi, dan pemali.

Unsur mitologi (unsur-unsur fiktif), legende (asal muasal) , hagiografi (peristiwa-peristiwa mukjizat), simbolisme, dan sugesti (pengaruh) dinamakan aspek fiktif sebagai ramuan sastra dalam membentuk suatu bangunan sastra.
a.      Pemilihan diksi
Pada cerita Ramayana karangan C. Rajagopalachari digunakan diksi (pemilihan kata yang sangat bagus, yaitu :
1.      “Kedatangan Wismamitra di Ayodya amat mengejutkan. Raja Dasarata sendiri pun turun dari singgasana dan menyambut kedatangan resi itu.”
è Penggunaan kata singgasana ini merupakan aspek kode bahasa yaitu penggunaan diksi atau pemilihahan kata. Singgasana mempunyai arti rumah tempat tinggal, namun untuk lebih memperindah kata tersebut penulis memilih kata singgasana.

2.      Dengan kata-kata yang manis, ia coba menghibur Trisanku, “Paduka yang mulia, aku sudah mendengar kabar tentang keadilanmu. Aku akan menolongmu; jangan takut…”
è Dari penggalan cerita ini, maka terdapat kode bahasa yaitu berupa diksi atau pemilihan kata. Paduka yang mulia adalah pengganti sebutan untuk Raja. Disini dijelaskan bahwa, Wismamitra kasihan kepada raja, raja yang dimaksudkan dalam penggalan cerita ini adalah Raja Trisanku yang dikutuk menjadi chandala. Disebutkan juga Wismamitra memanggil Raja Trisanku dengan sebutan “Yang Mulia Trisanku”.
è Untuk menyebut Dasarata digunakan Paduka Raja

3.      Pada bagian lain juga terdapat diksi yang menyebut Rama dan Lesmana menggunakan kedua putra raja dan kedua pangeran. Yaitu pada penggalan :
è Kedua putra raja diminta menghadap Resi Wismamitra. Kemudian raja, para permaisuri, dan Resi Wasista memberikan berkat dan mengantar mereka pergi bersama Resi Wismamitra.
Angin berhembus lembut dan awan-awan bergelantungan seperti untaian bunga yang ditabur para penghuni kahyangan. Sayup-sayup terdengar alunan napas alam. Dengan tangan tertangkup di dada, kedua pangeran itu berjalan dikiri dan kanan sang brahmaresi.
è Pada penggalan cerita ini juga ada permajasan yang merupakan penggambaran kepergian Rama, Lesmana, dan Wismamitra yang disambut oleh orang-orang tersayang mereka. Permajasan ini merupakan bagian dari kode bahasa.

4.      Bayi nan elok memikat ini dibesarkan Raja Janaka dan permaisuri terkasihnya.
è Bayi nan elok memikat = merupakan diksi yang digunakan untuk menggambarkan bayi yang sangat cantik.
è Permaisuri terkasihnya = merupakan diksi yang ditujukan untuk istri Raja Janaka.
è Kode bahasa yang ada yaitu diksi atau pilihan kata.

5.      Seorang gadis pelayan kecil menari dengan hati riang. “Apakah engkau tidak tahu esok pagi Ramachandra akan dinobatkan memjadi Yuwaraja?”. Barulah Mantara sadar apa yang sedang terjadi. Pelan-pelan amarah meriap dan menguasai hatinya. Bagaikan anak panah melesat dari busur, ia berlari turun. Ia langsung menuju kamar Dewi Kaikeyi. Waktu itu, sang permaisuri sedang tidur di peraduan.
è Kode bahasa yang ada yaitu diksi, yaitu:
·         Seorang gadis pelayan kecil menari dengan hati riang.
·         Pelan-pelan amarah meriap dan menguasai hatinya.
·         Waktu itu, sang permaisuri sedang tidur di peraduan.

6.      Dewi Kausalya tumpahkan segala amarah yang membadai di hatinya kepada Dasarata yang dihantam kegalauan hati dan penyesalan tak terkira. Kesedihan hati Kausalya menemukan muara dalam kata-kata tajam menusuk hati. Bagi Dasarata, kata-kata itu seperti memberi garam pada nganga luka di hati. Gejolak perasaan Kausalya terlampiaskan dalam kata-katanya kepada Dasarata.
7.      Terhenyak oleh serangan dari belakang – ia sama sekali tidak menyangka diserang dari belakang – Subali melihat sekeliling dengan tatapan tak mengerti. Ia melihat Rama dan Lesmana mendekat dengan busur di tangan. Air mata mengalir dari pipi saking marahnya.  
è Pemilihan diksi yang merupakan kode bahasa yaitu berupa kata saking.
Pada bagian lain juga ada kata-kata saking, yaitu:
Ia tumpukan kaki dan tangan pada bukit itu. Karena tekanan itu, bunga-bunga berguguran dan menyelimuti bukit. Saking kuat tekanan kaki Hanoman, Bukit Mahendra memuntahkan mata air, seperti air mata yang mengalir dari pipi gajah.

8.      Kakakku ini sebenarnya terlahir dengan hak istimewa. Ia terlahir sebagai putra sulung raja besar. Ia tinggalkan kerajaannya dan hidup di hutan. Di hutan, istrinya yang ia kasihi lebih daripada hidupnya sendiri, diculik oleh Rahwana.
è Pada bagian ini Rama dipanggil dengan kakak, namun pada bagian lain Rama dipanggil kanda oleh adiknya, yaitu :
“Kanda Rama, demi aku, kau tidur di atas rumput….”

9.      Sinta turun dari tandu. Dengan wajah muram, ia berjalan menuju Rama. “Aryaputra,” katanya sambil tersedu, tak sanggup melanjutkan kata-kata.
è Aryaputra dalam bahasa sansekerta berarti yang terkasih dan yang mulia, serta merupakan sapaan intim seorang istri kepada suami.
è Aryaputra merupakan pemilihan diksi yang ada dalam cerita Ramayana ini. Pada bagian lain, Sinta memanggil Rama dengan suamiku, yaitu:
“Suamiku, kata-katamu indah. Bagiku, apa yang kau katakana itu aneh. Seorang istri dipisahkan dari suaminya. Kewajiban suami bukan tanggung jawab istri…..”
Pemilihan diksi ini merupakan bagian dari kode bahasa.

b.      Permajasan
1.      Karena khawatir kekuasaannya akan guncang, para dewa mengalah dan memohon supaya Wismamitra berhenti unjuk kekuatan. “Biarlah Trisanku tetap berada di sana. Biarlah bintang gemintang ciptaanmu menggantung di langit untuk selamanya, seperti kemasyhuran dan kehormatanmu. Kendalikan amarahmu dan marilah berdamai.”
è Pada penggalan cerita ini, maka terdapat bermajasan yaitu alegori, yang merupakan penggambaran kekuatan seorang Wismamitra (kemasyhuran dan kehormatannya). Pada saat ini, diceritakan bahwa Wismamitra sangat murka karena Trisanku ditolak masuk surga.

2.      Ketika ia masuk halaman pertapaan, hutan memancarkan gairah musim semi, angin selatan membawa harum bunga, dan burung-burung kokila menawarkan angin selatan membawa harum bunga.
è Pada penggalan cerita ini, terdapat permajasan yang menggambarkan kecantikan seorang dewi kahyangan yaitu Dewi Ramba. Dewi Ramba diutus para dewa untuk mengganggu atau memikat Wismamitra, agar tapa bratanya selama seribu tahun untuk mengalahkan semua hawa nafsu dapat digagalkan.

3.      Meskipun demikian, dengan hati yang penuh syukur kita bisa sedikit mencicipi kecantikan dewi bumi melalui pepohonan yang menghijau pada musim semi, kemilau daun-daun yang masak di pohon pada musim gugur; dengan hati yang terbuka kita bisa menyaksikan sedikit pesona kecantikan sang dewi bumi melalui keindahan dan keagungan gunung, lembah, sungai, dan lautan.
è Kata-kata yang dicetak tebal diatas merupakan permajasan yang menggambarkan kecantikan Sinta yang begitu sangat cantik.
è dengan hati yang penuh syukur kita bisa sedikit mencicipi kecantikan dewi bumi = merupakan majas sinestesia.

4.      Dasarata tahu dan senang dengan harapan rakyat itu. Karenanya, pada usianya yang sudah beranjak senja, ia ingin menobatkan Rama sebagai Yuwaraja. Dengan demikian, ia mempercayakan tampuk kekuasaan kerajaan secara de facto. Setelah meminta nasihat nasihat kepada para menteri, Dasarata mengundang dewan kerajaan untuk bertemu. Para resi dan para bijak, para pemimpin kota dan raja-raja dari negara tetangga hadir dalam pertemuan itu. Setelah semua duduk di tempat yang telah disediakan, dasarata berdiri dan bicara kepada mereka semua. Suaranya yang berat, seperti suara terompet atau deru awan mendung, memenuhi gedung pertemuan. Wajahnya menampakkan kemuliaan seorang raja. Kata-katanya penuh makna dan memikat orang-orang yang mendengarkan.
è Pada bagian ini ada kode sastra yaitu berupa permajasan , yang ditunjukkan pada bagian yang dicetak tebal diatas.

5.      Bangun, bangun, perempuan bodoh! Badai kemalangan meradang dan siap menelanmu! Engkau dikhianati dan akan segera hancur. Bintangmu telah luruh. Perempuan bodoh, sekarang bukan saat yang tepat untuk enak-enak tidur!”
è Kode bahasa yang ada pada bagian ini adalah berupa permajasan.
a)      Badai kemalangan meradang dan siap menelanmu! Maksud majas ini adalah kesengsaraan akan melanda Dewi Kaekayi.
b)     Bintangmu telah luruh. Maksudnya adalah Dewi Kaekayi akan kehilangan kedudukannya.

6.      Mulut Kaikeyi tetap terkunci, tetapi matanya mengutarakan kobaran amarah yang telah menghanguskan hatinya.
è Kode bahasa yang ada yaitu berupa permajasan. Majas ini menjelaskan bahwa: Kaikeyi tetap diam tak mau bicara mendengar kata-kata Dasarata yang mengatakan banyak kata kepadanya, karena dia tidak rela kalau Rama tidak bisa menjadi Raja. Rama adalah anak tertua yang sangat patuh, yang sangat baik. Walau diam namun sebenarnya dalam pikiran Kaikeyi sudah berkobar perasaan tidak rela dan tetap pada pendiriannya. Hatinya sudah dirasuki perasaan atas keserakahan.

7.      Ketika sais kereta itu tiba, kota tampak muram dan kehilangan keceriaan dari hiruk-pikuk para penghuninya. Segera setelah ia melewati gerbang kota, orang-orang menghentikan keretanya. Mereka memberondong Sumantra dengan pertanyaan, “Di mana kau tinggalkan Rama? Bagaimana keadaannya ketika kau pergi?”
è Kode bahasa yang ada pada bagian ini berupa majas personifikasi yaitu kota tampak muram dan kehilangan keceriaan dari hiruk-pikuk para penghuninya. Maksud majas ini adalah menggambarkan kesedihan para rakyat yang ditinggal oleh Rama, Lesmana dan Sinta.

8.      Seperti yang yang diminta Rama, Sumantra masuk dan memberitahukan kepada raja. Betapa terkejut Sumantra ketika melihat Raja Dasarata. Seperti matahari yang dilanda gerhana, layaknya tungku yang suram karena abu, laksana bak api yang kehabisan air, raja tergolek di lantai. Sama sekali tidak tampak kemuliaan seorang raja. Wajahnya suram dilipat duka nestapa.
è Kode bahasa
Yaitu pada pemilihan kata à Wajahnya suram dilipat duka nestapa. Kata-kata ini adalah pilihan kata untuk menunjukkan wajah Dasarata yang sangat sedih.

9.      “….  Kau akan jadi permaisuri dan istri penguasa Alengka, penakluk Kubera. Marilah kita nikmati kenikmatan dunia di Puspaka Wimana. Jangan biarkan awan kesedihan memayungi wajahmu. Marilah kita cicipi surga kenikmatan.”
è Kode bahasa yang ada disini berupa permajasan yaitu Jangan biarkan awan kesedihan memayungi wajahmu.

10.  Dewi Kausalya yang malah berusaha sebaik-baiknya menghibur sang raja. Tapi, hiburan macam apakah yang bisa diberikan seorang perempuan yang sedang dirundung duka? Malam merangkak lambat, detik demi detik. Dingin udara malam serasa jilatan api yang membara. Sinar bulan yang lembut terasa panas membakar seperti matahari di terik siang.
è Kode bahasa yang ada disini adalah berupa permajasan. Majas ini menggambarkan bagaimana keadaan malam itu saat Dewi Kausalya sangat begitu sedih.

11.  Seperti pengemis yang menemukan harta karun terpendam, ketiga permaisuri itu gembira bukan alang kepalang. Tak lama kemudian, ketiganya pun mengandung.”
è Episode ini ditafsirkan secara alegoris bahwa ketiga istri Dasarata yaitu Dewi Kausalya, Sumitra dan Kekayi sangat senang karena akhirnya dapat mengandung. ketika Dasarata menerima mangkuk payas dari para dewa untuk dibagi-bagikan pada ketiga istrinya untuk dapat mengandung seorang putra.

12.  “Berkat kemuliaan budi leluhur, Engkau berkenan mengunjungi kami. Seperti cahaya pagi yang mengusir kegelapan malam, kedatanganmu membawa kebahagiaan bagi kami. Hatiku amat gembira. Meskipun terlahir sebagai raja, engkau menjadi brahmaresi berkat laku tapa. Dan, engkau sendiri datang mengunjungi istanaku. Pakah yang dapat aku lakukan untuk Maharesi? Jika ada, perintahlah dan aku akan laksanakan.”
è Pada penggalan episode ini ditafsirkan secara alegoris yaitu pada bagian yang dicetak tebal, kiasan ini menggambarkan bahwa kedatangan Wismamitra kepada Dasarata digambarkan seolah-olah Wismamitra membawa cahaya atau kebahagiaan untuk Dasarata.

13.  Setiap upaya Dasarata menarik kembali janji yang telah diucapkan semakin membuat Wismamitra murka. Semua permohonan dan alasannya seperti percikan minyak pada bara api yang membakar amarah sang resi.
è Penggalan cerita ini juga ditafsirkan secara alegoris yang merupakan gambaran emosi Wismamitra yang semakin membara karena alasan dan permohonan Dasarata. Dasarata tidak menyetujui anaknya Rama dibawa oleh Wismamitra untuk mengalahkan raksasa.

14.  Mereka bertiga berjalan beriringan dengan busur dan setangkup anak panah di bahu serta pedang di pinggang. Gagah seperti ular kobra yang menegakkan kepala dengan posisi siaga.
è Penggalan ini juga ditafsirkan secara alegoris menggambarkan kegagahan Rama, Lesmana, dan Wismamitra yang bersiap pergi untuk mengalahkan raksasa.

15.  Setelah bertahun-tahun tertutup dedaunan dan rerumputan serta menepati jani, Ahalya bebas dari kutukan. Di hadapan Rama, ia tampak bercahaya, seperti bulan yang menyibak awan gemawan, bak nyala api yang menyelinap di sela-sela asap, juga laksana matahari yang berkilauan di riak-riak air.
è Penggalan cerita ini menggambarkan kecantikan Ahalya yang telah lama tertutup karena kutukan dari Gautama.

16.  Setelah beroleh izin dari Wismamitra dan raja, Rama melangkah mendekati kotak besi. Semua mata memandag Rama penuh harap. Setelah membuka tutup kotak, sungguh ajaib, ia dapat menganggkat busur tersebut dengan entengnya, seperti mengangkat karangan bunga saja. Ia rentangkan tali busur itu dengan mengambil gerakan siap membidik. Ketika tali dilepaskan, busur sakti seperti meledak sekeras halilintar. Hujan bunga turun dari kahyangan.
è Yang pertama : ia dapat menganggkat busur tersebut dengan entengnya, seperti mengangkat karangan bunga saja.
Penggalan ini menggambarkan betapa kuatnya Rama mengangkat busur Syiwa. Seperti tidak ada beban saja, ia dapat mengangkat busur itu.
è Yang kedua : melukiskan betapa kerasnya ledakan busur ketika dilepaskan oleh Rama. 
17.  Barulah Mantara sadar apa yang sedang terjadi. Pelan-pelan amarah meriap dan menguasai hatinya. Bagaikan anak panah melesat dari busur, ia berlari turun. Ia langsung menuju kamar Dewi Kaikeyi. Waktu itu, sang permaisuri sedang tidur di peraduan.
è  Bagaikan anak panah melesat dari busur, ia berlari turun.” Penggalan ini menggambarkan betapa sangat cepat sekali Mantara berlari untuk menemui Kaekayi.

18.  Tidak sanggup menghadapi kenyataan yang sedemikian berat, Dasarata jatuh pingsan. Ketika sadar, ia jatuhkan diri dihadapan Kaikaeyi. Seperti melihat harimau yang siap menerkam, badan Dasarata bergetar tidak keruan. Ia duduk dilantai dan meratap. Tidak ada lagi daya atau wibawa, seperti ular kobra yang terbius mantra. Sekali lagi ia tumbang; tak sadarkan diri.
·         Seperti melihat harimau yang siap menerkam, badan Dasarata bergetar tidak keruan. Penggalan ini menggambarkan ketakutan Dasarata yang tidak sanggup menghadapi kenyataan bahwa Kaekayi meminta Bharata untuk menjadi Raja, dan Rama harus mundur.
·         Tidak ada lagi daya atau wibawa, seperti ular kobra yang terbius mantra. Maksud penggalan ini adalah menggambarkan Dasarata sudah lemas tak berdaya karena harus menghadapi kenyataan pahit atas kepergian Rama ke hutan selama 14 tahun.

19.  Dalam Kamba Ramayana, ketika bicara kepada Lesmana yang “marah membara seperti api yang siap membakar apa saja.”, Rama berkata, “ Bukan salah sungai, ketika airnya mengering. Demikian pula, pengasinganku ke hutan bukan salah raja, Ibunda Kaikeyi atau Bharata. Ini sudah suratan takdir. Jika demikian, apa gunanya marah-marah?”
è Menggambarkan dengan cara lain ketika Lesmana sangat marah karena tidak terima jika kakaknya Rama harus diasingkan di hutan. Yaitu: ketika bicara kepada Lesmana yang “marah membara seperti api yang siap membakar apa saja.”
è Permajasan yang kedua adalah Bukan salah sungai, ketika airnya mengering. Demikian pula, pengasinganku ke hutan bukan salah raja, Ibunda Kaikeyi atau Bharata. Bagian ini menggambarkan bahwa tidak ada yang perlu disalahkan karena semua sudah suratan takdir.

20.  Seperti yang yang diminta Rama, Sumantra masuk dan memberitahukan kepada raja. Betapa terkejut Sumantra ketika melihat Raja Dasarata. Seperti matahari yang dilanda gerhana, layaknya tungku yang suram karena abu, laksana bak api yang kehabisan air, raja tergolek di lantai. Sama sekali tidak tampak kemuliaan seorang raja. Wajahnya suram dilipat duka nestapa.
·         Majas alegori à Seperti matahari yang dilanda gerhana, layaknya tungku yang suram karena abu, laksana bak api yang kehabisan air, raja tergolek di lantai. Penggalan ini menggambarkan keadaan Dasarata yang tergolek sakit karena kekecewaannya kepada Kaekeyi dan kedukaannya yang begitu dalam.

21.  “Aku tertipu parasmu. Kupikir kau adalah perempuan luhur hingga aku memperistrimu. Seperti laki-laki bodoh yang tergoda untuk minum anggur beracun, aku terpikat kecantikanmu dan mengambilmu sebagai istri. Seperti rusa yang terjerat perangkap pemburu, aku terjebak dalam jebakan dan akan mati. Seperti brahmana mabuk di jalan, semua orang akan mencomoohku. Apa permohonan yang kau pinta dariku? Permintaan yang memberi cemar pada kemasyhuran dinasti untuk selama-lamanya. Permintaan yang akan dikenang sebagai kedunguan laki-laki pikun penuh nafsu yang sampai hati mengusir putra terkasih dan terbaiknya.”
è Penggalan ini menggambarkan kekecewaan dasarata pada Kaekayi.

