Analisis Novel

ANALISIS NOVEL DAN WUJUD TEORI SEMIOTIK
DALAM NOVEL “Godane Prawan INDO”
Karya ANY

Oleh
Tiur Wulan Anggraeni
(2601412092)

Teori semiotik menurut A.Teeuw dikelompokan menjadi 3 yaitu
o   Kode Bahasa
Dalam novel, kode bahasa di wujudkan dalam diksi atau pemilihan kata, gaya bahasa dan pola kalimat.
A.     Diksi atau Pemilihan Kata
ü  “wis An, tjukup semene wae tjeritaku. Wis kesel lehku ndremimil. Tur meneh iki jaw is wengi ngene  djare---“
Kata yang bergaris bawah berarti bercerita, berceloteh atau bisa juga di artikan “ngomong” namun disini pengarang memilih diksi ndremimil yang juga berarti sama.
ü  “ Ijak….mung didjaluki tulung ngono wae kok kakehan tjing-tjong lo kowe iki. Ora ilang ta wis  jen  mung nulungi aku wae”
Kata yang bergaris bawah sangat unik, bukanlah bahasa baku dalam KBBI namun bahasa tersebut sering digunakan dalam komunikasi sehari-hari yang berarti banyak bicara atau cerewet.
ü  “Tekan ngarepe tuan Hoffman anggone mbagegake rombongan kita ora nganggo boso Walanda utawa Inggeris , nanging deweke migunakake basa Indonesia sing lantjar, malah tjara Djawa barang ija wasis banget lan mlepes bisa basa alus karma inggil.”
Kata Mlepes berarti mahir, diksi ini sangat penting untuk memberi arti yang lebih menekan arti kata tersebut. Agar kesan melebih-lebihkan dapat dirasakan oleh pembaca.
B.     Gaya Bahasa
Bagaimana penulis menyampaikan gaya bicaranya dalam penokohan yang ada dalam novel.
Dalam novel ini Any menggunakan gaya bahasa jawa tengahan. Terbukti dengan cara dia melafalkan kata dalam tulisanya seperti contoh dibawah ini :
ü  Let rong wulan metuku saka rumah-sakit, aku mulih menjang Sala.”
Kalimat diatas jika diartikan kedalam bahasa Indonesia menjadi, “sejak dua bulan kepulanganku dari rumah sakit, aku pulang ke Sala.
è Kata “Let”, setahu saya  dalam bahasa jawa sekarang ini sudah tidak lagi terdengar atau diucapkan di daerah manapun. Sehingga tidak mudah memahami maksud penulis jika pola tata kalimatnya tidak jelas.
è Kata “menjang”, penulis dalam mengucapkan fonem “ny” disini masih di tulis dengan huruf “J”. Sekarang ini, model penulisan seperti itu sudah tidak dipakai lagi.
Semua gaya bahasa dan penulisan fonem yang sepeti itu selalu digunakan Any dalam menyampaikan ceritanya. Cermati kalimat dibawah ini:
Satamate pematjaku, lajang nuli tak-lebokake menjang amplop terus tak-simpen neng latji.
           