22.   “Dosa masa lalu membunuhku; laksana makanan yang dilarang seorang tabib, tapi secara bodoh dimakan oleh orang yang sakit. Apa yang dikatakan orang tua dalam kepengapan dan kesedihan hati yang tak terkira itu sekarang benar-benar terjadi. Dengan mata kepalaku sendiri, aku saksikan putraku yang tanpa cela dibuang ke hutan. Sebentar lagi, aku akan mati karena derita batin yang tak tertahankan.
è Dosa masa lalu membunuhku; laksana makanan yang dilarang seorang tabib, tapi secara bodoh dimakan oleh orang yang sakit. Penggalan ini melukiskan penyesalan dimasa lalu yang telah dilakukan oleh Dasarata. Dulu Dasarata pernah memanah seseorang tanpa sengaja, dan kedua orang tuanya tidak terima dan mereka mengutuk Dasarata. Suatu saat Dasarata akan merasakan duka yang begitu dalam karena ditinggalkan oleh anak kesayangannya. Dan akhirnya, Dasarata merasakan buah dari hasil perbuatannya.

23.  Seketika itu, Maricha mengubah diri menjadi kijang kencana. Setiap bagian tubuhnya menebarkan warna dan keindahan yang mempesona. Seperti pelangi di langit, kijang itu memukau setiap mata yang memandang. Kulitnya yang elok seperti bertabur emas, perak, intan, mutiara, dan bebungaan. Kulitnya yang memancarkan cahaya keemasan seperti bertabur batu permata.
è Pada bagian ini pun juga ada kode bahasa yaitu berupa permajasan, yaitu bagaimana majas-majas itu digunakan untuk menggambarkan keindahan kijang kencana.

24.  Setelah memasang anak panah pada tali dan menariknya sampai ke telinga. Rama lesatkan anak panah persis ke dada perkasa Subali. Diterjang anak panah yang melaju tak tertahankan, Subali tumbang ke tanah seperti pohon besar yang tumbang ditebang kapak. Subali terjungkal ke tanah berdarah-darah seperti panji-panji festival yang dicabut setelah pesta usai.
Meskipun demikian, ketampanannya tetap bersinar terang. Badannya berkilau seperti awan yang tertimpa cahaya matahari. Medali sakti pemberian Batara Indra bersinar terang di dadanya. Medali inilah yang menjaga nyawa dan nasib baik Subali. Medali itu, anak panah Rama, luka yang berdarah-darah, semuanya menambah cemerlang cahaya badannya yang perkasa.

è Pada bagian ini terdapat kode bahasa berupa permasajasan. Majas ini menggambarkan bagaimana keadaan Subali saat ia akan meregang nyawanya setelah dipanah oleh Rama.

v  Majas metafora:
25.   Ia menatap ke sekeliling sambil menyembunyikan diri di balik rerimbunan pohon. Ia duduk pada salah satu cabangnya dan melihat ke bawah. Benar saja, ia melihat sesosok perempuan sedang duduk di gazebo. Perempuan itu sangat cantik dan murni seperti seorang dewi.
Meskipun kurus dan pucat, wajahnya bersinar seperti rembulan pada awal paruh. Kecantikannya terpancar dari hati yang sendu, seperti api yang tersaput asap. Mengenakan pakaian yang kotor, ia seperti bunga teratai cantik yang terlapisi lumut yang berlumpur. Air mata membasahi wajahnya. Ia tampak pucat dan kurus karena kurang makan. Ia hanyut dalam kesedihan hati. Sendirian. Sama sekali tidak terpancar sinar harapan. Setiap kali mata itu memandang, hanya para raksasi yang ia temukan. Ia merasa seperti rusa betina yang terpisah dari kawannya dan dikepung sekelompok anjing liar. Satu kepang rambutnya yang panjang seperti ular tampak berantakan dan tak terurus, memanjang sampai pinggang. Di mata Hanoman, ia tampak menarik dan sekaligus mengundang belas kasihan, seperti syair-syair agung yang disobek dari kitab suci oleh orang-orang yang ingkar. Ia seperti harta karun yang tenggelam di antara puing-puing tanpa arti, seperti harapan yang hancur berantakan dan keyakinan yang terkhianati, seperti kecerdasan yang dinodai kegilaan, juga seperti kemurnian tanpa cela yang dinodai fitnah yang keji…………………………………………………………..
è Pada bagian ini merupakan kode bahasa berupa majas metafora. Yang menggambarkan bagaimana kesedihan hati Sinta saat jauh dari Rama, saat ia diculik oleh Rahwana.

c.       Kode bahasa yang lain pada cerita Ramayana ini adalah bahasa untuk menyampaikan cinta Rahwana kepada Sinta, yaitu:
“Kau boleh menganggap dan menikmati semua ini sebagai milikmu. Kau akan menjadi permaisuriku yang akan kucintai lebih daripada hidupku sendiri. Aku punya banyak istri, tapi aku akan jadikan kau tuan atas mereka. Mulai sekarang, cintaku hanya untukmu dan hanya untukmu. Dengarkan aku, sambutlah keinginanku. Laut seluas ratusan mil mengelilingi tempat kita. …”

2. KODE SASTRA
a.       Alur : alur dalam cerita Ramayana karangan C. Rajagopalachari adalah alur maju. Pada buku ini, alur cerita sangat runtut dari awal cerita hingga akhir cerita. Setiap episode diceritakan dengan bahasa-bahasa indah (gaya bahasa), seperti :
b.      Penokohan : unsur penokohan disini juga merupakan salah satu kode sastra. Nama-nama yang digunakan merupakan tokoh-tokoh dalam pewayangan. Namun, dalam buku Ramayana ini dikemas menjadi satu kesatuan cerita yang seolah-olah terjadi dalam dunia nyata. Cerita ini merupakan gambaran masyarakat India. Misalnya:
1.      Dalam menggambarkan kecantikan sosok Dewi Ramba, ditunjukkan oleh:
Mengetahui para dewa ketakutan, Batara Indra segera memanggil dewi kahyangan yang jelita, Dewi Ramba. Ia perintahkan sang dewi untuk memikat Wismamitra dengan kecantikan dan rayuannya. Semula Dewi Ramba sangat takut menerima tugas itu, tapi Batara Indra berjanji tidak akan membiarkannya bekerja sendirian. Ia akan mengutus Dewi Cinta dan Dewa Musim Semi untuk membantu Ramba. Pada akhirnya, walau dengan hati enggan, Ramba berangkat juga. Ketika ia masuk halaman pertapaan, hutan memancarkan gairah musim semi, angin selatan membawa harum bunga, dan burung-burung kokila menawarkan merdu kicauan. Dewa Cinta dan Dewi Musim Semi datang membantu kecantikan Ramba. Merasa terganggu dengan piruk-pikuk yang telah lama tidak ia dengar. Wismamitra membuka mata dan melihat seorang gadis jelita di depannya. Keindahan hutan, wangi bunga, dan kicau burung musim semi seolah memuncak pada diri gadis jelita di depan matanya.

2.      Penggambaran sosok Parasurama, yaitu:
Ketika Dasarata dan Wasista sedang berdialog, tiba-tiba badai datang menerjang. Pohon-pohon bertumbangan, bumi berguncang, dan debu beterbangan menutupi matahari. Suasana berubah gelap. Semua dicekam ketakutan. Ternyata, inilah alasan kejadian aneh itu. Di hadapan mereka berdiri tegak sosok yang menggetarkan nyali, Parasurama. Dulu Parasurama pernah bersumpah akan membunuh setiap ksatria yang dijumpai. Dengan busur di pundak yang satu dan kapak perang di pundak yang lain, serta anak panah yang berkilau seperti kilatan petir di tangan. Sebuah penampakan yang menyeramkan. Rambutnya yang panjang digelung berpilin-pilin. Ia seperti rudra yang menikmati penghancuran Tripura. Wajahnya memancarkan cahaya seperti api. Putra Jamadagni ini memang ditakuti golongan kesatria. Banyak sekali kesatria yang telah tewas di tangannya. Kedatangannya selalu diawali dengan badai dan gempa bumi. Golongan kesatrian dibuat gemetar ketakutan.
è Dari penggalan ini pada dapat kita ambil kode sastra yaitu bagaimana tokoh Parasurama digambarkan sebagai sosok yang sangat menakutkan.

3.      Kode sastra yang ditunjukkan dari aspek penokohan yang lain, yaitu pada diri Dewi kaekayi, disini, digambarkan bagaimana kecantikan Dewi kaekayi yang walau tanpa perhiasan. Saat itu ia dalam keadaan telah dihasut oleh Mantara. Dewi kaekayi takut akan dijadikan budak jika Rama yang menjadi Raja. sekaligus dalam penggalan kisah ini, kita juga akan mengerti bagaimana sosok Dewi kaekayi itu:
Dalam gelegak amarah yang mendidih Dewi Kaekayi yakin Dasarata telah mengkhianatinya. Meskipun telah menanggalkan semua perhiasan dan pasang muka muram durja bercampur amarah, Dewi Kaekayi masih cantik memikat. Kecantikan sang permaisuri justru semakin mempesona.
Akal bulus Mantara telah merasuk pikiran Dewi Kaekayi. Kini, kaekayi telah berubah. Rasa takut akan menjadi budak Kausalya dan ancaman kematian yang membayangi Bharata telah menguasai hati Kaekayi. Untuk kali pertama dalam hidupnya, ia tak mempedulikan rasa malu dan dosa. Hatinya telah menjadi keras. Napasnya berta. Keringat bercucuran. Dengan mata tertutup, Kaekayi yang cantik seperti Dewi Naga, melepas gelung rambut. Dengan rambut terurai, ia baringkan diri di lantai, seperti burung terkena panah pemburu. Hiasan bunga dan perhiasan berkilauan yang biasanya menjadi pasangan serasi kecantikan kecantikan Kaekayi berserakan di lantai. Suasana kamar yang gelap membuat perhiasan itu tampak berkilauan seperti bintang di langit malam.
è Dari sini, maka kita bisa gambarkan bagaimana sosok Dewi Kaekayi. Sosok yang sangat cantik, dengan gaya hidup yang serba mewah karena dia adalah seorang istri Raja yang masyhur.

4.      Penggambaran Dewi Sumitra, yaitu pada penggalan cerita :
Dewi Sumitra adalah perempuan yang tak banyak bicara, matang, bijak, pemberani, penuh iman, dan harapan semua orang ketika semua harapan mulai padam. Dikisahkan bahwa Dewi Sumitra sudah sejak lama tahu keilahian dan tujuan inkarnasi Rama. Pemahaman itu membantunya tidak hanya untuk menghibur Dewi Kausalya, tapi juga melihat tugas suci yang harus dijalani Lesmana dalam pengasingan bersama Rama.

5.      Penggambaran kijang kencana yang mampu memikat hati Sinta, yaitu:
Seketika itu juga, Maricha mengubah diri menjadi kijang kencana. Setiap bagian tubuhnya menebarkan warna dan keindahan yang mempesona. Seperti pelangi di langit, kijang itu memukau setiap mata yang memandang. Kulitnya yang elok seperti bertabur emas, perak, intan, mutiara, dan bebungaan. Kulitnya memancarkan cahaya keemasan seperti bertabur batu permata.


6.      Sinta
Penggambaran sosok Sinta pada buku ini diceritakan dengan bahasa yang indah, yang merupakan kode sastra, yaitu:
Manusia yang fana tidak akan pernah bisa melihat keindahan dewi bumi secara penuh. Meskipun demikian, dengan hati yang penuh syukur kita bisa sedikit mencicipi kecantikan dewi bumi melalui pepohonan yang menghijau pada musim semi, kemilau daun-daun masak di pohon pada musim gugur; dengan hati yang terbuka kita bisa menyaksikan sedikit pesona kecantikan sang dewi bumi melalui keindahan dan keagungan gunung, lembah, sungai, dan lautan. Seperti itulah, kecantikan Dewi Sinta dalam keseluruhannya.

7.      Kumbakarna
Kode sastra yang menunjukkan bagian dari nilai keindahan dari penokohan juga ada pada saat menggambarkan Kumbakarna, yaitu:
Kumbakarna adalah raksasa yang berbadan tinggi besar dan sangat kuat. Kumbakarna, yang mengenakan perhiasan, bercahaya seperti matahari, seperti Triwikrama sendiri. Seperti yang dianjurkan tradisi, ia kelilingi kakaknya. Kemudian, ia membungkuk menghaturkan hormat dan berangkat. Ia menuju medan laga dengan tombak di tangan. Di tengah sorak-sorai serta hujan bunga dan seruan-seruan yang berpengharapan, ia pimpin satu pasukan yang sangat besar. Ketika sosok Kumbakarna yang luar biasa besar, yang sangat besar bahkan untuk ukuran raksasa, melangkah ke luar dari benteng kota, para wanara ketakutan dan lari lintang pulang ke segala penjuru. Memang Kumbakarna tampak sangat mengerikan, seperti Batara Yama sendiri pada akhir zaman atau bencana alam besar. Dengan susah payah, para senopati pasukan wanara mengatur kembali formasi perang.

8.      Subali
Setelah memasang anak panah pada tali dan menariknya sampai ke telinga. Rama lesatkan anak panah persis ke dada perkasa Subali. Diterjang anak panah yang melaju tak tertahankan, Subali tumbang ke tanah seperti pohon besar yang tumbang ditebang kapak. Subali terjungkal ke tanah berdarah-darah seperti panji-panji festival yang dicabut setelah pesta usai.
            Meskipun demikian, ketampanannya tetap bersinar terang. Badannya berkilau seperti awan yang tertimpa cahaya matahari. Medali sakti pemberian Batara Indra bersinar terang di dadanya. Medali inilah yang menjaga nyawa dan nasib baik Subali. Medali itu, anak panah Rama, luka yang berdarah-darah, semuanya menambah cemerlang cahaya badannya yang perkasa.

è Dari sini dapat kita ambil kesimpulan bagaimana sosok Subali, hingga akhir hayatnya dia meninggal dengan keadaan yang begitu indah. Seperti inilah sosok Subali, keagungan seorang pejuang sejati ketika meregang nyawa di medan laga. Dari sini dapat kita ambil makna tersirat, bahwa dia adalah sosok pejuang sejati yang baik hati.

9.      Bulu-bulu tubuh Hanoman berdiri. Ia meraung keras dan pukul-pukulkan ekornya ke tanah. Kemudian, ia membungkuk dan mengambil napas dalam. Ia tumpukkan kekuatannya pada kaki, menutup telinga, dan mengencangkan semua otot. Kemudian, dengan teriak kemenangan ia meloncat ke udara. Seperti Garuda, ia terbang secepat anak panah Rama. Daya gerak kecepatan Hanoman menarik pepohonan sampai ke akar-akarnya. Seperti orang yang mengantar kepergian sahabat, pohon-pohon itu ikut terbang sebentar, menggugurkan – seperti menaburkan bunga dan jatuh ke laut. Seperti gunung-gunung yang dulu dikejar Batara Indra dan dilucuti sayapnya, satu per satu pohon-pohon yang tertarik ikut terbang bersama Hanoman berjatuhan ke laut. Permukaan air laut yang bertabur bunga-bunga warna cerah tampak seperti langit yang berbintang. Bahu Hanoman dengan tangan terentang tampak seperti dua ular kobra yang berkepala lima. Hanoman seperti menelan langit ketika terbang semakin jauh. Matanya berkilau seperti hutan yang terbakar api. Hidungnya yang merah bersinar seperti matahari sore. Badannya yang besar membentang di angkasa seperti komet raksasa. Udara bergemuruh, ketika ia melaju menembus angkasa. Di bawah, tampak bayangan hanoman seperti kapal yang melaju menembus ombak. Ia seperti gunung yang sangat besar, terbang membelah angkasa. Seperti bulan yang bersinar melintasi langit, kadang tertutup dan muncul lagi dari balik awan. Para gandarwa menurunkan hujan bunga. Para dewaresi memberkatinya.
è Dari sini terdapat kode sastra yaitu berupa penokohan, yang menggambarkan bagaimana sosok dari Hanoman yang gagah perkasa dan kuat tak tertandingi.

c.       Latar / Plot :
Latar yang diceritakan pada cerita Ramayana karangan C. Rajagopalachari ini disajikan dengan bahasa yang indah, seperti misalnya:
1.      Saat menjelaskan kerajaan Alengka milik Rahwana, yaitu:
Di sana, di Bukit Trikuta, seperti tergantung di atas langit, berdiri megah kota Rahwana. Betapa indah, kaya raya, dan terlindung rapat di balik tembok kota itu. Benteng dan kota itu tidak kalah jika dibandingkan dengan Amarawati. Tanaman belukar yang subur, dan parit-parit yang dalam semuanya membuatku kagum.
Ia melewati jalan-jalan istana. Bunga-bunga yang sangat indah menghiasi kanan kiri jalan. Seperti petir yang memancarkan cahaya gemerlap melintasi awan gemawan, bangunan-bangunan yang tinggi menjulang memancarkan cahaya cemerlang menembus angkasa. Merayapi atap-atap rumah, ia mengagumi keindahan kota. Rumah-rumah para raksasa yang besar-besar, jalan-jalan, dan hiasan yang dipasang memancarkan keindahan yang memukau. Suara music yang mengalun indah terdengar disana- sini…..
è Ini merupakan penjelasan keindahan istana Rahwana yang sangat begitu menawan sehingga Hanoman yang melihatnya pun terpukau dengan keindahan istana Alengka.
2.      Kode sastra yang lain yaitu berupa latar atau plot yang menggambarkan bagaimana asal muasal Sungai Gangga, dengan gaya bahasa yang indah, yaitu:
Bagirata adalah seorang raja yang gagah berani. Ia tidak mempunyai putra. Untuk memohon keturunan dan supaya Dewi Gangga turun ke patala, ia pergi ke Gokarna untuk melakukan tapa brata. Ia tinggalkan urusan kerajaan kepada para menteri.
Bagirata menjalani tapa brata yang keras dan berat. Ia dikelilingi api dan kepala terpanggang panas matahari. Ia hanya makan sekali sebulan. Ia terus menjalani tapanya hingga namanya menjadi perlambang keteguhan hati untuk mencapai tujuan yang baik.
Batara Brahma berkenan pada laku tapa Bagirata. Ia pun menampakkan diri di hadapan Bagirat. “ Apa yang engkau inginkan?” Tanya Bataea Brahma.
Bagirata mengutarakan dua keinginan, “ Jika Paduka berbelas kasih kepadaku, berkatilah aku dengan seorang anak yang akan melanjutkan garis keturunan keluarga. Kedua, karena dikutuk Resi Kapila, leluhurku menjadi tumbukan abu di Patala. Jiwa mereka hanya akan mencapai nirwana dibasuh air Sungai Gangga. Semoga Paduka berkenan memerintahkan Gangga turun dari kahyangan.”
Batara Brahma pun menjawab, “Para dewa berkenan pada tapamu. Keinginanmu akan terkabul. Tapi, ada satu masalah, yakni bahwa bumi tidak akan sanggup menampung derasnya aliran Gangga. Karena itu, berdoa dan mohonlah perkenan Batara Syiwa. “
Bagirata memulai kembali laku tapa. Ia terus bertapa tanpa makan atau minum dan pada akhirnya mendapat perkenan Batara Syiwa. Batara Syiwa menampakkan diri dan berkata, “Kukabulkan permintaanmu. Aku akan menampung aliran Gangga dengan kepalaku. Semoga Gangga berbelas kasih kepadamu.”
Setelah sang Mahadewa itu berjanji memberikan bantuan kepada Bagirata, gangga bersiap untuk turun dari kahyangan seperti yang diperintahkan Batara Brahma. Karena kecongkaannya, Gangga mengira ia kan membanjiri dan menghanyutkan Mahadewa sampai ke Patala.
Dewa bermata tiga itu ingin member pelajaran kepada Gangga. Dan, karena kehendak Batara Syiwa, aliran air yang tumpah ke atas kepala dapat bertampung dengan mudah ke dalam tatakan mahkota. Gangga semakin menderakan air yang mengaliri kepala Mahadewa. Tapi, sederas apa pun usaha Gangga tak setetes air pun tertumpah dari mahkota Batara syiwa.
Pelan-pelan Bagirata biarkan aliran Gangga mengalir dari mahkotanya menjadi tujuh aliran sungai. Tiga mengalir ke timur dan tiga mengalir ke barat. Aliran yang ketujuh mengalir mengikuti Bagirata yang girang bukan kepalang karena penyucian jiwa leluhurnya akhirnya akan segera terwujud.
Aliran Gangga mengikuti kereta Bagirata; menari dan berkilauan seperti kilatan halilintan. Dari langit para dewa dan gandarwa menyaksikan pemandangan yang mengagumkan itu. Kadang Gangga mengalir pelan dan kadang cepat, menurun dan kemudian mendaki, seperti menari di belakang kereta bagirata. Para penghuni kahyangan tidak beranjak dari tempatnya terpikat keindahan peristiwa itu.
Dalam perjalanan menuju Patala, Gangga menerjang tempat tapa seorang resi yang bernama Jahnu. Karena marah Resi jahnu mengisap Gangga masuk ke dalam kepalan tangannya. Sekali lagi, Gangga menghilang dan Bagirata sangat kebingungan.
Para dewa dan resi membujuk Resi Jahnu supaya memaafkan Gangga dan membiarkan bagirata untuk menikmati buah kesabaran dan laku tapanya. Resi berbelah kasih dan membiarkan Gangga keluar melalui lubang kupingnya. Para dewa amat gembira dan memberkati Gangga. Mereka berkata, “Karena keluar dari tubuh Resi Jahnu, seperti seorang anak keluar dari rahim ibunya, maka sekarang engkau bernama Jahnawi, putri Resi Jahnu.”
Setelah itu, Gangga terus mengalir tanpa hambatan dan sampai di Patala melalui samudra. Dengan air suci, bagirata melaksanakan upacara pemakaman dan mengantar jiwa luluhur masuk ke nirwana.
Berkat kesabaran dan tapa brata Bagirata, gangga turun kembali ke bumi. Dari peristiwa tersebut, Sungai Gangga juga dikenal dengan nama Bhagirati.
Orang-orang yang membersihkan diri dengan air suci Sungai Gangga, membaca atau mendengarkan kisah ini didedah dengan penuh perhatian akan disucikan dari dosa dan diberkati dengan keluhuran budi, kekuatan dan api semangat yang tak akan pernah pudar.
è Dari cerita asal muasal ini, kita dapat mengambil kesimpulan, yaitu adanya kode sastra yang berupa penggambaran sebuah tempat yaitu Sungai gangga, bagaimana kisah ceritanya disajikan dengan bahasa-bahasa indah. Sungai Gangga, dikenal sebagai sungai yang suci, airnya mampu membersihkan jiwa.

d.      Kode Sastra yang lain yang ada pada bagian cerita Ramayana ini adalah berupa syair, syair ini biasanya didaraskan dalam pernikahan di India ketika pihak keluarga menyerahkan mempelai perempuan.
Iyam Seeta mama sutaa
sahadharmacharee tava
prateechchha chainaam bhadram te
paanim grihneeshwa paanimaa
pativrataa mahaabhaagaa
chhaayevaanugataa sadaa

e.       Kode sastra yang lain yaitu berupa sebuah ajaran yang dinyatakan dalam bahasa yang lain dari yang lain, seperti yang ditulis dalam bagian cerita Ramayana yaitu:
“Om Poornamadah Poornamidam Poornaat Poornamudachyate Poornasya Poornamaadaayaa Poornamevaavasishyate.”
Artinya: Apakah keseluruhan itu; inilah keseluruhan ityu; apa yang berasal dari keseluruhan juga merupakan keseluruhan. Ketika keseluruhan diambil dari keseluruhan, keseluruhan akan tetap tinggal sebagai keseluruhan.
Ajaran ini diberikan oleh Sruti (Weda, perwahyuan) kepada keempat putra Dasarata, agar mereka saling melengkapi dan saling menyayangi satu dengan yang lain.
3. KODE BUDAYA
1.      Suatu hari, pada awal musim panas, ia berpikir untuk mengadakan upacara persembahan kuda guna memohon dikaruniai seorang putra.
è kode budaya yang ada yaitu: upacara persembahan kuda.
Dasarata yang merupakan pemimpin kerajaan dari ibu kota Ayodya akan melakukan upacara persembahan kuda untuk bisa memiliki seorang putra. Upacara persembahan kuda ini merupakan sebuah kode sastra yang ada pada cerita ini. Upacara ini adalah sebuah nilai budaya yang sangat besar. Dijelaskan bahwa:
Ini adalah upacara yang sangat besar. Para tamu yang diundang antara lain adalah para raja dari kerajaan-kerajaan tetangga. Tidaklah mudah menyelenggarakan upacara besar ini. Lokasi dan pendirian tempat korban harus dipersiapkan dengan sangat rinci sesuai tradisi yang berlaku. Ada ahli khusus yang mengarahkan penataan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam upacara. Acara itu membutuhkan pendirian kemah-kemah besar yang dapat menampung, menjamu, dan menghibur puluhan ribu tamu, termasuk di dalamnya para pangeran dan resi dari daerah sekitar. Pendek kata, upacara persembahan kuda pada zaman itu dapat kita samakan dengan konferensi atau ekshibisi berskala besar yang disponsori negara.

2.      Sambil mengucapkan terima kasih kepada sang resi, Raja Wismamitra berkata, “Engkau harus menyerahkan lembu ini kepadaku karena lembu semacam ini akan lebih bermanfaat jika menjadi milikku. Kemakmuran dan kesaktian semacam ini seharusnya menjadi milih seorang raja.”
è Dari penggalan cerita ini, kode budaya yang dapat kita ambil adalah bahwa dari dulu kala, seorang raja selalu ingin berkuasa, walau dengan merampas hak orang lain. Lembu yang dijelaskan pada penggalan cerita tersebut adalah sebenarnya milik Wasista, Lembu bernama Sabala ini adalah sumber segala kebutuhan tiada habis-habisnya. Maka saat Wismamitra disuguhi jamuan yang beraneka ragam oleh Wasista, dia terheran-heran , dan menanyakan apa yang membuatnya kaya seperti itu. Namun, di dalam cerita ini dijelaskan bahwa, Wasista bersikukuh untuk tidak mau memberikan lembu itu kepada Raja Wismamitra, dengan segala cara Wismamitra merebut lembu tersebut, namun akhirnya dia dikalahkan oleh Wasista. Kode budaya yang ada yaitu: seorang raja selalu ingin berkuasa. Jika kita sinkronkan dengan keadaan sekarang, maka tentunya masih ada. Selalu saja, orang yang di atas adalah orang yang paling berkuasa. Dan rakyatlah yang akhirnya menjadi korbannya.

3.      Bertapa , missal dalam penggalan:
a.       Wismamitra sendiri pergi ke Pegunungan Himalaya untuk bertapa. Ia memohon kepada Batara Syiwa supaya dianugerahi kesaktian untuk mengalahkan Resi Wasista.
è Kode budaya lain yang muncul dalam cerita ini adalah budaya bertapa. Tapa merupakan salah satu kegiatan untuk bisa mendapatkan sebuah kesaktian, tapa merupakan sebuah laku prihatin agar bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Dijelaskan disini, karena kegigihan dari Wismamitra dalam menjalani tapa brata dengan keras dan tekun, akhirnya Batara Syiwa berkenan menampakkan diri dan mengabulkan permintaan Wismamitra yaitu memberkan semua senjata yang dimiliki para dewa, gandarwa, resi, yaksa, dan iblis.  Tapa brata juga dilakukan Wismamitra untuk mendapatkan gelar menjadi brahmaresi. Kalau kita sinkronkan dengan keadaan sekarang bertapa adalah suatu bentuk prihatin kita. Contohnya saja, para kyai yang ingin menambah ilmu atau kekuatannya, ia harus melakukan ritual-ritual tertentu.

4.      “Aku akan persiapkan upacara korban yang memungkinkanmu naik ke surga bersama dengan tubuhmu ini…”
è Penggalan kata-kata Wismamitra ini mengandung kode budaya, yaitu upacara korban yang dilakukan untuk mengembalikan Raja Trisanku naik ke surga dan bebas dari kutukan. Dijelaskan di dalam cerita ini, upacara yang dilakukan gagal. Akhirnya, Wismamitra mengambil sesendok besar dupa dan melemparkannya ke dalam api. Katanya, “Yang Mulia Trisanku, lihatlah kekuatan yogaku. Aku akan berikan semua kebaikan yang telah aku lakukan untukmu. Jika tapa brataku memang punya kekuatan, engkau akan terangkat ke surga bersama jasadmu. Aku tidak peduli jika para dewa tidak berkenan menerima korban persembahanku. Yang Mulia Trisanku, naiklah ke surga!”. Dan akhirnya Raja Trisanku terangkat ke surga. Kalau kita sinkronkan dengan keadaan sekarang, upacara korban merupakan suatu acara untuk menyempurnakan jasad ruh, dalam hal ini mungkin dengan melakukan pemakaman.

5.      Karena ingin melaksanakan upacara korban persembahan, Janaka mempersiapkan lahan yang akan menjadi tempat upacara. Sebagaimana adat kebiasaan, ia mencangkul sendiri tempat itu.
è Kode budaya yang ada yaitu : Upacara korban persembahan yang dilakukan Janaka untuk meminta keturunan. Pada saat ia membersihkan lahan dan meratakannya, Janaka melihat bayi nan elok di sela-sela belukar. Akhirnya, bayi itu diangkat menjadi anaknya, dan diberi nama Sinta. Upacara korban persembahan jika kita sinkronkan dengan masa sekarang, kira-kira berupa suatu hajatan atau ritual doa bersama untuk meminta sesuatu kepada Allah.

6.      Tempat-tempat keramat, seperti penggalan :
Memang sungai atau perbukitan, pepohonan atau awan-agemawan, juga objek keindahan apa pun bisa membangkitkan perenungan tentang Ada Tertinggi dan perasaan hormat yang mendalam kepada-Nya. Secara khusus, tempat-tempat yang dikeramatkan-seperti sungai, candi, atau gambar yang dikeramatkan – yang selama bergenerasi menjadi objek pemujaan atau kebaktian, memiliki dalam derajat tertentu kekuatan seperti itu. Berkat pikiran-pikiran suci yang diarahkan dan diserapnya seperti kain yang menyerap aroma pewangi, objek-objek semacam itu jadi memiliki kekuatan yang mengingatkan pada sang Ada Tertinggi.
è Penggalan cerita ini terdapat kode budaya yaitu mempercayai adanya tempat-tempat keramat. Pada masa sekarang, kita pun juga masih percaya dan sering mendengarkan adanya tempat-tempat yang dikeramatkan. Seperti berupa tempat pemandian, pohon besar,dll.

7.      “Ketika kalian pergi berburu dan meninggalkannya sendirian, aku akan menjaga Sinta.”
è Kode budaya yang terkandung dalam penggalan cerita ini adalah berburu. Kemungkinan besar, tradisi berburu sudah menjadi budaya bagi para raja, dan masyarakat lainnya. Budaya berburu pada masa sekarang kemungkinan besar seperti berkelana sebagai seorang musafir atau bisa saja kita samakan dengan pergi kesuatu tempat untuk mencari nafkah untuk anak dan istri.

8.      “Putriku Sinta hanya akan menikah, dengan pangeran yang mampu mengangkat, merentangkan, dan melepaskan busur Syiwa pemberian Batara Baruna.”
è Penggalan kata-kata Raja Janaka itu terdapat kode budaya yaitu, Raja Janaka melakukan sayembara untuk mendapatkan Sinta. Karena beliau tidak rela jika Sinta dipersunting oleh sembarang orang. Siapa saja yang mampu mengangkat, merentangkan, dan melepaskan busur Syiwa dialah pemenangnya. Disini dapat kita ambil kesimpulan bahwa, pada jaman dahulu budaya seperti sayembara untuk memperebutkan sesuatu masih digunakan. Jika kita sinkronkan dengan sekarang. Budaya sayembara ini digantikan dengan kompetisi untuk mendapatkan sesuatu, seperti pekerjaan, dll.

9.      Di sungai suci itu, mereka membersihkan diri dan resi melaksanakan upacara penyucian diri. Kemudian, para resi menata pertapaan dan mempersiapkan upacara puja. Setelah itu, mereka mempersiapkan makan. Seusai makan, mereka duduk mengelilingi Wismamitra. Atas permintaan kedua pangeran, ia menceritakan sejarah sungai Gangga.
è Dapat kita tarik kesimpulan bahwa kode budaya yang ada pada penggalan cerita ini yaitu budaya pembersihan diri untuk melakukan tapa brata. Kalau kita samakan dengan jaman sekarang seperti melakukan wudhu sebelum solat. Budaya ini tentunya sangat begitu jelas dikalangan orang islam. Dengan berwudhu berarti kita menyucikan diri dari adanya hadas kecil didalam tubuh kita. Sebelum menyembah Allah sudah semestinya harus suci.

10.  Rama dan Lesmana bersujud menyentuh kaki istri Resi Gautama yang telah menjadi suci lagi berkat laku tapa berat. Ahalya menyambut kedua pangeran itu sesuai keramahtamahan yang diminta adat kebiasaan. Hujan bunga turun dari kahyangan ketika Ahalya menebarkan cahaya memukau seperti layaknya seorang dewi; tidak berapa lama, Resi Gautama kembali ke asrama. Ia kembangkan tangan untuk menerima kembali istrinya yang telah menjalani laku pertaubatan dan penyucian diri ke dalam haribaan kasih dan sayang suami istri.
è Pada bagian ini terdapat kode budaya yaitu:
a.       Ahalya menyambut kedua pangeran sesuai keramahtamahan yang diminta adat kebiasaan. Hal ini beraarti menunjukkan adanya kode budaya. Karena adat kebiasaan yang masih dilakukan merupakan bagian dari kebudayaan. Kalau kita sinkronkan dengan budaya kita, seperti budaya orang Jawa yang apabila di datangi oleh seseorang, dia akan menyambut dengan ramah, dengan berbagai hidangan,dll.
b.      Pada bagian lain juga masih ada kode budaya yaitu: penyucian diri.
Penyucian diri dianggap sebagai kode budaya karena, jika kita sinkronkan dengan ajaran agama islam seperti mandi junub. Penyucian ini dilakukan oleh Ahalya yang dianggap telah berselingkuh dari suaminya yaitu Gautama.

11.  Dasarata dan rombongan tiba di Mithila. Mereka disambut dengan suka cita. Setelah saling menyampaikan salam dan menanyakan kabar, Janaka berkata kepada Dasarata, “Upacara korbanku akan segera selesai. Sebaiknya kita selenggarakan pernikahan setelah upacara korban, dan mohon perkenanmu, Raja Dasarata.”
“Paduka adalah ayah mempelai perempuan dan Padukalah yang berhak mengatur upacara pernikahan.”
Pada jam dan hari yang telah ditetapkan, Raja Janaka menyerahkan mempelai perempuan, “Inilah putriku, Sinta. Ia akan menyertaimu di jalan dharma. Sambutlah tangannya, ia adalah perempuan terberkati dan setia. Seperti layaknya bayangan, ia akan selalu menemanimu:
Iyam Seeta mama sutaa
sahadharmacharee tava
prateechchha chainaam bhadram te
paanim grihneeshwa paanimaa
pativrataa mahaabhaagaa
chhaayevaanugataa sadaa
syair ini biasanya didaraskan dalam pernikahan di India ketika pihak keluarga menyerahkan mempelai perempuan.
è Kode budaya yaitu : upacara korban (upacara untuk pernikahan ) dan syair yang dibacakan pada saat pernikahan.
è Kalau kita sinkronkan dengan masa sekarang seperti tradisi kita yaitu saat acara ijab kobul.

12.  Satu-satunya keinginanku sekarang adalah menobatkanmu di singgasana moyangku. Kemarin malam, aku bermimpi buruk. Para penafsir mimpi mengatakan kedukaan besar, bahkan mungkin kematian, barangkali akan menimpaku. Karena itu, aku ingin upacacara penobatan dilaksanakan besok. Kata ahli perbintangan, besok adalah hari yang baik. Hatiku berkata, “Segera laksanakan upacara penobatan.” Malam ini, engkau dan Dewi Sinta harus berpuasa untuk persiapan upacara. Tidurlah di tempat tidur yang beralas rumput darbha dan mintalah para sahabat terpercaya untuk menjagamu.
è Kode budaya yang ditunjukkan disini adalah:
a.       Percaya pada ahli perbintangan untuk memilih hari yang baik dalam melaksanakan upacara penobatan. Jika kita sinkronkan dengan keadaan saat ini, masih berlaku, orang-orang saat ini, kadang pergi kepada Kyai untuk memilih hari pernikahan, atau melakukan hal-hal lain yang dianggap penting. Ini mempunyai nilai budaya yang saat ini masih sangat kental dimasyarakat kita.
b.      Upacara penobatan. Upacara penobatan menunjukkan kode budaya. Jika kita sinkronkan dengan masa sekarang yaitu syukuran karena kenaikan pangkat atau yang lain. Adat istiadat ini masih sangat kental dilakukan pada masyarakat kita.
c.       Puasa untuk persiapan upacara. Tradisi ini merupakan sebuah kode budaya, jika kita bandingkan dengan masa sekarang, tradisi puasa untuk persiapan upacara seperti layaknya kita melakukan tirakat dulu dengan puasa ketika akan mengadakan hajatan besar atau ketika kita meminta sesuatu. Tirakat ini tujuannya agar semua yang kita inginkan bisa berjalan dengan lancar dan hasilnya pun juga akan maksimal.

13.  Ketika kembali ke istana, Wasista melihat orang-orang berkumpul di jalan menuju istana. Dengan hati gembira, mereka membicarakan upacara agung yang akan dilangsungkan besok. Orang-orang sibuk menghias rumah dengan bunga-bunga, rangkaian kembang, dan umbul-umbul. Karena jalan-jalan ramai, Resi Wasista harus bersusah payah supaya bisa masuk ke istana raja.
Pada hari Raja Dasarata mengundang pertemuan agung para tertua serta pemuka kerajaan dan mengangkat Rama menjadi Yuwaraja, Mantara naik ke teras keputren dan dari atas melihat-lihat kota. Ia melihat orang-orang membersihkan dan menghias jalan-jalan. Umbul-umbul aneka warna terpasang di atap-atap rumah. Orang-orang mengenakan pakaian baru dan perhiasan yang gemerlap. Mereka bersolek dan mempercantik diri dengan bunga-bunga. Mereka tampak mondar-mandir di antara kerumunan, asyik membicarakan sesuatu yang tampaknya menggembirakan. Suara tabuhan gamelan terdengar di kuil-kuil.
è Kode budaya yang ada pada penggalan cerita ini melukiskan bahwa untuk melakukan upacara penobatan. Orang-orang menghias diri dan menghias jalan-jalan dengan berbagai pernak-pernik. Kalau kita sinkronkan dengan keadaan kita, adat istiadat atau tata cara seperti ini masih ada dimasyarakat kita. Seperti ketika kita ingin masuk pada bulan agustus. Kita sering menyibukkan diri untuk menghias kampung-kampung kita dengan berbagai hiasan. Bulan agustus kita anggap sebagai hari yang bersejarah untuk bangsa kita. Masyarakat sangat gembira menyambut bulan ini. Atau jika kita sinkronkan dengan yang lain, seperti saat acara pernikahan atau pada acara-acara seperti syukuran, kita selalu disibukkan dengan mendekor, memasang hiasan-hiasan. Dan kita juga selalu memakai pakaian khusus saat pergi pada acara-acara seperti ini.

14.  Menurutku tidak semestinya kalian semua memintaku untuk naik tahta. Menurut tradisi istana kita, anak tertualah yang berhak naik tahta. Dengan segala hormat kepada kalian semua, aku putuskan untuk pergi ke hutan dan menjemput Kanda Rama kembali ke Ayodya, bersama dengan Kanda Lesmana dan Dewi Sinta……”
è Pada penggalan cerita ini terdapat kode budaya yaitu ditunjukkan pada : Menurut tradisi istana kita, anak tertualah yang berhak naik tahta.
Dari sini bisa kita ambil kesimpulan bahwa: nilai budaya yang masih melekat pada kerajaan atau adat istiadat yang masih dijunjung tinggi disana adalah anak tertua yang mempunyai hak naik tahta (menjadi raja). Disini diceritakan bahwa Bharata tidak mau mengambil kekuasaan yang seharusnya menjadi milik kakaknya yaitu Rama.

15.  Para pejabat istana dan tetua susah payah melepaskan pelukan Dewi Kausalya dan membawanya pergi menjauh. Kemudian, mereka membicarakan upacara pemakaman. Mereka tidak bisa segera melaksanakan upacara karena Rama dan Lesmana telah pergi ke hutan serta Bharata dan Sutruguna berada jauh di kediaman paman mereka. Mereka putuskan untuk menjemput Bharata dan mengawetkan jenazah sementara seraya menunggu kedatangan Bharata.
è Kode budaya yang ada yaitu : upacara pemakaman. Upacara pemakaman harus ada salah satu wakil dari anak Raja. jika kita sinkronkan dengan keadaan sekarang tentunya masih ada acara pemakaman jenazah.