C.     Pola Kalimat
Pola kalimat yang disajikan sangat jelas subjek, predikat, object dan keteranganya. Sehingga pembaca tidak bingung memahami maksud yang disampaikan dalam setiap kalimat.
Seperti beberapa contoh berikut :
ü  Let sepuluh dina aku budal numpak kapal saka darmaga pitu Tandjung Priuk.”
                                   Ket.waktu         S          P          ket.cara                                    ket.tempat
ü  Dumadakan lagi oleh rong sasi, ibune Evie ngadjal.
Ket.waktu                         S               P
o   Kode Sastra
Kode sastra adalah unsur estetika yang membangun keindahan sastra (bisa berupa unsur intrinsic)
A.     Alur : alur sangat jelas, dalam novel ini diceritakan secara runtut. Sehingga termasuk dalam alur maju.
B.     Penokohan : unsur penokohan disini juga merupakan salah satu kode sastra.
Terlihat kesedihan seorang Evie selama di Nederland, sosok Evie digambarkan sangat tegar dalam menjalani beban hidupnya sendiri sebagai perempuan yang bekerja dipertambangan kala itu.
“ Kabeh mau tak-tampa kanthi pamuwung, eluhku wis asat-tuntas nganti ora bisa nangis maneh. Puluh-puluh wis dadi nasibe awaku.”
“ Aduh mas, jen ora gede2 pertjaja lan imanku, rasane wis ora kuat maneh, bisoa mono kepengin enggal mungkasi lakon, nganjut tuwuh nutup riwajating uripku kang kebak panandang iki.”
Dari curahan hati si Evie dalam suratnya untuk Ratwinta sangatlah bisa dirasakan aura estetika seorang perempuan muda yang merantau dalam kesendirian, tanpa cinta dan tanpa saudara. Sosok Evie yang tabah menerima dan menjalani keputusanya untuk kembali ke Nederland.
Keindahan novel ini juga digambarkan oleh tokoh Any yang sangat peduli terhadap jalinan kasih Ratwinta dan Evie yang hanya bisa berkomunikasi lewat surat. Hal itu tergambar dalam dialog berikut :
“Ja mung kowe sing kudu kuwat rat, djer mbokmanawa pantjen wis ginaris dening Kang Murbeng Kuwasa jen Evie kuwi mula dudu djodomu!—wangsulanku kanggo ngejem-ejemi atine, sanadjan atiku dewe melu krasa jaja dirudjit-rudjit.”
C.     Latar atau Plot
Kode sastra yang lain yaitu berupa latar atau plot yang menggambarkan keasingan Negara Nederland tempat evie bekerja. Seperti dalam cerita Evie berikut :
“Kita kabeh wis manggon dadi siji ana ing kuta Limburg, kumpul dadi sak-asrama. Dene anggone njambut-gawe pada pating blesar golek pakarjan dewe2. Jen sing rada duwur pendidikane, bisa ketampa njambutgawe neng pabrik “Philips” ing Eindhoven. Nanging jen kepinterane mung tangung2, paling2 njambutgawe ana ing tambang batubara.”
Dari cuplikan diatas terdapat lebih dari satu latar tempat yang ada dalam cerita novel tersebut. Menambah nilai estetika bahwa kesengsaraan Evie dalam cerita juga didukung oleh lingkungan yang bukan semestinya tempatnya bekerja.
D.     Amanat atau Pesan moral yang ada dalam novel
Kode sastra yang lain yaitu berupa sebuah ajaran yang dinyatakan dalam bahasa yang lain dari yang lain, seperti cuplikan di bawah ini:
“Vergeef het mij! Ik wil geen Nederlandsche stuken meer spelen want ik bliif tot mijn hart en nieren een Indonesier!”
Yang berarti:
Ja apuranen wae! Menawa kita iki tetep ora bisa lan ngemohi lagu2 walanda. Sebab senadjan dikaja ngapa ing sadjroning sanubari kita wis kabutjut mbulung-sungsum mandjing rasa dadi wong Indonesia!
Amanat dari novel yang kita dapat dari cuplikan diatas adalah rasa nasionalisme sebagai bangsa yang cinta Indonesia, diwujudkan dalam penolakan warga Indonesia yang ada disana untuk tidak menyanyikan lagu kebangsaaan selain lagu bangsa Indonesia.
E.      Permajasan dan Syair
Keindahan karya sastra juga sangat erat dengan makna yang tidak lugas dan sifatnya kias, dalam cerita diwujudkan dalam cuplikan kata yang dicetak miring berikut :

“ Apa maneh bareng tansah bisa sesambungan lajang karo Evie, donjaku dadi padang maneh, bisa bali kaja wingi uni”
donjaku dadi padang berarti kehidupan Ratwinta akan lebih berarti jika ada Evie disampingnya.
Berikut adalah majas Hiperbola yang sifatnya melebih-lebihkan :
“ Aku dewe sak-bakdane kuwi ja rumangsa getun banget, kena diumpamake sewu gela dadi siji.”
“ Pikiranku wis lumpuh, atiku wis ndjendel-matu, eluhku wis asat-tuntas nganti ora bisa nangis maneh. Puluh2 wis dadi nasibe awaku.
Ada pula permajasan analogi yang membandingkan :
“ uripku tansah kedungsangan ing kasusahan. Rumangsaku tanpo nganggo kepenaran, bebasan suket-godong kaju-watu dadi mungsuh. Saenggon2 kebak goda-rentjana”