16.  Suatu pagi pada awal musim dingin, seperti biasa mereka bertiga pergi ke Sungai Godawari untuk mandi dan melakukan persembahyangan pagi, serta tentu saja, mengambil air untuk kebutuhan sehari-hari. Sambil berjalan, mereka berbincang tentang keindahan pagi. Pikiran Lesmana melayang kepada Bharata dan bagaimana ia mempersiapkan upacara persembahyangan untuk musim dingin.
è Kode budaya yang ada pada bagian cerita ini adalah:
a.      Persembahyangan pagi yang dilakukan oleh Rama, Sinta, dan Lesmana. Persembahyangan pagi merupakan salah satu budaya yang ada dalam cerita ini. Dalam, bagian lain juga disebutkan bahwa Rama memberikan pesan kepada Sinta saat ia akan pergi ke hutan selama 14 tahun agar Sinta tidak melupakan sembahyang dan tapa brata, yaitu pada penggalan:
Putriku, Dewiku, aku bisa bayangkan betapa sedih hatimu berpisah dariku dan tetap tinggal di sini. Putri Raja Janaka, tanpa bimbinganku kau bisa jalankan tugas-tugasmu. Bahagiakan raja dan ketiga permaisuri – ibu-ibumu. Jangan mengharap perlakuan yang lebih baik daripada yang diterima putri-putri lain di istana. Hormatilah Bharata yang akan jadi raja dan jangan sampai menyinggung perasaannya. Aku percaya, selama aku pergi, cintamu untukku tidak akan berkurang sedikit pun. Jangan lupakan sembahyang dan tapa brata. …….”
è Dari sini maka dapat kita ambil sebuah kode budaya yaitu melakukan sembahyang dan tapa brata. Jika kita sinkronkan dengan keadaan sekarang, kemungkinan budaya ini adalah seperti halnya, solat dan berdoa kepada Allah.
b.      Upacara persembahyangan untuk musim dingin juga merupakan salah satu budaya pada masyarakat India yang diceritakan melalui kisah ini. Upacara ini mungkin merupakan upacara untuk menyambut datangnya musim dingin.

17.  Sambil melempar dupa ke dalam api, kedua pangeran mendaraskan doa-doa suci untuk jiwa jatayu. “Wahai Raja Burung, semoga engkau beroleh buah-buah kebahagiaan dari orang-orang yang melaksanakan upacara korban besar. Semoga engkau menikmati kebahagiaan Wanaprasta dari orang-orang yang menjalani tapa brata yang berat. Semoga engkau beroleh kebahagiaan dari orang-orang yang memberikan sumbangan besar bagi tanah air. Semoga engkau menikmati kebahagiaan dari orang-orang yang bertarung dengan gagah berani di medan laga. Semoga engkau beroleh kebahagiaan yang dirasakan orang-orang yang berbudi luhur. Setelah melaksanakan upacara korban, Rama lebih tenang dan tabah.
è Kode budaya yang ada pada bagian ini adalah upacara korban besar untuk pemakaman Jatayu. Pada bagian ini, merupakan kode budaya yang berkembang pada tradisi di India.

18.  Kode budaya yang lain yaitu adanya misteri inkarnasi. Pribadi inkarnasi selalu memanggul debu dan air mata tubuh yang didiami dan menderita serta bersedih hati seperti manusia pada umumnya. Kemunduran kesehatan dan ratapan duka Rama bisa dibandingkan dengan perilaku pribadi inkarnasi yang dihormati umat beriman lainnya.

19.  Hanoman segera kumpulkan kayu bakar dan membuat api. Sambil berjalan mengelilingi api unggun, Rama dan Sugriwa mengucapkan sumpah persahabatan: “Marilah saling berbagi suka dan duka.” Mereka bersumpah, “Semoga persahabatan ini abadi.”

è Kode budaya yang ada adalah sumpah persahabatan yang dilakukan dengan mengelilingi api unggun. Jika kita sinkronkan dengan sekarang, mungkin untuk membina sebuah tali persahabatan, kita simbolkan dengan berjabat tangan, atau menyatukan kelingking, atau dengan sebuah benda, seperti gelang,dll.

20.   Sementara Sugriwa dan Rama berbincang, di taman Asoka nun jauh di sana, kelopak mata kiri Sinta berkedut. Bagi kaum perempuan, kedutan ini merupakan pertanda baik. Pada saat yang sama, kelopak mata kiri raja raksasa juga kedutan. Itu pertanda buruk.
è Dari sini maka dapat kita ambil sebuah nilai budaya yang berupa kepercayaan, yaitu sebuah kedutan mata. Jika kita sinkronkan dengan masyarakat Jawa, kejadian-kejadian serta kepercayaan seperti ini masih melekat pada masyarakat Jawa. Sebagai contoh: jika mata kiri berkedut maka tandanya ada orang yang sedang kangen kepada kita. Atau bisa juga kita samakan dengan, jika telinga sebelah kanan memerah dan panas, maka ada seseorang yang sedang membicarakan kebaikannya. Namun, jika telinga sebelah kiri yang panas dan memerah berarti ada seseorang yang sedang membicarakan kejelekannya.

21.  Paling kurang, setahun sekali, orang-orang yang menjalani tradisi kuno mendaraskan doa: kaamokaarsheet manyurakaarsheet (nafsu membujukku ke dalam dosa, amarah mengundangku ke dalam dosa). Dengan mengucapkan doa tersebut berulang-ulang dan rasa sesal yang dalam, mereka berharap bisa membersihkan hati dari dosa. Itulah praktik yang harus diikuti semua orang, menyesal dan memurnikan hati kembali, dan memasrahkannya kepada Yang Ilahi, kaamokaarsheet manyurakaarsheet, Naaraayanaayanamah.
è Bagian yang di cetak tebal tersebut merupakan salah satu kode budaya yang ada dalam cerita Ramayana, jika kita sinkronkan dengan keadaan sekarang mungkin dapat di samakan dengan ajaran yang ada dalam agama islam, yaitu pada malam Nifsu Sya’ban, saat semua amal kita selama setahun akan dilaporkan kepada Allah, kaum muslimin dan muslimat, melaksanakan solat taubat untuk membersihkan dosa-dosanya, serta membaca surat Yasin 3x.

22.  Rama
Tokoh rama disini digambarkan sebagai sosok ksatria tangguh, yang baik hati dan  berhati mulia, tampan, rajin serta pandai. Nama Rama pada jaman sekarang digunakan oleh masyarakat kita untuk memberi nama pada anak-anaknya. Kemungkinan, dengan memberikan nama Rama, anak tersebut dapat mempunyai watak seperti Rama pada tokoh Ramayana. Ini lah yang menjadi salah satu kode budaya yang sampai sekarang masih ada.

23.  Sinta
Dewi Sinta digambarkan sebagai sosok wanita yang sangat cantik, bahkan kecantikannya tak tertandingi. Dia adalah sosok yang setia dan baik hati. Kode budaya yang ada dari penggambaran sosok Sinta adalah nama Sinta yang dipakai untuk nama-nama orang. Jika kita analisis, banyak sekali orang-orang yang menamai anak-anaknya Sinta. Mungkin, harapan orang tua, dengan memberikan nama Sinta, kelak anaknya bisa menjadi sosok wanita yang tangguh, cantik, baik hati, dan setia layaknya sosok Sinta dalam Ramayana.
24.  Pada kisah Ramayana ini diceritakan bahwa, Subali menitipkan Anggada dan istrinya Tara kepada Sugriwa. Pada cerita ini, zaman dahulu, ketika saudara tua mati dan meninggalkan seorang istri, tradisi istana dan keluarga ningrat mensyaratkan saudara muda untuk mengambil sang janda sebagai istri dan melindunginya.
Yaitu pada bagian:
“Subali, yang kembali sadar, membuka mata untuk terakhir kalinya. Katanya kepada Sugriwa, “Saudaraku, semestinya kita berdua bisa menjalin persahabatan dan memimpin kerajaan ini dengan damai; tapi semua itu tak terjadi karena kita kurang bijaksana dan kurang puas dengan keadaan kita. Bukan kau, tapi akulah yang bersalah. Lantas, mengapa bicara soal itu kini? Mulai sekarang, kau akan pimpin kerajaan ini. Kutitipkan Anggada, putraku, yang kami – aku dan Tara – sayangi lebih daripada hidup kami sendiri. Ia adalah prajurit yang kesaktiaanya setara denganmu. Anggaplah ia seperti anak sendiri. Didiklah dia dengan kebaikan. Hanya itu yang kuminta darimu. Bersikaplah baik kepada Tara. Ia tidak hanya istri yang tanpa cela dan penuh kasih, tapi juga penasihat yang berpandangan jauh ke depan dan sangat bijak. Apa pun yang ia ramalkan akan terjadi. Jangan abaikan nasihatnya dalam hal apa pun. Ini, ambillah medali pemberian Batara Indra………..”
è Dari tradisi ini maka kita dapat mengambil kode budaya, yaitu ketika saudara tua mati dan meninggalkan seorang istri, tradisi istana dan keluarga ningrat mensyaratkan saudara muda untuk mengambil sang janda sebagai istri dan melindunginya.
è jika kita sinkronkan dengan keadaan sekarang mungkin, bisa saja kita sinkronkan dengan, jika seseorang meninggalkan anak dan istrinya, sudah barang tentu dan menjadi kewajiban saudara yang masih hidup untuk melindungi istri dan anak dari saudara yang meninggal. Namun, jika kita sinkronkan dengan pemerintahan atau kekuasaan, missal seorang walikota meninggal, maka wakilnya akan menggantikan kedudukannya menjadi walikota.


0 komentar:

Posting Komentar

Ajining Diri Saka Budi Pekerti lan Kendhaling Lathi

Selasa, 10 Desember 2013

Analisis Teori Sastra

A.        Ramayana
Ramayana dari bahasa Sansekerta (रामायण) Rāmâyaṇa yang berasal dari kata Rāma dan Ayaṇa  yang berarti "Perjalanan Rama", adalah sebuah cerita epos dari India yang digubah oleh Walmiki (Valmiki) atau Balmiki. Cerita epos lainnya adalah Mahabharata. Ramayana terdapat pula dalam khazanah sastra Jawa dalam bentuk kakawin Ramayana, dan gubahan-gubahannya dalam bahasa Jawa Baru yang tidak semua berdasarkan kakawin ini. Dalam bahasa Melayu didapati pula Hikayat Seri Rama yang isinya berbeda dengan kakawin Ramayana dalam bahasa Jawa kuna. Di India dalam bahasa Sansekerta, Ramayana dibagi menjadi tujuh kitab.
Dalam buku Ramayana karangan C. Rajagopalachari ini dikisahkan secara runtut perjalanan Rama dan Sinta. Disini, cerita dikemas dengan bahasa yang indah dan mudah dimengerti, sehingga pembaca akan lebih mudah dan akan dibawa kedunia imajinasi.
B.        Ringkasan Cerita Ramayana
Raja Dasarata memimpin kerajaan dari ibu kota Ayodya. Ia tegakkan nilai-nilai yang diajarkan para dewa. Kemasyhurannya tersebar di ketiga  dunia. Ia setara dengan Batara Indra dan Kubera. Dasarata mempunyai tiga istri, yaitu Kaekayi, Sumitra, dan Kausalya. Namun, sampai saat ini Dasarata belum mempunyai putera. Maka, untuk mendapatkan seorang putra, Dasarata melakukan upacara persembahan kuda. Dasarata diberikan minuman para dewa, lalu ketiga akhirnya mengandung. Seiring berjalannya waktu, putra-putra Dasarata lahir. Dewi Kausalya melahirkan Rama. Kaekayi melahirkan Bharata. Sumitra melahirkan putra kembar, Lesmana dan Satruguna.
Suatu ketika, Wismamitra datang ke Ayodya untuk meminta kepada Dasarata agar kedua anaknya Rama dan Lesmana ikut membantunya untuk menumpas dua raksasa perkasa yaitu Maricha dan Subahu. Dengan perdebatan sengit akhirnya Dasarata memberikan izin kepada Rama dan Lesmana untuk pergi bersama Wismamitra.Dalam kisah perjalanannya, akhirnya Rama dan Lesmana dapat membunuh raksasa-raksasa jahat.
Di sebuah negeri bernama Mantili ada seorang putri nan cantik jelita bernama Dewi Sinta. Dia seorang putri raja negeri Mantili yaitu Prabu Janaka. Suatu hari sang Prabu mengadakan sayembara untuk mendapatkan sang Pangeran bagi puteri tercintanya yaitu Sinta, dan akhirnya sayembara itu dimenangkan oleh Putera Mahkota Kerajaan Ayodya, yang bernama Raden Rama Wijaya. Ketika Rama akan dinobatkan menjadi Raja kerajaan Ayodya oleh ayahandanya bernama Dasarata, ibunya Kaekayi tidak menyetujuinya. Kaekayi dihasut oleh Mantara agar anaknya Bharata yang menjadi raja. Kaekayi meminta kepada Dasarata untuk mengasingkan Rama selama 14 tahun di hutan. Mendengar permohonan permaisurinya itu Dasarata sangat kaget dan tidak menerima kenyataan ini. Dia, teringat dulu dia pernah membunuh seorang anak yang tak berdosa, kedua orang tuanya tidak terima dan menyumpahi Dasarata, bahwa suatu saat nanti dia juga akan merasakan apa yang mereka rasakan, Dasarata akan kehilangan anak yang paling dia cintai.
Akhirnya, Rama, Sinta, dan Lesmana memenuhi permintaan ibu tirinya yaitu kaekayi untuk mengasingkan diri di hutan. Kepergian Rama, Lesmana dan Sinta membuat Dasarata merasakan kesengsaraan yang begitu dalam. Karena sayangnya dengan Rama, dan dia tidak dapat menerima kenyataan pahit ini, akhirnya Dasarata meninggal dunia.
Bharata, anak Kaekayi dinobatkan sebagai pengganti Dasarata. Namun, dalam kisah ini, diceritakan bahwa sebenarnya Bharata tidak mau menerima kedudukan sebagai Raja. Bharata sadar bahwa Rama lah yang berhak atas kedudukan itu. Bharata akhirnya mencari Rama dan membujuknya untuk kembali ke Ayodya, namun, Rama tidak mau, dan memberikan amanah raja kepada Bharata.
Pada awal musim dingin,di asrama kediamannya, Rama, Sinta, dan Lesmana bertemu dengan Surpanaka. Surpanaka adalah seorang raksasa yang merupakan saudara perempuan Rahwana. Saat itu Sarpakenaka tertarik dengan ketampanan Rama, dan dia menggodanya, namun Rama tetap setia dengan Sinta. Lalu, Surpanaka menggoda Lesmana, yaitu adik Rama, namun hidung Surpanaka justru dipotong Lesmana. Karena tidak terima,Surpanaka mengadu kepada Rahwana yaitu kakaknya. Nafsu angkara yang membakar hati Surpanaka adalah membalas dendam dengan mempermalukan Sinta. Untuk memancing Rahwana, ia gambarkan Sinta dengan cara sedemikian rupa sehingga kakaknya itu terpikat dan terbakar nafsu untuk memiliki. Rahwana meminta bantuan Maricha untuk dapat mendapatkan Sinta. Rahwana menculik Sinta untuk dibawa ke istananya dan dijadikan istri, dengan siasatnya Rahwana mengubah seorang hambanya bernama Maricha menjadi seekor kijang kencana. Dengan tujuan memancing Rama pergi memburu kijang ‘jadi-jadian' itu, karena Sinta menginginkannya. Dan memang benar setelah melihat keelokan kijang tersebut, Sinta meminta Rama untuk menangkapnya. Karena permintaan sang istri tercinta maka Rama berusaha mengejar kijang seorang diri sedang Shinta dan Lesmana menunggui.
Setelah cukup lama ditinggal berburu, Sinta mulai mencemaskan Rama, saat itu ada terdengar suara teriakan Rama. “Aduh, aduh! Oh, Sinta, Oh Lesmana!” demikianlah seru Maricha menirukan suara Rama. Karena khawatir, akhirnya Sinta meminta Lesmana untuk mencari Rama. Sebenarnya Lesmana tau, bahwa itu adalah suara tipuan raksasa, namun karena Sinta terus mendesaknya akhirnya Lesmana pergi mencari kakanya. Lesmana mengikuti jalan-jalan yang dilalui Rama. Rahwana yang telah menantikan kesempatan itu kemudian mendekati asrama Rama. Ia menyaru menjadi petapa yang mengenakan pakaian kuning jingga bersih. Bibirnya berkomat-kamit mengucapkan syair-syair Weda. Sementara itu, jauh di lubuk hati ia tetap Raksasa yang berhati segelap malam. Seperti yang diperintahkan tradisi, ketika melihat pertapa berpakaian kuning jingga dan membawa tempat minum, Sinta segera mengucapkan salam hormat. Sinta mempersilahkan duduk dan menghidangkan buah-buahan dan umbi-umbian. Akhirnya setelah bercakap-cakap, dengan satu tangan, Rahwana jambak rambut Sinta dan dengan tangan yang lain memondong dan menaikkan Sinta ke atas kereta yang sudah menunggu di balik pohon. Saat dalam perjalanan pulang itu terjadi pertempuran dengan seekor burung tua yang bernama Jatayu yang hendak menolong Sinta. Jatayu dapat mengenali Sinta sebagai puteri dari Janaka yang merupakan teman baiknya, namun dalam pertempuan itu Jatayu dapat dikalahkan Rahwana.
Disaat yang sama Rama terus memburu kijang kencana dan akhirnya Rama berhasil memanahnya, namun kijang itu berubah kembali menjadi raksasa. Dalam wujud sebenarnya Maricha mengadakan perlawanan pada Rama sehingga terjadilah pertempuran antar keduanya, dan pada akhirnya Rama berhasil memanah si raksasa. Pada saat yang bersamaan Lesmana berhasil menemukan Rama dan mereka berdua kembali ke tempat semula dimana Sinta ditinggal sendirian, namun sesampainya Shinta tidak ditemukan. Selanjutnya mereka berdua berusaha mencarinya dan bertemu Jatayu yang luka parah, Dari keterangan Jatayu mereka mengetahui bahwa Sinta diculik oleh Rahwana. Setelah menceritakan semuanya akhirnya si burung garuda ini meninggal.
Dalam pencariannya untuk menemukan Sinta. Ketika masuk hutan, kedua pangeran itu tiba-tiba bertemu dengan raksasa yang sangat besar. Raksasa itu bernama Kabanda. Rama dan Lesmana menebas tangan raksasa itu. Setelah kedua tangannya dibuntungi, raksasa itu tidak berdaya dan mulai bercerita:
“Karena perbuatan-perbuatan jahatku, aku dikutuk Batara Indra untuk menjalani hidup dengan wujud dan nama ini. Aku yakin kalian adalah Rama dan Lesmana. Batara Indra berjanji akan melepaskanku dari kutukan ini setelah berjumpa denganmu dan setelah kedua tanganku kalian buntungi. Sekarang bakarlah tubuhku dengan api.” Akhirnya, Rama dan Lesmana membakarnya. Sebelum pergi, Kabanda berkata kepada Rama, “Kau akan dapatkan Sinta kembali. Pergilah ke pinggir Sungai Pampa yang permai. Mintalah bantuan kepada Sugriwa yang tinggal di Bukit Risyamuka. Setelah diusir dari kerajaan oleh saudaranya, Subali, ia hidup dicekam ketakutan dan bahaya. Jalinlah persahabatan dengannya dank au akan berhasil mencapai tujuanmu. Kemudian, Rama dan Lesmana berangkat menuju Pampa. Di tempat yang permai itu, mereka mengunjungi asrama sanyasini tua, sabari. Pertemuan denagn perempuan suci dan air Sungai pampa itu memberikan kekuatan batin bagi kedua pangeran.
Sugriwa adalah pangeran wanara yang melarikan diri. Bersama dengan para pengikut setianya, dengan was-was ia mengamati Rama dan lesmana yang masuk ke hutan. Ia takut, para kestaria yang memihak Subali datang untuk membunuhnya. Hanoman adalah menteri utama Sugriwa. Dengan menyamar sebagai seorang Brahmana, Hanoman mendekati Rama dan Lesmana. Stelah berbincang-bincang dan menjelaskan maksud kedatangannya, akhirnya mereka sepakat untuk menjadi sahabat sejati. Rama dan Lesmana akan membantu sugriwa membunuh subali, dan Sugriwa akan membantunya mendapatkan Sinta. Singkat cerita, akhirnya Subali berhasil dibunuh oleh Rama. Namun, sebelum menghembuskan nafas terakhir, Subali menitipkan Anggada anaknya, kerajaannya, dan Tara istinya.
Dari sampati, para wanara tahu Sinta ditawan di tanah bangsa raksasa, seratus yojana melintasi samudra. Wanara menyampaikan pada hanoman, bahwa hanya dia yang dapat membantu Rama. Akhirnya, hanoman pergi ke Alengka. Dia menyamar sebagai kera kecil. Betapa terpesonanya dia ketika melihat kerajaan Alengka.
Taman Argasoka adalah taman kerajaan Alengka tempat dimana Sinta menghabiskan hari-hari penantiannya dijemput kembali oleh sang suami. Karena sudah beberapa kali Rahwana meminta dan ‘memaksa' Sinta menjadi istrinya tetapi ditolak, sampai-sampai para istri Rahwana habis kesabarannya yaitu ingin membunuh Sinta namun dapat dicegah oleh Trijata. Trijata adalah raksasi yang mengingatkan raksasi yang lain agar tidak membunuh sinta. Trijata menceritakan mimpi buruknya secara rici:
“Dalam mimpiku, aku melihat Rama. Ia bersinar terang seperti matahari. Ia datang menjemput Sinta. Rahwana memasuki istana Batara Yama. Rama mengangkat Sinta naik gajah dan membawanya pulang. Aku melihat Rahwana dan semua bangsa Raksasa yang berpakaian kumal penuh debu diseret batara Yama.”
Hanoman duduk bersembunyi di atas pohon. Dari balik dahan, Hanoman mendaraskan dengan suara lembut dan merdu kisah Rama supaya di dengar Sinta. Setelah itu, Hanoman diam sebentar.  Syair yang lembut, membuat hati Sinta berbunga-bunga sekaligus bertanya-tanya. Ia melihat sekeliling, ke atas ke bawah. Sinta melihat putra Batara bayu, menteri raja wanara yang bijaksana, dalam wujud kera kecil. Wajahnya bercahaya seperti matahari terbit. Sinta sebenarnya tidak percaya dengan hanoman, namun hanoman terus bercerita kepada Sinta. Dan untuk menambah kepercayaan Sinta, Hanoman memberikan cincin kepada Sinta.
Dengan gagah berani, Hanoman mencoba untuk menantang perang pasukan Alengka dan Rahwana. Dengan segala kekuatannya, akhirnya kota Alengka dibakar olehnya. Rahwana marah besar dan berniat untuk membunuh Hanoman. Namun, pasukan Rahwana dapat dibunuh oleh Hanoman. Hanoman, Rama, Lesmana, dan pasukan wanara serta Sugriwa berusaha untuk merebut Sinta. Rahwana pergi meminta bantuan Kumbakarna. Karena suatu kutukan, Kumbakarna biasa tidur selan berbulan-bulan. Akhirnya, Kumbakarna berhasil dibangunkan dan bersedia membantu Rahwana. Kumbakarna pun tewas di tangan Rama sendiri. Kematian Kumbakarna membuat Rahwana semakin murka dan sedih. Dengan bantuan Indrajit, pasukan-pasukannya termasuk juga Kumba, Nikumba dan Yupaksa ia mencoba untuk memusnahkan Rama dan kawan-kawannya. Wibisana adik Rahwana, membantu Rama untuk merebut Sinta kembali. Setelah bertarung sengit, Kumba tewas di tangan Sugriwa dan Nikumba di tangan Hanoman. Maharaksa, putra Kara, yang menghadapi Rama, tewas diterjang panah api Rama. Masih banyak lagi senopati perang bala tentara raksasa yang tewas bersimbah darah. Dan akhirnya, Indrajit pun tewas di tangan Lesmana. Rahwana sangat sedih dengan kematian putranya.
Ratap tangis terdengar di setiap rumah di Alengka. Kesedihan, rasa malu, dan amarah campur aduk menggelegak di dada Rahwana seperti laut yang mengamuk. Rahwana dan bala tentaranya maju ke medan laga. Rahwana terus maju menuju medan laga didampingi Wiropaksa, Mahodara, dan Mahaparswa. Para raksasa yang menemani Rahwana langsung bertumbangan disambut hujan panah dan batu mematikan. Rahwana bertarung sengit dengan Rama. Dalam pertarungannya, Rahwana tidak dapat dimatikan. Akhirnya, Rama pun segera mengucapkan mantra seraya melontarkan panah Bramastra. Meskipun sepuluh kepala Rahwana berulang kali bunting, kepala-kepala itu tumbuh kembali. Kesaktian Rahwana membingungkan Rama. Brahmastra, yang memancarkan bara api, melesat dan menerjang dada Rahwana, Brahmastra menerjang persis pada bagian yang menyimpan rahasia kesaktian Rahwana, bagian rahasia itu remuk seketika. Busur meluncur jatuh dari jari-jemari rahwana dan raksasa sakti tersebut akhirnya tumbang dan terjatuh dari kereta; tersungkur di tanah. Kematian Rahwana membuat hati Wibisana sedih. Rahwana, kakak kandungnya akhirnya tewas di tangan Rama.
Singkat cerita setelah kematian Rahwana, Wibisana dinobatkan menjadi raja Alengkan dengan upacara yang megah. Namun, keraguan merasuki hati Rama, dia meragukan kesucian Sinta. Sinta sangat kecewa dengan tuduhan Rama. Kemudian, Sinta menyuruh Lesmana untuk membuat api unggun yang besar untuknya. Seperti yang diperintahkan Sinta, Lesmana membuat api unggun besar. Kemudian, dengan mata menatap lurus ke tanah, berjalan mengelilingi suaminya. Akhirnya, ia meloncat ke dalam kobaran api. Dan ajaib! Di sela-sela kobaran api muncul para penghuni kahyangan. Para dewa datang dan bersama-sama di sana.
Batara agni, Dewa Api, muncul di antara kobaran api dan memondong Sinta. Seluruh pakaian serta perhiasan yang dikenakan Sinta sama sekali tak terbakar dan utuh. Kemudian, ia serahkan Sinta kepada Rama. Akhirnya, Rama dan Sinta hidup bahagian bersama dan Rama dinobatkan menjadi Raja di Ayodya.
C.              Membaca dan Menilai Sastra oleh A. Teeuw
Membaca dan menilai sebuah karya sastra bukanlah sesuatu yang mudah. Setiap pembaca roman atau puisi, baik modern atau pun klasik, pasti pernah mengalami kesulitan, merasa seakan-akan tidak memahami apa yang dikatakan atau pun dimaksudkan oleh pengarangnya. Proses membaca adalah memberi makna kepada sebuah teks tertentu yang dipilih atau yang dipaksakan kepada kita yakni proses yang memerlukan pengetahuan system kode yang cukup rumit, kompleks, dan aneka ragam. Untuk memahami sebuah karya sastra, pembaca harus menguasai berbagai macam sistem kode, baik kode bahasa, kode budaya, maupun kode sastra (Teeuw, 1983: 15).

1.    Kode Bahasa
Faktor pertama yang dalam model semiotik sastra harus diberi tempat yang selayaknya adalah bahasa, sebagai sistem tanda yang kompleks dan beragam. Bahasa merupakan sistem pembentuk model yang primer, yang mengikat baik penulis maupun pembaca, tidak hanya dalam arti bahwa kedua-duanya harus mengetahui bahasa yang dipakai dalam karya sastra, tetapi juga dalam arti bahwa keistimewaan struktur bahasa itu secara luas membatasi dan sekaligus menciptakan potensi karya sastra dalam bahasa tersebut.

2.    Kode Sastra
Kode sastra adalah kode yang berkenaan dengan hakikat, fungsi sastra, karakteristik sastra, kebenaran imajinatif dalam sastra, sastra sebagai sistem semiotik,sastra sebagai dokumen sosal budaya, dan sebagainya. Menurut Teeuw (1991: 14),sesungguhnya kode sastra itu tidak mudah dibedakan dengan kode budaya, meskipunbegitu, pada prinsipnya keduanya tetap harus dibedakan dalam kegiatan membaca dan memahami teks sastra.

3.    Kode Budaya
Kode budaya adalah pemahaman terhadap latar kehidupan, konteks, dan sistem sosial budaya. Menurut Chapman (1980: 26), kelahiran karya sastra diprakondisikan oleh kehidupan sosial budaya pengarangnya. Karena itu, sikap dan pandangan pengarang dalam karyanya mencerminkan kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Sejalan dengan itu, Rachmat Djoko Pradopo (2001: 55- 56), menyatakan bahwa karya sastra sebagai tanda terikat pada konvensi masyarakatnya, karena merupakan cermin realitas budaya masyarakat yang menjadi modelnya.
Untuk memahami kode budaya dalam kisah Ramayana ini maka kita mengembalikan karya sastra ini dan memandang karya ini sebagai perwujudan nilai-nilai dan peristiwa-peristiwa penting pada jamannya, seperti kehidupan kebudayaan, alam pikiran, susunan tata pemerintahan, kebiasaan adat-istiadat, keadaan kemasyarakatan, dan kegiatan kultural lainnya yang hanya dapat dipahami dalam suatu totalitas kehidupan masyarakat yang telah melahirkannya.


D.        Analisis Kisah Ramayana Karangan C. Rajagopalachari
1. KODE BAHASA             
a. Pola Unsur Sastra
Yang dimaksud pola unsur sastra ialah berupa unsur-unsur sastra yang mengandung mitologi dalam jalinan genealogi atau silsilah yang dihubung-hubungkan dengan dewa-dewa, bidadari, tokoh-tokoh wayang, resi atau Begawan dan diselingi legenda yang bertalian dengan pola dasar alam pikiran pokok kehidupan yang cukup lama yang mengandung unsur-unsur air, tanah, api, dan udara. Kadangkala diperkuat lagi dengan siimbolisme yang berwujud lambang-lambang sinar berkelarat di angkasa yang disebut wahyu, daru, pulung atau berwujud benda-benda pusaka keramat, dan kata-kata kiasan. Kadangkala dengan hagiografi yang menunjukkan kemukjizatan atau dengan unsur sugesti berupa ramalan atau firasat, suara gaib, tabir mimpi, dan pemali.

Unsur mitologi (unsur-unsur fiktif), legende (asal muasal) , hagiografi (peristiwa-peristiwa mukjizat), simbolisme, dan sugesti (pengaruh) dinamakan aspek fiktif sebagai ramuan sastra dalam membentuk suatu bangunan sastra.
a.      Pemilihan diksi
Pada cerita Ramayana karangan C. Rajagopalachari digunakan diksi (pemilihan kata yang sangat bagus, yaitu :
1.      “Kedatangan Wismamitra di Ayodya amat mengejutkan. Raja Dasarata sendiri pun turun dari singgasana dan menyambut kedatangan resi itu.”
è Penggunaan kata singgasana ini merupakan aspek kode bahasa yaitu penggunaan diksi atau pemilihahan kata. Singgasana mempunyai arti rumah tempat tinggal, namun untuk lebih memperindah kata tersebut penulis memilih kata singgasana.

2.      Dengan kata-kata yang manis, ia coba menghibur Trisanku, “Paduka yang mulia, aku sudah mendengar kabar tentang keadilanmu. Aku akan menolongmu; jangan takut…”
è Dari penggalan cerita ini, maka terdapat kode bahasa yaitu berupa diksi atau pemilihan kata. Paduka yang mulia adalah pengganti sebutan untuk Raja. Disini dijelaskan bahwa, Wismamitra kasihan kepada raja, raja yang dimaksudkan dalam penggalan cerita ini adalah Raja Trisanku yang dikutuk menjadi chandala. Disebutkan juga Wismamitra memanggil Raja Trisanku dengan sebutan “Yang Mulia Trisanku”.
è Untuk menyebut Dasarata digunakan Paduka Raja

3.      Pada bagian lain juga terdapat diksi yang menyebut Rama dan Lesmana menggunakan kedua putra raja dan kedua pangeran. Yaitu pada penggalan :
è Kedua putra raja diminta menghadap Resi Wismamitra. Kemudian raja, para permaisuri, dan Resi Wasista memberikan berkat dan mengantar mereka pergi bersama Resi Wismamitra.
Angin berhembus lembut dan awan-awan bergelantungan seperti untaian bunga yang ditabur para penghuni kahyangan. Sayup-sayup terdengar alunan napas alam. Dengan tangan tertangkup di dada, kedua pangeran itu berjalan dikiri dan kanan sang brahmaresi.
è Pada penggalan cerita ini juga ada permajasan yang merupakan penggambaran kepergian Rama, Lesmana, dan Wismamitra yang disambut oleh orang-orang tersayang mereka. Permajasan ini merupakan bagian dari kode bahasa.

4.      Bayi nan elok memikat ini dibesarkan Raja Janaka dan permaisuri terkasihnya.
è Bayi nan elok memikat = merupakan diksi yang digunakan untuk menggambarkan bayi yang sangat cantik.
è Permaisuri terkasihnya = merupakan diksi yang ditujukan untuk istri Raja Janaka.
è Kode bahasa yang ada yaitu diksi atau pilihan kata.

5.      Seorang gadis pelayan kecil menari dengan hati riang. “Apakah engkau tidak tahu esok pagi Ramachandra akan dinobatkan memjadi Yuwaraja?”. Barulah Mantara sadar apa yang sedang terjadi. Pelan-pelan amarah meriap dan menguasai hatinya. Bagaikan anak panah melesat dari busur, ia berlari turun. Ia langsung menuju kamar Dewi Kaikeyi. Waktu itu, sang permaisuri sedang tidur di peraduan.
è Kode bahasa yang ada yaitu diksi, yaitu:
·         Seorang gadis pelayan kecil menari dengan hati riang.
·         Pelan-pelan amarah meriap dan menguasai hatinya.
·         Waktu itu, sang permaisuri sedang tidur di peraduan.

6.      Dewi Kausalya tumpahkan segala amarah yang membadai di hatinya kepada Dasarata yang dihantam kegalauan hati dan penyesalan tak terkira. Kesedihan hati Kausalya menemukan muara dalam kata-kata tajam menusuk hati. Bagi Dasarata, kata-kata itu seperti memberi garam pada nganga luka di hati. Gejolak perasaan Kausalya terlampiaskan dalam kata-katanya kepada Dasarata.
7.      Terhenyak oleh serangan dari belakang – ia sama sekali tidak menyangka diserang dari belakang – Subali melihat sekeliling dengan tatapan tak mengerti. Ia melihat Rama dan Lesmana mendekat dengan busur di tangan. Air mata mengalir dari pipi saking marahnya.  
è Pemilihan diksi yang merupakan kode bahasa yaitu berupa kata saking.
Pada bagian lain juga ada kata-kata saking, yaitu:
Ia tumpukan kaki dan tangan pada bukit itu. Karena tekanan itu, bunga-bunga berguguran dan menyelimuti bukit. Saking kuat tekanan kaki Hanoman, Bukit Mahendra memuntahkan mata air, seperti air mata yang mengalir dari pipi gajah.

8.      Kakakku ini sebenarnya terlahir dengan hak istimewa. Ia terlahir sebagai putra sulung raja besar. Ia tinggalkan kerajaannya dan hidup di hutan. Di hutan, istrinya yang ia kasihi lebih daripada hidupnya sendiri, diculik oleh Rahwana.
è Pada bagian ini Rama dipanggil dengan kakak, namun pada bagian lain Rama dipanggil kanda oleh adiknya, yaitu :
“Kanda Rama, demi aku, kau tidur di atas rumput….”

9.      Sinta turun dari tandu. Dengan wajah muram, ia berjalan menuju Rama. “Aryaputra,” katanya sambil tersedu, tak sanggup melanjutkan kata-kata.
è Aryaputra dalam bahasa sansekerta berarti yang terkasih dan yang mulia, serta merupakan sapaan intim seorang istri kepada suami.
è Aryaputra merupakan pemilihan diksi yang ada dalam cerita Ramayana ini. Pada bagian lain, Sinta memanggil Rama dengan suamiku, yaitu:
“Suamiku, kata-katamu indah. Bagiku, apa yang kau katakana itu aneh. Seorang istri dipisahkan dari suaminya. Kewajiban suami bukan tanggung jawab istri…..”
Pemilihan diksi ini merupakan bagian dari kode bahasa.

b.      Permajasan
1.      Karena khawatir kekuasaannya akan guncang, para dewa mengalah dan memohon supaya Wismamitra berhenti unjuk kekuatan. “Biarlah Trisanku tetap berada di sana. Biarlah bintang gemintang ciptaanmu menggantung di langit untuk selamanya, seperti kemasyhuran dan kehormatanmu. Kendalikan amarahmu dan marilah berdamai.”
è Pada penggalan cerita ini, maka terdapat bermajasan yaitu alegori, yang merupakan penggambaran kekuatan seorang Wismamitra (kemasyhuran dan kehormatannya). Pada saat ini, diceritakan bahwa Wismamitra sangat murka karena Trisanku ditolak masuk surga.

2.      Ketika ia masuk halaman pertapaan, hutan memancarkan gairah musim semi, angin selatan membawa harum bunga, dan burung-burung kokila menawarkan angin selatan membawa harum bunga.
è Pada penggalan cerita ini, terdapat permajasan yang menggambarkan kecantikan seorang dewi kahyangan yaitu Dewi Ramba. Dewi Ramba diutus para dewa untuk mengganggu atau memikat Wismamitra, agar tapa bratanya selama seribu tahun untuk mengalahkan semua hawa nafsu dapat digagalkan.

3.      Meskipun demikian, dengan hati yang penuh syukur kita bisa sedikit mencicipi kecantikan dewi bumi melalui pepohonan yang menghijau pada musim semi, kemilau daun-daun yang masak di pohon pada musim gugur; dengan hati yang terbuka kita bisa menyaksikan sedikit pesona kecantikan sang dewi bumi melalui keindahan dan keagungan gunung, lembah, sungai, dan lautan.
è Kata-kata yang dicetak tebal diatas merupakan permajasan yang menggambarkan kecantikan Sinta yang begitu sangat cantik.
è dengan hati yang penuh syukur kita bisa sedikit mencicipi kecantikan dewi bumi = merupakan majas sinestesia.

4.      Dasarata tahu dan senang dengan harapan rakyat itu. Karenanya, pada usianya yang sudah beranjak senja, ia ingin menobatkan Rama sebagai Yuwaraja. Dengan demikian, ia mempercayakan tampuk kekuasaan kerajaan secara de facto. Setelah meminta nasihat nasihat kepada para menteri, Dasarata mengundang dewan kerajaan untuk bertemu. Para resi dan para bijak, para pemimpin kota dan raja-raja dari negara tetangga hadir dalam pertemuan itu. Setelah semua duduk di tempat yang telah disediakan, dasarata berdiri dan bicara kepada mereka semua. Suaranya yang berat, seperti suara terompet atau deru awan mendung, memenuhi gedung pertemuan. Wajahnya menampakkan kemuliaan seorang raja. Kata-katanya penuh makna dan memikat orang-orang yang mendengarkan.
è Pada bagian ini ada kode sastra yaitu berupa permajasan , yang ditunjukkan pada bagian yang dicetak tebal diatas.

5.      Bangun, bangun, perempuan bodoh! Badai kemalangan meradang dan siap menelanmu! Engkau dikhianati dan akan segera hancur. Bintangmu telah luruh. Perempuan bodoh, sekarang bukan saat yang tepat untuk enak-enak tidur!”
è Kode bahasa yang ada pada bagian ini adalah berupa permajasan.
a)      Badai kemalangan meradang dan siap menelanmu! Maksud majas ini adalah kesengsaraan akan melanda Dewi Kaekayi.
b)     Bintangmu telah luruh. Maksudnya adalah Dewi Kaekayi akan kehilangan kedudukannya.