Estetika antar unsur juga sagat jelas tergambarkan dalam cuplikan berikut :
“saja wengi sajatumlawung swarane, wiramane  saja nglangut nganjut-anjut ngeres-eresi ati, malah ora setitik sing karo mrebes mili, kaja2 kanti tjara mangkono bis njutak rasa kangene marang Indonesia, kangen marang tanah kelairane, kelingan mrang Negara kang pandjang-pundjung pasir-wukir loh-djinawi. Tanah Nusantara kang idjo-royo2 kebak pengeling0eling kang edi endah”
o   Kode Budaya
Kode budaya adalah pemahaman terhadap latar kehidupan, konteks, dan sistem sosial budaya. Menurut Chapman (1980: 26), kelahiran karya sastra diprakondisikan oleh kehidupan sosial budaya pengarangnya. Karena itu, sikap dan pandangan pengarang dalam karyanya mencerminkan kehidupan sosial budaya masyarakatnya.
“ Tudjune pondokanku tjerak karo gredja. Ja ana ing gredja mau nasibing awaku tak pasrahke marang ngarsane Pangeran.”
Dari cuplikan diatas terlihat budaya sosial sekitar tokoh bahwa lingkungan tempatnya religious dan kebiasaanya dating ke gereja.
“ Enggal2 Evie ndjaluk idin marang Suster perlu arep ngeterke aku ndeleng2 istana Versailles, djer tekaku mrono ora lija perlu ndjaluk dieterake nonton kraton.”
Penulis menuturkan istana dan kraton, mampu menslimulus pembaca untuk membayangkan bahwa kebudayaan disana juga terdapat kastil dan bangunan besar yang dipertontonkan. Termasuk kode budaya karena tidak semua tempat terdapat hal yang sama seperti dalam konteks cuplikan di atas.


0 komentar:

Posting Komentar

Ajining Diri Saka Budi Pekerti lan Kendhaling Lathi

Selasa, 10 Desember 2013

Analisis Novel

ANALISIS NOVEL DAN WUJUD TEORI SEMIOTIK
DALAM NOVEL “Godane Prawan INDO”
Karya ANY

Oleh
Tiur Wulan Anggraeni
(2601412092)

Teori semiotik menurut A.Teeuw dikelompokan menjadi 3 yaitu
o   Kode Bahasa
Dalam novel, kode bahasa di wujudkan dalam diksi atau pemilihan kata, gaya bahasa dan pola kalimat.
A.     Diksi atau Pemilihan Kata
ü  “wis An, tjukup semene wae tjeritaku. Wis kesel lehku ndremimil. Tur meneh iki jaw is wengi ngene  djare---“
Kata yang bergaris bawah berarti bercerita, berceloteh atau bisa juga di artikan “ngomong” namun disini pengarang memilih diksi ndremimil yang juga berarti sama.
ü  “ Ijak….mung didjaluki tulung ngono wae kok kakehan tjing-tjong lo kowe iki. Ora ilang ta wis  jen  mung nulungi aku wae”
Kata yang bergaris bawah sangat unik, bukanlah bahasa baku dalam KBBI namun bahasa tersebut sering digunakan dalam komunikasi sehari-hari yang berarti banyak bicara atau cerewet.
ü  “Tekan ngarepe tuan Hoffman anggone mbagegake rombongan kita ora nganggo boso Walanda utawa Inggeris , nanging deweke migunakake basa Indonesia sing lantjar, malah tjara Djawa barang ija wasis banget lan mlepes bisa basa alus karma inggil.”
Kata Mlepes berarti mahir, diksi ini sangat penting untuk memberi arti yang lebih menekan arti kata tersebut. Agar kesan melebih-lebihkan dapat dirasakan oleh pembaca.
B.     Gaya Bahasa
Bagaimana penulis menyampaikan gaya bicaranya dalam penokohan yang ada dalam novel.
Dalam novel ini Any menggunakan gaya bahasa jawa tengahan. Terbukti dengan cara dia melafalkan kata dalam tulisanya seperti contoh dibawah ini :
ü  Let rong wulan metuku saka rumah-sakit, aku mulih menjang Sala.”
Kalimat diatas jika diartikan kedalam bahasa Indonesia menjadi, “sejak dua bulan kepulanganku dari rumah sakit, aku pulang ke Sala.
è Kata “Let”, setahu saya  dalam bahasa jawa sekarang ini sudah tidak lagi terdengar atau diucapkan di daerah manapun. Sehingga tidak mudah memahami maksud penulis jika pola tata kalimatnya tidak jelas.
è Kata “menjang”, penulis dalam mengucapkan fonem “ny” disini masih di tulis dengan huruf “J”. Sekarang ini, model penulisan seperti itu sudah tidak dipakai lagi.
Semua gaya bahasa dan penulisan fonem yang sepeti itu selalu digunakan Any dalam menyampaikan ceritanya. Cermati kalimat dibawah ini:
Satamate pematjaku, lajang nuli tak-lebokake menjang amplop terus tak-simpen neng latji.
           