6.      Mulut Kaikeyi tetap terkunci, tetapi matanya mengutarakan kobaran amarah yang telah menghanguskan hatinya.
è Kode bahasa yang ada yaitu berupa permajasan. Majas ini menjelaskan bahwa: Kaikeyi tetap diam tak mau bicara mendengar kata-kata Dasarata yang mengatakan banyak kata kepadanya, karena dia tidak rela kalau Rama tidak bisa menjadi Raja. Rama adalah anak tertua yang sangat patuh, yang sangat baik. Walau diam namun sebenarnya dalam pikiran Kaikeyi sudah berkobar perasaan tidak rela dan tetap pada pendiriannya. Hatinya sudah dirasuki perasaan atas keserakahan.

7.      Ketika sais kereta itu tiba, kota tampak muram dan kehilangan keceriaan dari hiruk-pikuk para penghuninya. Segera setelah ia melewati gerbang kota, orang-orang menghentikan keretanya. Mereka memberondong Sumantra dengan pertanyaan, “Di mana kau tinggalkan Rama? Bagaimana keadaannya ketika kau pergi?”
è Kode bahasa yang ada pada bagian ini berupa majas personifikasi yaitu kota tampak muram dan kehilangan keceriaan dari hiruk-pikuk para penghuninya. Maksud majas ini adalah menggambarkan kesedihan para rakyat yang ditinggal oleh Rama, Lesmana dan Sinta.

8.      Seperti yang yang diminta Rama, Sumantra masuk dan memberitahukan kepada raja. Betapa terkejut Sumantra ketika melihat Raja Dasarata. Seperti matahari yang dilanda gerhana, layaknya tungku yang suram karena abu, laksana bak api yang kehabisan air, raja tergolek di lantai. Sama sekali tidak tampak kemuliaan seorang raja. Wajahnya suram dilipat duka nestapa.
è Kode bahasa
Yaitu pada pemilihan kata à Wajahnya suram dilipat duka nestapa. Kata-kata ini adalah pilihan kata untuk menunjukkan wajah Dasarata yang sangat sedih.

9.      “….  Kau akan jadi permaisuri dan istri penguasa Alengka, penakluk Kubera. Marilah kita nikmati kenikmatan dunia di Puspaka Wimana. Jangan biarkan awan kesedihan memayungi wajahmu. Marilah kita cicipi surga kenikmatan.”
è Kode bahasa yang ada disini berupa permajasan yaitu Jangan biarkan awan kesedihan memayungi wajahmu.

10.  Dewi Kausalya yang malah berusaha sebaik-baiknya menghibur sang raja. Tapi, hiburan macam apakah yang bisa diberikan seorang perempuan yang sedang dirundung duka? Malam merangkak lambat, detik demi detik. Dingin udara malam serasa jilatan api yang membara. Sinar bulan yang lembut terasa panas membakar seperti matahari di terik siang.
è Kode bahasa yang ada disini adalah berupa permajasan. Majas ini menggambarkan bagaimana keadaan malam itu saat Dewi Kausalya sangat begitu sedih.

11.  Seperti pengemis yang menemukan harta karun terpendam, ketiga permaisuri itu gembira bukan alang kepalang. Tak lama kemudian, ketiganya pun mengandung.”
è Episode ini ditafsirkan secara alegoris bahwa ketiga istri Dasarata yaitu Dewi Kausalya, Sumitra dan Kekayi sangat senang karena akhirnya dapat mengandung. ketika Dasarata menerima mangkuk payas dari para dewa untuk dibagi-bagikan pada ketiga istrinya untuk dapat mengandung seorang putra.

12.  “Berkat kemuliaan budi leluhur, Engkau berkenan mengunjungi kami. Seperti cahaya pagi yang mengusir kegelapan malam, kedatanganmu membawa kebahagiaan bagi kami. Hatiku amat gembira. Meskipun terlahir sebagai raja, engkau menjadi brahmaresi berkat laku tapa. Dan, engkau sendiri datang mengunjungi istanaku. Pakah yang dapat aku lakukan untuk Maharesi? Jika ada, perintahlah dan aku akan laksanakan.”
è Pada penggalan episode ini ditafsirkan secara alegoris yaitu pada bagian yang dicetak tebal, kiasan ini menggambarkan bahwa kedatangan Wismamitra kepada Dasarata digambarkan seolah-olah Wismamitra membawa cahaya atau kebahagiaan untuk Dasarata.

13.  Setiap upaya Dasarata menarik kembali janji yang telah diucapkan semakin membuat Wismamitra murka. Semua permohonan dan alasannya seperti percikan minyak pada bara api yang membakar amarah sang resi.
è Penggalan cerita ini juga ditafsirkan secara alegoris yang merupakan gambaran emosi Wismamitra yang semakin membara karena alasan dan permohonan Dasarata. Dasarata tidak menyetujui anaknya Rama dibawa oleh Wismamitra untuk mengalahkan raksasa.

14.  Mereka bertiga berjalan beriringan dengan busur dan setangkup anak panah di bahu serta pedang di pinggang. Gagah seperti ular kobra yang menegakkan kepala dengan posisi siaga.
è Penggalan ini juga ditafsirkan secara alegoris menggambarkan kegagahan Rama, Lesmana, dan Wismamitra yang bersiap pergi untuk mengalahkan raksasa.

15.  Setelah bertahun-tahun tertutup dedaunan dan rerumputan serta menepati jani, Ahalya bebas dari kutukan. Di hadapan Rama, ia tampak bercahaya, seperti bulan yang menyibak awan gemawan, bak nyala api yang menyelinap di sela-sela asap, juga laksana matahari yang berkilauan di riak-riak air.
è Penggalan cerita ini menggambarkan kecantikan Ahalya yang telah lama tertutup karena kutukan dari Gautama.

16.  Setelah beroleh izin dari Wismamitra dan raja, Rama melangkah mendekati kotak besi. Semua mata memandag Rama penuh harap. Setelah membuka tutup kotak, sungguh ajaib, ia dapat menganggkat busur tersebut dengan entengnya, seperti mengangkat karangan bunga saja. Ia rentangkan tali busur itu dengan mengambil gerakan siap membidik. Ketika tali dilepaskan, busur sakti seperti meledak sekeras halilintar. Hujan bunga turun dari kahyangan.
è Yang pertama : ia dapat menganggkat busur tersebut dengan entengnya, seperti mengangkat karangan bunga saja.
Penggalan ini menggambarkan betapa kuatnya Rama mengangkat busur Syiwa. Seperti tidak ada beban saja, ia dapat mengangkat busur itu.
è Yang kedua : melukiskan betapa kerasnya ledakan busur ketika dilepaskan oleh Rama. 
17.  Barulah Mantara sadar apa yang sedang terjadi. Pelan-pelan amarah meriap dan menguasai hatinya. Bagaikan anak panah melesat dari busur, ia berlari turun. Ia langsung menuju kamar Dewi Kaikeyi. Waktu itu, sang permaisuri sedang tidur di peraduan.
è  Bagaikan anak panah melesat dari busur, ia berlari turun.” Penggalan ini menggambarkan betapa sangat cepat sekali Mantara berlari untuk menemui Kaekayi.

18.  Tidak sanggup menghadapi kenyataan yang sedemikian berat, Dasarata jatuh pingsan. Ketika sadar, ia jatuhkan diri dihadapan Kaikaeyi. Seperti melihat harimau yang siap menerkam, badan Dasarata bergetar tidak keruan. Ia duduk dilantai dan meratap. Tidak ada lagi daya atau wibawa, seperti ular kobra yang terbius mantra. Sekali lagi ia tumbang; tak sadarkan diri.
·         Seperti melihat harimau yang siap menerkam, badan Dasarata bergetar tidak keruan. Penggalan ini menggambarkan ketakutan Dasarata yang tidak sanggup menghadapi kenyataan bahwa Kaekayi meminta Bharata untuk menjadi Raja, dan Rama harus mundur.
·         Tidak ada lagi daya atau wibawa, seperti ular kobra yang terbius mantra. Maksud penggalan ini adalah menggambarkan Dasarata sudah lemas tak berdaya karena harus menghadapi kenyataan pahit atas kepergian Rama ke hutan selama 14 tahun.

19.  Dalam Kamba Ramayana, ketika bicara kepada Lesmana yang “marah membara seperti api yang siap membakar apa saja.”, Rama berkata, “ Bukan salah sungai, ketika airnya mengering. Demikian pula, pengasinganku ke hutan bukan salah raja, Ibunda Kaikeyi atau Bharata. Ini sudah suratan takdir. Jika demikian, apa gunanya marah-marah?”
è Menggambarkan dengan cara lain ketika Lesmana sangat marah karena tidak terima jika kakaknya Rama harus diasingkan di hutan. Yaitu: ketika bicara kepada Lesmana yang “marah membara seperti api yang siap membakar apa saja.”
è Permajasan yang kedua adalah Bukan salah sungai, ketika airnya mengering. Demikian pula, pengasinganku ke hutan bukan salah raja, Ibunda Kaikeyi atau Bharata. Bagian ini menggambarkan bahwa tidak ada yang perlu disalahkan karena semua sudah suratan takdir.

20.  Seperti yang yang diminta Rama, Sumantra masuk dan memberitahukan kepada raja. Betapa terkejut Sumantra ketika melihat Raja Dasarata. Seperti matahari yang dilanda gerhana, layaknya tungku yang suram karena abu, laksana bak api yang kehabisan air, raja tergolek di lantai. Sama sekali tidak tampak kemuliaan seorang raja. Wajahnya suram dilipat duka nestapa.
·         Majas alegori à Seperti matahari yang dilanda gerhana, layaknya tungku yang suram karena abu, laksana bak api yang kehabisan air, raja tergolek di lantai. Penggalan ini menggambarkan keadaan Dasarata yang tergolek sakit karena kekecewaannya kepada Kaekeyi dan kedukaannya yang begitu dalam.

21.  “Aku tertipu parasmu. Kupikir kau adalah perempuan luhur hingga aku memperistrimu. Seperti laki-laki bodoh yang tergoda untuk minum anggur beracun, aku terpikat kecantikanmu dan mengambilmu sebagai istri. Seperti rusa yang terjerat perangkap pemburu, aku terjebak dalam jebakan dan akan mati. Seperti brahmana mabuk di jalan, semua orang akan mencomoohku. Apa permohonan yang kau pinta dariku? Permintaan yang memberi cemar pada kemasyhuran dinasti untuk selama-lamanya. Permintaan yang akan dikenang sebagai kedunguan laki-laki pikun penuh nafsu yang sampai hati mengusir putra terkasih dan terbaiknya.”
è Penggalan ini menggambarkan kekecewaan dasarata pada Kaekayi.

22.   “Dosa masa lalu membunuhku; laksana makanan yang dilarang seorang tabib, tapi secara bodoh dimakan oleh orang yang sakit. Apa yang dikatakan orang tua dalam kepengapan dan kesedihan hati yang tak terkira itu sekarang benar-benar terjadi. Dengan mata kepalaku sendiri, aku saksikan putraku yang tanpa cela dibuang ke hutan. Sebentar lagi, aku akan mati karena derita batin yang tak tertahankan.
è Dosa masa lalu membunuhku; laksana makanan yang dilarang seorang tabib, tapi secara bodoh dimakan oleh orang yang sakit. Penggalan ini melukiskan penyesalan dimasa lalu yang telah dilakukan oleh Dasarata. Dulu Dasarata pernah memanah seseorang tanpa sengaja, dan kedua orang tuanya tidak terima dan mereka mengutuk Dasarata. Suatu saat Dasarata akan merasakan duka yang begitu dalam karena ditinggalkan oleh anak kesayangannya. Dan akhirnya, Dasarata merasakan buah dari hasil perbuatannya.

23.  Seketika itu, Maricha mengubah diri menjadi kijang kencana. Setiap bagian tubuhnya menebarkan warna dan keindahan yang mempesona. Seperti pelangi di langit, kijang itu memukau setiap mata yang memandang. Kulitnya yang elok seperti bertabur emas, perak, intan, mutiara, dan bebungaan. Kulitnya yang memancarkan cahaya keemasan seperti bertabur batu permata.
è Pada bagian ini pun juga ada kode bahasa yaitu berupa permajasan, yaitu bagaimana majas-majas itu digunakan untuk menggambarkan keindahan kijang kencana.

24.  Setelah memasang anak panah pada tali dan menariknya sampai ke telinga. Rama lesatkan anak panah persis ke dada perkasa Subali. Diterjang anak panah yang melaju tak tertahankan, Subali tumbang ke tanah seperti pohon besar yang tumbang ditebang kapak. Subali terjungkal ke tanah berdarah-darah seperti panji-panji festival yang dicabut setelah pesta usai.
Meskipun demikian, ketampanannya tetap bersinar terang. Badannya berkilau seperti awan yang tertimpa cahaya matahari. Medali sakti pemberian Batara Indra bersinar terang di dadanya. Medali inilah yang menjaga nyawa dan nasib baik Subali. Medali itu, anak panah Rama, luka yang berdarah-darah, semuanya menambah cemerlang cahaya badannya yang perkasa.

è Pada bagian ini terdapat kode bahasa berupa permasajasan. Majas ini menggambarkan bagaimana keadaan Subali saat ia akan meregang nyawanya setelah dipanah oleh Rama.

v  Majas metafora:
25.   Ia menatap ke sekeliling sambil menyembunyikan diri di balik rerimbunan pohon. Ia duduk pada salah satu cabangnya dan melihat ke bawah. Benar saja, ia melihat sesosok perempuan sedang duduk di gazebo. Perempuan itu sangat cantik dan murni seperti seorang dewi.
Meskipun kurus dan pucat, wajahnya bersinar seperti rembulan pada awal paruh. Kecantikannya terpancar dari hati yang sendu, seperti api yang tersaput asap. Mengenakan pakaian yang kotor, ia seperti bunga teratai cantik yang terlapisi lumut yang berlumpur. Air mata membasahi wajahnya. Ia tampak pucat dan kurus karena kurang makan. Ia hanyut dalam kesedihan hati. Sendirian. Sama sekali tidak terpancar sinar harapan. Setiap kali mata itu memandang, hanya para raksasi yang ia temukan. Ia merasa seperti rusa betina yang terpisah dari kawannya dan dikepung sekelompok anjing liar. Satu kepang rambutnya yang panjang seperti ular tampak berantakan dan tak terurus, memanjang sampai pinggang. Di mata Hanoman, ia tampak menarik dan sekaligus mengundang belas kasihan, seperti syair-syair agung yang disobek dari kitab suci oleh orang-orang yang ingkar. Ia seperti harta karun yang tenggelam di antara puing-puing tanpa arti, seperti harapan yang hancur berantakan dan keyakinan yang terkhianati, seperti kecerdasan yang dinodai kegilaan, juga seperti kemurnian tanpa cela yang dinodai fitnah yang keji…………………………………………………………..
è Pada bagian ini merupakan kode bahasa berupa majas metafora. Yang menggambarkan bagaimana kesedihan hati Sinta saat jauh dari Rama, saat ia diculik oleh Rahwana.

c.       Kode bahasa yang lain pada cerita Ramayana ini adalah bahasa untuk menyampaikan cinta Rahwana kepada Sinta, yaitu:
“Kau boleh menganggap dan menikmati semua ini sebagai milikmu. Kau akan menjadi permaisuriku yang akan kucintai lebih daripada hidupku sendiri. Aku punya banyak istri, tapi aku akan jadikan kau tuan atas mereka. Mulai sekarang, cintaku hanya untukmu dan hanya untukmu. Dengarkan aku, sambutlah keinginanku. Laut seluas ratusan mil mengelilingi tempat kita. …”

2. KODE SASTRA
a.       Alur : alur dalam cerita Ramayana karangan C. Rajagopalachari adalah alur maju. Pada buku ini, alur cerita sangat runtut dari awal cerita hingga akhir cerita. Setiap episode diceritakan dengan bahasa-bahasa indah (gaya bahasa), seperti :
b.      Penokohan : unsur penokohan disini juga merupakan salah satu kode sastra. Nama-nama yang digunakan merupakan tokoh-tokoh dalam pewayangan. Namun, dalam buku Ramayana ini dikemas menjadi satu kesatuan cerita yang seolah-olah terjadi dalam dunia nyata. Cerita ini merupakan gambaran masyarakat India. Misalnya:
1.      Dalam menggambarkan kecantikan sosok Dewi Ramba, ditunjukkan oleh:
Mengetahui para dewa ketakutan, Batara Indra segera memanggil dewi kahyangan yang jelita, Dewi Ramba. Ia perintahkan sang dewi untuk memikat Wismamitra dengan kecantikan dan rayuannya. Semula Dewi Ramba sangat takut menerima tugas itu, tapi Batara Indra berjanji tidak akan membiarkannya bekerja sendirian. Ia akan mengutus Dewi Cinta dan Dewa Musim Semi untuk membantu Ramba. Pada akhirnya, walau dengan hati enggan, Ramba berangkat juga. Ketika ia masuk halaman pertapaan, hutan memancarkan gairah musim semi, angin selatan membawa harum bunga, dan burung-burung kokila menawarkan merdu kicauan. Dewa Cinta dan Dewi Musim Semi datang membantu kecantikan Ramba. Merasa terganggu dengan piruk-pikuk yang telah lama tidak ia dengar. Wismamitra membuka mata dan melihat seorang gadis jelita di depannya. Keindahan hutan, wangi bunga, dan kicau burung musim semi seolah memuncak pada diri gadis jelita di depan matanya.

2.      Penggambaran sosok Parasurama, yaitu:
Ketika Dasarata dan Wasista sedang berdialog, tiba-tiba badai datang menerjang. Pohon-pohon bertumbangan, bumi berguncang, dan debu beterbangan menutupi matahari. Suasana berubah gelap. Semua dicekam ketakutan. Ternyata, inilah alasan kejadian aneh itu. Di hadapan mereka berdiri tegak sosok yang menggetarkan nyali, Parasurama. Dulu Parasurama pernah bersumpah akan membunuh setiap ksatria yang dijumpai. Dengan busur di pundak yang satu dan kapak perang di pundak yang lain, serta anak panah yang berkilau seperti kilatan petir di tangan. Sebuah penampakan yang menyeramkan. Rambutnya yang panjang digelung berpilin-pilin. Ia seperti rudra yang menikmati penghancuran Tripura. Wajahnya memancarkan cahaya seperti api. Putra Jamadagni ini memang ditakuti golongan kesatria. Banyak sekali kesatria yang telah tewas di tangannya. Kedatangannya selalu diawali dengan badai dan gempa bumi. Golongan kesatrian dibuat gemetar ketakutan.
è Dari penggalan ini pada dapat kita ambil kode sastra yaitu bagaimana tokoh Parasurama digambarkan sebagai sosok yang sangat menakutkan.

3.      Kode sastra yang ditunjukkan dari aspek penokohan yang lain, yaitu pada diri Dewi kaekayi, disini, digambarkan bagaimana kecantikan Dewi kaekayi yang walau tanpa perhiasan. Saat itu ia dalam keadaan telah dihasut oleh Mantara. Dewi kaekayi takut akan dijadikan budak jika Rama yang menjadi Raja. sekaligus dalam penggalan kisah ini, kita juga akan mengerti bagaimana sosok Dewi kaekayi itu:
Dalam gelegak amarah yang mendidih Dewi Kaekayi yakin Dasarata telah mengkhianatinya. Meskipun telah menanggalkan semua perhiasan dan pasang muka muram durja bercampur amarah, Dewi Kaekayi masih cantik memikat. Kecantikan sang permaisuri justru semakin mempesona.
Akal bulus Mantara telah merasuk pikiran Dewi Kaekayi. Kini, kaekayi telah berubah. Rasa takut akan menjadi budak Kausalya dan ancaman kematian yang membayangi Bharata telah menguasai hati Kaekayi. Untuk kali pertama dalam hidupnya, ia tak mempedulikan rasa malu dan dosa. Hatinya telah menjadi keras. Napasnya berta. Keringat bercucuran. Dengan mata tertutup, Kaekayi yang cantik seperti Dewi Naga, melepas gelung rambut. Dengan rambut terurai, ia baringkan diri di lantai, seperti burung terkena panah pemburu. Hiasan bunga dan perhiasan berkilauan yang biasanya menjadi pasangan serasi kecantikan kecantikan Kaekayi berserakan di lantai. Suasana kamar yang gelap membuat perhiasan itu tampak berkilauan seperti bintang di langit malam.
è Dari sini, maka kita bisa gambarkan bagaimana sosok Dewi Kaekayi. Sosok yang sangat cantik, dengan gaya hidup yang serba mewah karena dia adalah seorang istri Raja yang masyhur.

4.      Penggambaran Dewi Sumitra, yaitu pada penggalan cerita :
Dewi Sumitra adalah perempuan yang tak banyak bicara, matang, bijak, pemberani, penuh iman, dan harapan semua orang ketika semua harapan mulai padam. Dikisahkan bahwa Dewi Sumitra sudah sejak lama tahu keilahian dan tujuan inkarnasi Rama. Pemahaman itu membantunya tidak hanya untuk menghibur Dewi Kausalya, tapi juga melihat tugas suci yang harus dijalani Lesmana dalam pengasingan bersama Rama.

5.      Penggambaran kijang kencana yang mampu memikat hati Sinta, yaitu:
Seketika itu juga, Maricha mengubah diri menjadi kijang kencana. Setiap bagian tubuhnya menebarkan warna dan keindahan yang mempesona. Seperti pelangi di langit, kijang itu memukau setiap mata yang memandang. Kulitnya yang elok seperti bertabur emas, perak, intan, mutiara, dan bebungaan. Kulitnya memancarkan cahaya keemasan seperti bertabur batu permata.


6.      Sinta
Penggambaran sosok Sinta pada buku ini diceritakan dengan bahasa yang indah, yang merupakan kode sastra, yaitu:
Manusia yang fana tidak akan pernah bisa melihat keindahan dewi bumi secara penuh. Meskipun demikian, dengan hati yang penuh syukur kita bisa sedikit mencicipi kecantikan dewi bumi melalui pepohonan yang menghijau pada musim semi, kemilau daun-daun masak di pohon pada musim gugur; dengan hati yang terbuka kita bisa menyaksikan sedikit pesona kecantikan sang dewi bumi melalui keindahan dan keagungan gunung, lembah, sungai, dan lautan. Seperti itulah, kecantikan Dewi Sinta dalam keseluruhannya.

7.      Kumbakarna
Kode sastra yang menunjukkan bagian dari nilai keindahan dari penokohan juga ada pada saat menggambarkan Kumbakarna, yaitu:
Kumbakarna adalah raksasa yang berbadan tinggi besar dan sangat kuat. Kumbakarna, yang mengenakan perhiasan, bercahaya seperti matahari, seperti Triwikrama sendiri. Seperti yang dianjurkan tradisi, ia kelilingi kakaknya. Kemudian, ia membungkuk menghaturkan hormat dan berangkat. Ia menuju medan laga dengan tombak di tangan. Di tengah sorak-sorai serta hujan bunga dan seruan-seruan yang berpengharapan, ia pimpin satu pasukan yang sangat besar. Ketika sosok Kumbakarna yang luar biasa besar, yang sangat besar bahkan untuk ukuran raksasa, melangkah ke luar dari benteng kota, para wanara ketakutan dan lari lintang pulang ke segala penjuru. Memang Kumbakarna tampak sangat mengerikan, seperti Batara Yama sendiri pada akhir zaman atau bencana alam besar. Dengan susah payah, para senopati pasukan wanara mengatur kembali formasi perang.

8.      Subali
Setelah memasang anak panah pada tali dan menariknya sampai ke telinga. Rama lesatkan anak panah persis ke dada perkasa Subali. Diterjang anak panah yang melaju tak tertahankan, Subali tumbang ke tanah seperti pohon besar yang tumbang ditebang kapak. Subali terjungkal ke tanah berdarah-darah seperti panji-panji festival yang dicabut setelah pesta usai.
            Meskipun demikian, ketampanannya tetap bersinar terang. Badannya berkilau seperti awan yang tertimpa cahaya matahari. Medali sakti pemberian Batara Indra bersinar terang di dadanya. Medali inilah yang menjaga nyawa dan nasib baik Subali. Medali itu, anak panah Rama, luka yang berdarah-darah, semuanya menambah cemerlang cahaya badannya yang perkasa.

è Dari sini dapat kita ambil kesimpulan bagaimana sosok Subali, hingga akhir hayatnya dia meninggal dengan keadaan yang begitu indah. Seperti inilah sosok Subali, keagungan seorang pejuang sejati ketika meregang nyawa di medan laga. Dari sini dapat kita ambil makna tersirat, bahwa dia adalah sosok pejuang sejati yang baik hati.

9.      Bulu-bulu tubuh Hanoman berdiri. Ia meraung keras dan pukul-pukulkan ekornya ke tanah. Kemudian, ia membungkuk dan mengambil napas dalam. Ia tumpukkan kekuatannya pada kaki, menutup telinga, dan mengencangkan semua otot. Kemudian, dengan teriak kemenangan ia meloncat ke udara. Seperti Garuda, ia terbang secepat anak panah Rama. Daya gerak kecepatan Hanoman menarik pepohonan sampai ke akar-akarnya. Seperti orang yang mengantar kepergian sahabat, pohon-pohon itu ikut terbang sebentar, menggugurkan – seperti menaburkan bunga dan jatuh ke laut. Seperti gunung-gunung yang dulu dikejar Batara Indra dan dilucuti sayapnya, satu per satu pohon-pohon yang tertarik ikut terbang bersama Hanoman berjatuhan ke laut. Permukaan air laut yang bertabur bunga-bunga warna cerah tampak seperti langit yang berbintang. Bahu Hanoman dengan tangan terentang tampak seperti dua ular kobra yang berkepala lima. Hanoman seperti menelan langit ketika terbang semakin jauh. Matanya berkilau seperti hutan yang terbakar api. Hidungnya yang merah bersinar seperti matahari sore. Badannya yang besar membentang di angkasa seperti komet raksasa. Udara bergemuruh, ketika ia melaju menembus angkasa. Di bawah, tampak bayangan hanoman seperti kapal yang melaju menembus ombak. Ia seperti gunung yang sangat besar, terbang membelah angkasa. Seperti bulan yang bersinar melintasi langit, kadang tertutup dan muncul lagi dari balik awan. Para gandarwa menurunkan hujan bunga. Para dewaresi memberkatinya.
è Dari sini terdapat kode sastra yaitu berupa penokohan, yang menggambarkan bagaimana sosok dari Hanoman yang gagah perkasa dan kuat tak tertandingi.

c.       Latar / Plot :
Latar yang diceritakan pada cerita Ramayana karangan C. Rajagopalachari ini disajikan dengan bahasa yang indah, seperti misalnya:
1.      Saat menjelaskan kerajaan Alengka milik Rahwana, yaitu:
Di sana, di Bukit Trikuta, seperti tergantung di atas langit, berdiri megah kota Rahwana. Betapa indah, kaya raya, dan terlindung rapat di balik tembok kota itu. Benteng dan kota itu tidak kalah jika dibandingkan dengan Amarawati. Tanaman belukar yang subur, dan parit-parit yang dalam semuanya membuatku kagum.
Ia melewati jalan-jalan istana. Bunga-bunga yang sangat indah menghiasi kanan kiri jalan. Seperti petir yang memancarkan cahaya gemerlap melintasi awan gemawan, bangunan-bangunan yang tinggi menjulang memancarkan cahaya cemerlang menembus angkasa. Merayapi atap-atap rumah, ia mengagumi keindahan kota. Rumah-rumah para raksasa yang besar-besar, jalan-jalan, dan hiasan yang dipasang memancarkan keindahan yang memukau. Suara music yang mengalun indah terdengar disana- sini…..
è Ini merupakan penjelasan keindahan istana Rahwana yang sangat begitu menawan sehingga Hanoman yang melihatnya pun terpukau dengan keindahan istana Alengka.
2.      Kode sastra yang lain yaitu berupa latar atau plot yang menggambarkan bagaimana asal muasal Sungai Gangga, dengan gaya bahasa yang indah, yaitu:
Bagirata adalah seorang raja yang gagah berani. Ia tidak mempunyai putra. Untuk memohon keturunan dan supaya Dewi Gangga turun ke patala, ia pergi ke Gokarna untuk melakukan tapa brata. Ia tinggalkan urusan kerajaan kepada para menteri.
Bagirata menjalani tapa brata yang keras dan berat. Ia dikelilingi api dan kepala terpanggang panas matahari. Ia hanya makan sekali sebulan. Ia terus menjalani tapanya hingga namanya menjadi perlambang keteguhan hati untuk mencapai tujuan yang baik.
Batara Brahma berkenan pada laku tapa Bagirata. Ia pun menampakkan diri di hadapan Bagirat. “ Apa yang engkau inginkan?” Tanya Bataea Brahma.
Bagirata mengutarakan dua keinginan, “ Jika Paduka berbelas kasih kepadaku, berkatilah aku dengan seorang anak yang akan melanjutkan garis keturunan keluarga. Kedua, karena dikutuk Resi Kapila, leluhurku menjadi tumbukan abu di Patala. Jiwa mereka hanya akan mencapai nirwana dibasuh air Sungai Gangga. Semoga Paduka berkenan memerintahkan Gangga turun dari kahyangan.”
Batara Brahma pun menjawab, “Para dewa berkenan pada tapamu. Keinginanmu akan terkabul. Tapi, ada satu masalah, yakni bahwa bumi tidak akan sanggup menampung derasnya aliran Gangga. Karena itu, berdoa dan mohonlah perkenan Batara Syiwa. “
Bagirata memulai kembali laku tapa. Ia terus bertapa tanpa makan atau minum dan pada akhirnya mendapat perkenan Batara Syiwa. Batara Syiwa menampakkan diri dan berkata, “Kukabulkan permintaanmu. Aku akan menampung aliran Gangga dengan kepalaku. Semoga Gangga berbelas kasih kepadamu.”
Setelah sang Mahadewa itu berjanji memberikan bantuan kepada Bagirata, gangga bersiap untuk turun dari kahyangan seperti yang diperintahkan Batara Brahma. Karena kecongkaannya, Gangga mengira ia kan membanjiri dan menghanyutkan Mahadewa sampai ke Patala.
Dewa bermata tiga itu ingin member pelajaran kepada Gangga. Dan, karena kehendak Batara Syiwa, aliran air yang tumpah ke atas kepala dapat bertampung dengan mudah ke dalam tatakan mahkota. Gangga semakin menderakan air yang mengaliri kepala Mahadewa. Tapi, sederas apa pun usaha Gangga tak setetes air pun tertumpah dari mahkota Batara syiwa.
Pelan-pelan Bagirata biarkan aliran Gangga mengalir dari mahkotanya menjadi tujuh aliran sungai. Tiga mengalir ke timur dan tiga mengalir ke barat. Aliran yang ketujuh mengalir mengikuti Bagirata yang girang bukan kepalang karena penyucian jiwa leluhurnya akhirnya akan segera terwujud.
Aliran Gangga mengikuti kereta Bagirata; menari dan berkilauan seperti kilatan halilintan. Dari langit para dewa dan gandarwa menyaksikan pemandangan yang mengagumkan itu. Kadang Gangga mengalir pelan dan kadang cepat, menurun dan kemudian mendaki, seperti menari di belakang kereta bagirata. Para penghuni kahyangan tidak beranjak dari tempatnya terpikat keindahan peristiwa itu.
Dalam perjalanan menuju Patala, Gangga menerjang tempat tapa seorang resi yang bernama Jahnu. Karena marah Resi jahnu mengisap Gangga masuk ke dalam kepalan tangannya. Sekali lagi, Gangga menghilang dan Bagirata sangat kebingungan.
Para dewa dan resi membujuk Resi Jahnu supaya memaafkan Gangga dan membiarkan bagirata untuk menikmati buah kesabaran dan laku tapanya. Resi berbelah kasih dan membiarkan Gangga keluar melalui lubang kupingnya. Para dewa amat gembira dan memberkati Gangga. Mereka berkata, “Karena keluar dari tubuh Resi Jahnu, seperti seorang anak keluar dari rahim ibunya, maka sekarang engkau bernama Jahnawi, putri Resi Jahnu.”
Setelah itu, Gangga terus mengalir tanpa hambatan dan sampai di Patala melalui samudra. Dengan air suci, bagirata melaksanakan upacara pemakaman dan mengantar jiwa luluhur masuk ke nirwana.
Berkat kesabaran dan tapa brata Bagirata, gangga turun kembali ke bumi. Dari peristiwa tersebut, Sungai Gangga juga dikenal dengan nama Bhagirati.
Orang-orang yang membersihkan diri dengan air suci Sungai Gangga, membaca atau mendengarkan kisah ini didedah dengan penuh perhatian akan disucikan dari dosa dan diberkati dengan keluhuran budi, kekuatan dan api semangat yang tak akan pernah pudar.
è Dari cerita asal muasal ini, kita dapat mengambil kesimpulan, yaitu adanya kode sastra yang berupa penggambaran sebuah tempat yaitu Sungai gangga, bagaimana kisah ceritanya disajikan dengan bahasa-bahasa indah. Sungai Gangga, dikenal sebagai sungai yang suci, airnya mampu membersihkan jiwa.

d.      Kode Sastra yang lain yang ada pada bagian cerita Ramayana ini adalah berupa syair, syair ini biasanya didaraskan dalam pernikahan di India ketika pihak keluarga menyerahkan mempelai perempuan.
Iyam Seeta mama sutaa
sahadharmacharee tava
prateechchha chainaam bhadram te
paanim grihneeshwa paanimaa
pativrataa mahaabhaagaa
chhaayevaanugataa sadaa

e.       Kode sastra yang lain yaitu berupa sebuah ajaran yang dinyatakan dalam bahasa yang lain dari yang lain, seperti yang ditulis dalam bagian cerita Ramayana yaitu:
“Om Poornamadah Poornamidam Poornaat Poornamudachyate Poornasya Poornamaadaayaa Poornamevaavasishyate.”
Artinya: Apakah keseluruhan itu; inilah keseluruhan ityu; apa yang berasal dari keseluruhan juga merupakan keseluruhan. Ketika keseluruhan diambil dari keseluruhan, keseluruhan akan tetap tinggal sebagai keseluruhan.
Ajaran ini diberikan oleh Sruti (Weda, perwahyuan) kepada keempat putra Dasarata, agar mereka saling melengkapi dan saling menyayangi satu dengan yang lain.
3. KODE BUDAYA
1.      Suatu hari, pada awal musim panas, ia berpikir untuk mengadakan upacara persembahan kuda guna memohon dikaruniai seorang putra.
è kode budaya yang ada yaitu: upacara persembahan kuda.
Dasarata yang merupakan pemimpin kerajaan dari ibu kota Ayodya akan melakukan upacara persembahan kuda untuk bisa memiliki seorang putra. Upacara persembahan kuda ini merupakan sebuah kode sastra yang ada pada cerita ini. Upacara ini adalah sebuah nilai budaya yang sangat besar. Dijelaskan bahwa:
Ini adalah upacara yang sangat besar. Para tamu yang diundang antara lain adalah para raja dari kerajaan-kerajaan tetangga. Tidaklah mudah menyelenggarakan upacara besar ini. Lokasi dan pendirian tempat korban harus dipersiapkan dengan sangat rinci sesuai tradisi yang berlaku. Ada ahli khusus yang mengarahkan penataan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam upacara. Acara itu membutuhkan pendirian kemah-kemah besar yang dapat menampung, menjamu, dan menghibur puluhan ribu tamu, termasuk di dalamnya para pangeran dan resi dari daerah sekitar. Pendek kata, upacara persembahan kuda pada zaman itu dapat kita samakan dengan konferensi atau ekshibisi berskala besar yang disponsori negara.

2.      Sambil mengucapkan terima kasih kepada sang resi, Raja Wismamitra berkata, “Engkau harus menyerahkan lembu ini kepadaku karena lembu semacam ini akan lebih bermanfaat jika menjadi milikku. Kemakmuran dan kesaktian semacam ini seharusnya menjadi milih seorang raja.”
è Dari penggalan cerita ini, kode budaya yang dapat kita ambil adalah bahwa dari dulu kala, seorang raja selalu ingin berkuasa, walau dengan merampas hak orang lain. Lembu yang dijelaskan pada penggalan cerita tersebut adalah sebenarnya milik Wasista, Lembu bernama Sabala ini adalah sumber segala kebutuhan tiada habis-habisnya. Maka saat Wismamitra disuguhi jamuan yang beraneka ragam oleh Wasista, dia terheran-heran , dan menanyakan apa yang membuatnya kaya seperti itu. Namun, di dalam cerita ini dijelaskan bahwa, Wasista bersikukuh untuk tidak mau memberikan lembu itu kepada Raja Wismamitra, dengan segala cara Wismamitra merebut lembu tersebut, namun akhirnya dia dikalahkan oleh Wasista. Kode budaya yang ada yaitu: seorang raja selalu ingin berkuasa. Jika kita sinkronkan dengan keadaan sekarang, maka tentunya masih ada. Selalu saja, orang yang di atas adalah orang yang paling berkuasa. Dan rakyatlah yang akhirnya menjadi korbannya.

3.      Bertapa , missal dalam penggalan:
a.       Wismamitra sendiri pergi ke Pegunungan Himalaya untuk bertapa. Ia memohon kepada Batara Syiwa supaya dianugerahi kesaktian untuk mengalahkan Resi Wasista.
è Kode budaya lain yang muncul dalam cerita ini adalah budaya bertapa. Tapa merupakan salah satu kegiatan untuk bisa mendapatkan sebuah kesaktian, tapa merupakan sebuah laku prihatin agar bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Dijelaskan disini, karena kegigihan dari Wismamitra dalam menjalani tapa brata dengan keras dan tekun, akhirnya Batara Syiwa berkenan menampakkan diri dan mengabulkan permintaan Wismamitra yaitu memberkan semua senjata yang dimiliki para dewa, gandarwa, resi, yaksa, dan iblis.  Tapa brata juga dilakukan Wismamitra untuk mendapatkan gelar menjadi brahmaresi. Kalau kita sinkronkan dengan keadaan sekarang bertapa adalah suatu bentuk prihatin kita. Contohnya saja, para kyai yang ingin menambah ilmu atau kekuatannya, ia harus melakukan ritual-ritual tertentu.

4.      “Aku akan persiapkan upacara korban yang memungkinkanmu naik ke surga bersama dengan tubuhmu ini…”
è Penggalan kata-kata Wismamitra ini mengandung kode budaya, yaitu upacara korban yang dilakukan untuk mengembalikan Raja Trisanku naik ke surga dan bebas dari kutukan. Dijelaskan di dalam cerita ini, upacara yang dilakukan gagal. Akhirnya, Wismamitra mengambil sesendok besar dupa dan melemparkannya ke dalam api. Katanya, “Yang Mulia Trisanku, lihatlah kekuatan yogaku. Aku akan berikan semua kebaikan yang telah aku lakukan untukmu. Jika tapa brataku memang punya kekuatan, engkau akan terangkat ke surga bersama jasadmu. Aku tidak peduli jika para dewa tidak berkenan menerima korban persembahanku. Yang Mulia Trisanku, naiklah ke surga!”. Dan akhirnya Raja Trisanku terangkat ke surga. Kalau kita sinkronkan dengan keadaan sekarang, upacara korban merupakan suatu acara untuk menyempurnakan jasad ruh, dalam hal ini mungkin dengan melakukan pemakaman.

5.      Karena ingin melaksanakan upacara korban persembahan, Janaka mempersiapkan lahan yang akan menjadi tempat upacara. Sebagaimana adat kebiasaan, ia mencangkul sendiri tempat itu.
è Kode budaya yang ada yaitu : Upacara korban persembahan yang dilakukan Janaka untuk meminta keturunan. Pada saat ia membersihkan lahan dan meratakannya, Janaka melihat bayi nan elok di sela-sela belukar. Akhirnya, bayi itu diangkat menjadi anaknya, dan diberi nama Sinta. Upacara korban persembahan jika kita sinkronkan dengan masa sekarang, kira-kira berupa suatu hajatan atau ritual doa bersama untuk meminta sesuatu kepada Allah.

6.      Tempat-tempat keramat, seperti penggalan :
Memang sungai atau perbukitan, pepohonan atau awan-agemawan, juga objek keindahan apa pun bisa membangkitkan perenungan tentang Ada Tertinggi dan perasaan hormat yang mendalam kepada-Nya. Secara khusus, tempat-tempat yang dikeramatkan-seperti sungai, candi, atau gambar yang dikeramatkan – yang selama bergenerasi menjadi objek pemujaan atau kebaktian, memiliki dalam derajat tertentu kekuatan seperti itu. Berkat pikiran-pikiran suci yang diarahkan dan diserapnya seperti kain yang menyerap aroma pewangi, objek-objek semacam itu jadi memiliki kekuatan yang mengingatkan pada sang Ada Tertinggi.
è Penggalan cerita ini terdapat kode budaya yaitu mempercayai adanya tempat-tempat keramat. Pada masa sekarang, kita pun juga masih percaya dan sering mendengarkan adanya tempat-tempat yang dikeramatkan. Seperti berupa tempat pemandian, pohon besar,dll.