C.     Pola Kalimat
Pola kalimat yang disajikan sangat jelas subjek, predikat, object dan keteranganya. Sehingga pembaca tidak bingung memahami maksud yang disampaikan dalam setiap kalimat.
Seperti beberapa contoh berikut :
ü  Let sepuluh dina aku budal numpak kapal saka darmaga pitu Tandjung Priuk.”
                                   Ket.waktu         S          P          ket.cara                                    ket.tempat
ü  Dumadakan lagi oleh rong sasi, ibune Evie ngadjal.
Ket.waktu                         S               P
o   Kode Sastra
Kode sastra adalah unsur estetika yang membangun keindahan sastra (bisa berupa unsur intrinsic)
A.     Alur : alur sangat jelas, dalam novel ini diceritakan secara runtut. Sehingga termasuk dalam alur maju.
B.     Penokohan : unsur penokohan disini juga merupakan salah satu kode sastra.
Terlihat kesedihan seorang Evie selama di Nederland, sosok Evie digambarkan sangat tegar dalam menjalani beban hidupnya sendiri sebagai perempuan yang bekerja dipertambangan kala itu.
“ Kabeh mau tak-tampa kanthi pamuwung, eluhku wis asat-tuntas nganti ora bisa nangis maneh. Puluh-puluh wis dadi nasibe awaku.”
“ Aduh mas, jen ora gede2 pertjaja lan imanku, rasane wis ora kuat maneh, bisoa mono kepengin enggal mungkasi lakon, nganjut tuwuh nutup riwajating uripku kang kebak panandang iki.”
Dari curahan hati si Evie dalam suratnya untuk Ratwinta sangatlah bisa dirasakan aura estetika seorang perempuan muda yang merantau dalam kesendirian, tanpa cinta dan tanpa saudara. Sosok Evie yang tabah menerima dan menjalani keputusanya untuk kembali ke Nederland.
Keindahan novel ini juga digambarkan oleh tokoh Any yang sangat peduli terhadap jalinan kasih Ratwinta dan Evie yang hanya bisa berkomunikasi lewat surat. Hal itu tergambar dalam dialog berikut :
“Ja mung kowe sing kudu kuwat rat, djer mbokmanawa pantjen wis ginaris dening Kang Murbeng Kuwasa jen Evie kuwi mula dudu djodomu!—wangsulanku kanggo ngejem-ejemi atine, sanadjan atiku dewe melu krasa jaja dirudjit-rudjit.”
C.     Latar atau Plot
Kode sastra yang lain yaitu berupa latar atau plot yang menggambarkan keasingan Negara Nederland tempat evie bekerja. Seperti dalam cerita Evie berikut :
“Kita kabeh wis manggon dadi siji ana ing kuta Limburg, kumpul dadi sak-asrama. Dene anggone njambut-gawe pada pating blesar golek pakarjan dewe2. Jen sing rada duwur pendidikane, bisa ketampa njambutgawe neng pabrik “Philips” ing Eindhoven. Nanging jen kepinterane mung tangung2, paling2 njambutgawe ana ing tambang batubara.”
Dari cuplikan diatas terdapat lebih dari satu latar tempat yang ada dalam cerita novel tersebut. Menambah nilai estetika bahwa kesengsaraan Evie dalam cerita juga didukung oleh lingkungan yang bukan semestinya tempatnya bekerja.
D.     Amanat atau Pesan moral yang ada dalam novel
Kode sastra yang lain yaitu berupa sebuah ajaran yang dinyatakan dalam bahasa yang lain dari yang lain, seperti cuplikan di bawah ini:
“Vergeef het mij! Ik wil geen Nederlandsche stuken meer spelen want ik bliif tot mijn hart en nieren een Indonesier!”
Yang berarti:
Ja apuranen wae! Menawa kita iki tetep ora bisa lan ngemohi lagu2 walanda. Sebab senadjan dikaja ngapa ing sadjroning sanubari kita wis kabutjut mbulung-sungsum mandjing rasa dadi wong Indonesia!
Amanat dari novel yang kita dapat dari cuplikan diatas adalah rasa nasionalisme sebagai bangsa yang cinta Indonesia, diwujudkan dalam penolakan warga Indonesia yang ada disana untuk tidak menyanyikan lagu kebangsaaan selain lagu bangsa Indonesia.
E.      Permajasan dan Syair
Keindahan karya sastra juga sangat erat dengan makna yang tidak lugas dan sifatnya kias, dalam cerita diwujudkan dalam cuplikan kata yang dicetak miring berikut :