7.      “Ketika kalian pergi berburu dan meninggalkannya sendirian, aku akan menjaga Sinta.”
è Kode budaya yang terkandung dalam penggalan cerita ini adalah berburu. Kemungkinan besar, tradisi berburu sudah menjadi budaya bagi para raja, dan masyarakat lainnya. Budaya berburu pada masa sekarang kemungkinan besar seperti berkelana sebagai seorang musafir atau bisa saja kita samakan dengan pergi kesuatu tempat untuk mencari nafkah untuk anak dan istri.

8.      “Putriku Sinta hanya akan menikah, dengan pangeran yang mampu mengangkat, merentangkan, dan melepaskan busur Syiwa pemberian Batara Baruna.”
è Penggalan kata-kata Raja Janaka itu terdapat kode budaya yaitu, Raja Janaka melakukan sayembara untuk mendapatkan Sinta. Karena beliau tidak rela jika Sinta dipersunting oleh sembarang orang. Siapa saja yang mampu mengangkat, merentangkan, dan melepaskan busur Syiwa dialah pemenangnya. Disini dapat kita ambil kesimpulan bahwa, pada jaman dahulu budaya seperti sayembara untuk memperebutkan sesuatu masih digunakan. Jika kita sinkronkan dengan sekarang. Budaya sayembara ini digantikan dengan kompetisi untuk mendapatkan sesuatu, seperti pekerjaan, dll.

9.      Di sungai suci itu, mereka membersihkan diri dan resi melaksanakan upacara penyucian diri. Kemudian, para resi menata pertapaan dan mempersiapkan upacara puja. Setelah itu, mereka mempersiapkan makan. Seusai makan, mereka duduk mengelilingi Wismamitra. Atas permintaan kedua pangeran, ia menceritakan sejarah sungai Gangga.
è Dapat kita tarik kesimpulan bahwa kode budaya yang ada pada penggalan cerita ini yaitu budaya pembersihan diri untuk melakukan tapa brata. Kalau kita samakan dengan jaman sekarang seperti melakukan wudhu sebelum solat. Budaya ini tentunya sangat begitu jelas dikalangan orang islam. Dengan berwudhu berarti kita menyucikan diri dari adanya hadas kecil didalam tubuh kita. Sebelum menyembah Allah sudah semestinya harus suci.

10.  Rama dan Lesmana bersujud menyentuh kaki istri Resi Gautama yang telah menjadi suci lagi berkat laku tapa berat. Ahalya menyambut kedua pangeran itu sesuai keramahtamahan yang diminta adat kebiasaan. Hujan bunga turun dari kahyangan ketika Ahalya menebarkan cahaya memukau seperti layaknya seorang dewi; tidak berapa lama, Resi Gautama kembali ke asrama. Ia kembangkan tangan untuk menerima kembali istrinya yang telah menjalani laku pertaubatan dan penyucian diri ke dalam haribaan kasih dan sayang suami istri.
è Pada bagian ini terdapat kode budaya yaitu:
a.       Ahalya menyambut kedua pangeran sesuai keramahtamahan yang diminta adat kebiasaan. Hal ini beraarti menunjukkan adanya kode budaya. Karena adat kebiasaan yang masih dilakukan merupakan bagian dari kebudayaan. Kalau kita sinkronkan dengan budaya kita, seperti budaya orang Jawa yang apabila di datangi oleh seseorang, dia akan menyambut dengan ramah, dengan berbagai hidangan,dll.
b.      Pada bagian lain juga masih ada kode budaya yaitu: penyucian diri.
Penyucian diri dianggap sebagai kode budaya karena, jika kita sinkronkan dengan ajaran agama islam seperti mandi junub. Penyucian ini dilakukan oleh Ahalya yang dianggap telah berselingkuh dari suaminya yaitu Gautama.

11.  Dasarata dan rombongan tiba di Mithila. Mereka disambut dengan suka cita. Setelah saling menyampaikan salam dan menanyakan kabar, Janaka berkata kepada Dasarata, “Upacara korbanku akan segera selesai. Sebaiknya kita selenggarakan pernikahan setelah upacara korban, dan mohon perkenanmu, Raja Dasarata.”
“Paduka adalah ayah mempelai perempuan dan Padukalah yang berhak mengatur upacara pernikahan.”
Pada jam dan hari yang telah ditetapkan, Raja Janaka menyerahkan mempelai perempuan, “Inilah putriku, Sinta. Ia akan menyertaimu di jalan dharma. Sambutlah tangannya, ia adalah perempuan terberkati dan setia. Seperti layaknya bayangan, ia akan selalu menemanimu:
Iyam Seeta mama sutaa
sahadharmacharee tava
prateechchha chainaam bhadram te
paanim grihneeshwa paanimaa
pativrataa mahaabhaagaa
chhaayevaanugataa sadaa
syair ini biasanya didaraskan dalam pernikahan di India ketika pihak keluarga menyerahkan mempelai perempuan.
è Kode budaya yaitu : upacara korban (upacara untuk pernikahan ) dan syair yang dibacakan pada saat pernikahan.
è Kalau kita sinkronkan dengan masa sekarang seperti tradisi kita yaitu saat acara ijab kobul.

12.  Satu-satunya keinginanku sekarang adalah menobatkanmu di singgasana moyangku. Kemarin malam, aku bermimpi buruk. Para penafsir mimpi mengatakan kedukaan besar, bahkan mungkin kematian, barangkali akan menimpaku. Karena itu, aku ingin upacacara penobatan dilaksanakan besok. Kata ahli perbintangan, besok adalah hari yang baik. Hatiku berkata, “Segera laksanakan upacara penobatan.” Malam ini, engkau dan Dewi Sinta harus berpuasa untuk persiapan upacara. Tidurlah di tempat tidur yang beralas rumput darbha dan mintalah para sahabat terpercaya untuk menjagamu.
è Kode budaya yang ditunjukkan disini adalah:
a.       Percaya pada ahli perbintangan untuk memilih hari yang baik dalam melaksanakan upacara penobatan. Jika kita sinkronkan dengan keadaan saat ini, masih berlaku, orang-orang saat ini, kadang pergi kepada Kyai untuk memilih hari pernikahan, atau melakukan hal-hal lain yang dianggap penting. Ini mempunyai nilai budaya yang saat ini masih sangat kental dimasyarakat kita.
b.      Upacara penobatan. Upacara penobatan menunjukkan kode budaya. Jika kita sinkronkan dengan masa sekarang yaitu syukuran karena kenaikan pangkat atau yang lain. Adat istiadat ini masih sangat kental dilakukan pada masyarakat kita.
c.       Puasa untuk persiapan upacara. Tradisi ini merupakan sebuah kode budaya, jika kita bandingkan dengan masa sekarang, tradisi puasa untuk persiapan upacara seperti layaknya kita melakukan tirakat dulu dengan puasa ketika akan mengadakan hajatan besar atau ketika kita meminta sesuatu. Tirakat ini tujuannya agar semua yang kita inginkan bisa berjalan dengan lancar dan hasilnya pun juga akan maksimal.

13.  Ketika kembali ke istana, Wasista melihat orang-orang berkumpul di jalan menuju istana. Dengan hati gembira, mereka membicarakan upacara agung yang akan dilangsungkan besok. Orang-orang sibuk menghias rumah dengan bunga-bunga, rangkaian kembang, dan umbul-umbul. Karena jalan-jalan ramai, Resi Wasista harus bersusah payah supaya bisa masuk ke istana raja.
Pada hari Raja Dasarata mengundang pertemuan agung para tertua serta pemuka kerajaan dan mengangkat Rama menjadi Yuwaraja, Mantara naik ke teras keputren dan dari atas melihat-lihat kota. Ia melihat orang-orang membersihkan dan menghias jalan-jalan. Umbul-umbul aneka warna terpasang di atap-atap rumah. Orang-orang mengenakan pakaian baru dan perhiasan yang gemerlap. Mereka bersolek dan mempercantik diri dengan bunga-bunga. Mereka tampak mondar-mandir di antara kerumunan, asyik membicarakan sesuatu yang tampaknya menggembirakan. Suara tabuhan gamelan terdengar di kuil-kuil.
è Kode budaya yang ada pada penggalan cerita ini melukiskan bahwa untuk melakukan upacara penobatan. Orang-orang menghias diri dan menghias jalan-jalan dengan berbagai pernak-pernik. Kalau kita sinkronkan dengan keadaan kita, adat istiadat atau tata cara seperti ini masih ada dimasyarakat kita. Seperti ketika kita ingin masuk pada bulan agustus. Kita sering menyibukkan diri untuk menghias kampung-kampung kita dengan berbagai hiasan. Bulan agustus kita anggap sebagai hari yang bersejarah untuk bangsa kita. Masyarakat sangat gembira menyambut bulan ini. Atau jika kita sinkronkan dengan yang lain, seperti saat acara pernikahan atau pada acara-acara seperti syukuran, kita selalu disibukkan dengan mendekor, memasang hiasan-hiasan. Dan kita juga selalu memakai pakaian khusus saat pergi pada acara-acara seperti ini.

14.  Menurutku tidak semestinya kalian semua memintaku untuk naik tahta. Menurut tradisi istana kita, anak tertualah yang berhak naik tahta. Dengan segala hormat kepada kalian semua, aku putuskan untuk pergi ke hutan dan menjemput Kanda Rama kembali ke Ayodya, bersama dengan Kanda Lesmana dan Dewi Sinta……”
è Pada penggalan cerita ini terdapat kode budaya yaitu ditunjukkan pada : Menurut tradisi istana kita, anak tertualah yang berhak naik tahta.
Dari sini bisa kita ambil kesimpulan bahwa: nilai budaya yang masih melekat pada kerajaan atau adat istiadat yang masih dijunjung tinggi disana adalah anak tertua yang mempunyai hak naik tahta (menjadi raja). Disini diceritakan bahwa Bharata tidak mau mengambil kekuasaan yang seharusnya menjadi milik kakaknya yaitu Rama.

15.  Para pejabat istana dan tetua susah payah melepaskan pelukan Dewi Kausalya dan membawanya pergi menjauh. Kemudian, mereka membicarakan upacara pemakaman. Mereka tidak bisa segera melaksanakan upacara karena Rama dan Lesmana telah pergi ke hutan serta Bharata dan Sutruguna berada jauh di kediaman paman mereka. Mereka putuskan untuk menjemput Bharata dan mengawetkan jenazah sementara seraya menunggu kedatangan Bharata.
è Kode budaya yang ada yaitu : upacara pemakaman. Upacara pemakaman harus ada salah satu wakil dari anak Raja. jika kita sinkronkan dengan keadaan sekarang tentunya masih ada acara pemakaman jenazah.

16.  Suatu pagi pada awal musim dingin, seperti biasa mereka bertiga pergi ke Sungai Godawari untuk mandi dan melakukan persembahyangan pagi, serta tentu saja, mengambil air untuk kebutuhan sehari-hari. Sambil berjalan, mereka berbincang tentang keindahan pagi. Pikiran Lesmana melayang kepada Bharata dan bagaimana ia mempersiapkan upacara persembahyangan untuk musim dingin.
è Kode budaya yang ada pada bagian cerita ini adalah:
a.      Persembahyangan pagi yang dilakukan oleh Rama, Sinta, dan Lesmana. Persembahyangan pagi merupakan salah satu budaya yang ada dalam cerita ini. Dalam, bagian lain juga disebutkan bahwa Rama memberikan pesan kepada Sinta saat ia akan pergi ke hutan selama 14 tahun agar Sinta tidak melupakan sembahyang dan tapa brata, yaitu pada penggalan:
Putriku, Dewiku, aku bisa bayangkan betapa sedih hatimu berpisah dariku dan tetap tinggal di sini. Putri Raja Janaka, tanpa bimbinganku kau bisa jalankan tugas-tugasmu. Bahagiakan raja dan ketiga permaisuri – ibu-ibumu. Jangan mengharap perlakuan yang lebih baik daripada yang diterima putri-putri lain di istana. Hormatilah Bharata yang akan jadi raja dan jangan sampai menyinggung perasaannya. Aku percaya, selama aku pergi, cintamu untukku tidak akan berkurang sedikit pun. Jangan lupakan sembahyang dan tapa brata. …….”
è Dari sini maka dapat kita ambil sebuah kode budaya yaitu melakukan sembahyang dan tapa brata. Jika kita sinkronkan dengan keadaan sekarang, kemungkinan budaya ini adalah seperti halnya, solat dan berdoa kepada Allah.
b.      Upacara persembahyangan untuk musim dingin juga merupakan salah satu budaya pada masyarakat India yang diceritakan melalui kisah ini. Upacara ini mungkin merupakan upacara untuk menyambut datangnya musim dingin.

17.  Sambil melempar dupa ke dalam api, kedua pangeran mendaraskan doa-doa suci untuk jiwa jatayu. “Wahai Raja Burung, semoga engkau beroleh buah-buah kebahagiaan dari orang-orang yang melaksanakan upacara korban besar. Semoga engkau menikmati kebahagiaan Wanaprasta dari orang-orang yang menjalani tapa brata yang berat. Semoga engkau beroleh kebahagiaan dari orang-orang yang memberikan sumbangan besar bagi tanah air. Semoga engkau menikmati kebahagiaan dari orang-orang yang bertarung dengan gagah berani di medan laga. Semoga engkau beroleh kebahagiaan yang dirasakan orang-orang yang berbudi luhur. Setelah melaksanakan upacara korban, Rama lebih tenang dan tabah.
è Kode budaya yang ada pada bagian ini adalah upacara korban besar untuk pemakaman Jatayu. Pada bagian ini, merupakan kode budaya yang berkembang pada tradisi di India.

18.  Kode budaya yang lain yaitu adanya misteri inkarnasi. Pribadi inkarnasi selalu memanggul debu dan air mata tubuh yang didiami dan menderita serta bersedih hati seperti manusia pada umumnya. Kemunduran kesehatan dan ratapan duka Rama bisa dibandingkan dengan perilaku pribadi inkarnasi yang dihormati umat beriman lainnya.

19.  Hanoman segera kumpulkan kayu bakar dan membuat api. Sambil berjalan mengelilingi api unggun, Rama dan Sugriwa mengucapkan sumpah persahabatan: “Marilah saling berbagi suka dan duka.” Mereka bersumpah, “Semoga persahabatan ini abadi.”

è Kode budaya yang ada adalah sumpah persahabatan yang dilakukan dengan mengelilingi api unggun. Jika kita sinkronkan dengan sekarang, mungkin untuk membina sebuah tali persahabatan, kita simbolkan dengan berjabat tangan, atau menyatukan kelingking, atau dengan sebuah benda, seperti gelang,dll.

20.   Sementara Sugriwa dan Rama berbincang, di taman Asoka nun jauh di sana, kelopak mata kiri Sinta berkedut. Bagi kaum perempuan, kedutan ini merupakan pertanda baik. Pada saat yang sama, kelopak mata kiri raja raksasa juga kedutan. Itu pertanda buruk.
è Dari sini maka dapat kita ambil sebuah nilai budaya yang berupa kepercayaan, yaitu sebuah kedutan mata. Jika kita sinkronkan dengan masyarakat Jawa, kejadian-kejadian serta kepercayaan seperti ini masih melekat pada masyarakat Jawa. Sebagai contoh: jika mata kiri berkedut maka tandanya ada orang yang sedang kangen kepada kita. Atau bisa juga kita samakan dengan, jika telinga sebelah kanan memerah dan panas, maka ada seseorang yang sedang membicarakan kebaikannya. Namun, jika telinga sebelah kiri yang panas dan memerah berarti ada seseorang yang sedang membicarakan kejelekannya.

21.  Paling kurang, setahun sekali, orang-orang yang menjalani tradisi kuno mendaraskan doa: kaamokaarsheet manyurakaarsheet (nafsu membujukku ke dalam dosa, amarah mengundangku ke dalam dosa). Dengan mengucapkan doa tersebut berulang-ulang dan rasa sesal yang dalam, mereka berharap bisa membersihkan hati dari dosa. Itulah praktik yang harus diikuti semua orang, menyesal dan memurnikan hati kembali, dan memasrahkannya kepada Yang Ilahi, kaamokaarsheet manyurakaarsheet, Naaraayanaayanamah.
è Bagian yang di cetak tebal tersebut merupakan salah satu kode budaya yang ada dalam cerita Ramayana, jika kita sinkronkan dengan keadaan sekarang mungkin dapat di samakan dengan ajaran yang ada dalam agama islam, yaitu pada malam Nifsu Sya’ban, saat semua amal kita selama setahun akan dilaporkan kepada Allah, kaum muslimin dan muslimat, melaksanakan solat taubat untuk membersihkan dosa-dosanya, serta membaca surat Yasin 3x.

22.  Rama
Tokoh rama disini digambarkan sebagai sosok ksatria tangguh, yang baik hati dan  berhati mulia, tampan, rajin serta pandai. Nama Rama pada jaman sekarang digunakan oleh masyarakat kita untuk memberi nama pada anak-anaknya. Kemungkinan, dengan memberikan nama Rama, anak tersebut dapat mempunyai watak seperti Rama pada tokoh Ramayana. Ini lah yang menjadi salah satu kode budaya yang sampai sekarang masih ada.

23.  Sinta
Dewi Sinta digambarkan sebagai sosok wanita yang sangat cantik, bahkan kecantikannya tak tertandingi. Dia adalah sosok yang setia dan baik hati. Kode budaya yang ada dari penggambaran sosok Sinta adalah nama Sinta yang dipakai untuk nama-nama orang. Jika kita analisis, banyak sekali orang-orang yang menamai anak-anaknya Sinta. Mungkin, harapan orang tua, dengan memberikan nama Sinta, kelak anaknya bisa menjadi sosok wanita yang tangguh, cantik, baik hati, dan setia layaknya sosok Sinta dalam Ramayana.
24.  Pada kisah Ramayana ini diceritakan bahwa, Subali menitipkan Anggada dan istrinya Tara kepada Sugriwa. Pada cerita ini, zaman dahulu, ketika saudara tua mati dan meninggalkan seorang istri, tradisi istana dan keluarga ningrat mensyaratkan saudara muda untuk mengambil sang janda sebagai istri dan melindunginya.
Yaitu pada bagian:
“Subali, yang kembali sadar, membuka mata untuk terakhir kalinya. Katanya kepada Sugriwa, “Saudaraku, semestinya kita berdua bisa menjalin persahabatan dan memimpin kerajaan ini dengan damai; tapi semua itu tak terjadi karena kita kurang bijaksana dan kurang puas dengan keadaan kita. Bukan kau, tapi akulah yang bersalah. Lantas, mengapa bicara soal itu kini? Mulai sekarang, kau akan pimpin kerajaan ini. Kutitipkan Anggada, putraku, yang kami – aku dan Tara – sayangi lebih daripada hidup kami sendiri. Ia adalah prajurit yang kesaktiaanya setara denganmu. Anggaplah ia seperti anak sendiri. Didiklah dia dengan kebaikan. Hanya itu yang kuminta darimu. Bersikaplah baik kepada Tara. Ia tidak hanya istri yang tanpa cela dan penuh kasih, tapi juga penasihat yang berpandangan jauh ke depan dan sangat bijak. Apa pun yang ia ramalkan akan terjadi. Jangan abaikan nasihatnya dalam hal apa pun. Ini, ambillah medali pemberian Batara Indra………..”
è Dari tradisi ini maka kita dapat mengambil kode budaya, yaitu ketika saudara tua mati dan meninggalkan seorang istri, tradisi istana dan keluarga ningrat mensyaratkan saudara muda untuk mengambil sang janda sebagai istri dan melindunginya.
è jika kita sinkronkan dengan keadaan sekarang mungkin, bisa saja kita sinkronkan dengan, jika seseorang meninggalkan anak dan istrinya, sudah barang tentu dan menjadi kewajiban saudara yang masih hidup untuk melindungi istri dan anak dari saudara yang meninggal. Namun, jika kita sinkronkan dengan pemerintahan atau kekuasaan, missal seorang walikota meninggal, maka wakilnya akan menggantikan kedudukannya menjadi walikota.


0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Website templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesFree Soccer VideosFree Wordpress ThemesFree Web Templates