“ Apa maneh bareng tansah bisa sesambungan lajang karo Evie, donjaku dadi padang maneh, bisa bali kaja wingi uni”
donjaku dadi padang berarti kehidupan Ratwinta akan lebih berarti jika ada Evie disampingnya.
Berikut adalah majas Hiperbola yang sifatnya melebih-lebihkan :
“ Aku dewe sak-bakdane kuwi ja rumangsa getun banget, kena diumpamake sewu gela dadi siji.”
“ Pikiranku wis lumpuh, atiku wis ndjendel-matu, eluhku wis asat-tuntas nganti ora bisa nangis maneh. Puluh2 wis dadi nasibe awaku.
Ada pula permajasan analogi yang membandingkan :
“ uripku tansah kedungsangan ing kasusahan. Rumangsaku tanpo nganggo kepenaran, bebasan suket-godong kaju-watu dadi mungsuh. Saenggon2 kebak goda-rentjana”

Estetika antar unsur juga sagat jelas tergambarkan dalam cuplikan berikut :
“saja wengi sajatumlawung swarane, wiramane  saja nglangut nganjut-anjut ngeres-eresi ati, malah ora setitik sing karo mrebes mili, kaja2 kanti tjara mangkono bis njutak rasa kangene marang Indonesia, kangen marang tanah kelairane, kelingan mrang Negara kang pandjang-pundjung pasir-wukir loh-djinawi. Tanah Nusantara kang idjo-royo2 kebak pengeling0eling kang edi endah”
o   Kode Budaya
Kode budaya adalah pemahaman terhadap latar kehidupan, konteks, dan sistem sosial budaya. Menurut Chapman (1980: 26), kelahiran karya sastra diprakondisikan oleh kehidupan sosial budaya pengarangnya. Karena itu, sikap dan pandangan pengarang dalam karyanya mencerminkan kehidupan sosial budaya masyarakatnya.
“ Tudjune pondokanku tjerak karo gredja. Ja ana ing gredja mau nasibing awaku tak pasrahke marang ngarsane Pangeran.”
Dari cuplikan diatas terlihat budaya sosial sekitar tokoh bahwa lingkungan tempatnya religious dan kebiasaanya dating ke gereja.
“ Enggal2 Evie ndjaluk idin marang Suster perlu arep ngeterke aku ndeleng2 istana Versailles, djer tekaku mrono ora lija perlu ndjaluk dieterake nonton kraton.”
Penulis menuturkan istana dan kraton, mampu menslimulus pembaca untuk membayangkan bahwa kebudayaan disana juga terdapat kastil dan bangunan besar yang dipertontonkan. Termasuk kode budaya karena tidak semua tempat terdapat hal yang sama seperti dalam konteks cuplikan di atas.


0 komentar:

Posting Komentar

 
Free Website templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesFree Soccer VideosFree Wordpress ThemesFree Web Templates