Kepercayaan orang jawa
“kepercayaan”
berasal dari kata “percaya” adalah gerakan hati dalam menerima sesuatu yang
logis dan bukan logis tanpa suatu beban atau keraguan sama sekali kepercayaan
ini bersifat murni. Kata ini mempunyai kesamaan arti dengan keyakinan dan agama
akan tetapi memiliki arti yang sangat luas.
Kepercayaan-kepercayaan
dari agama hindu, budha, maupun kepercayaan dinamisme dan animisme itulah yang
dalam proses perkembangan islam berinterelasi dengan kepercayaan-kepercayaan
dalam islam.[1]
“orang
jawa” adalah orang yang berpenduduk asli jawa tengah dan jawa timur yang
berbahasa jawa atau orang yang bahasa ibunya adalah bahasa jawa.
Membahas
mengenai kepercayaan orang jawa sangatlah luas dan meliputi berbagai aspek yang
bersifat magic atau ghaib yang jauh dari jangkauan kekuatan dan kekuasaan
mereka. Masyarakat jawa jauh sebelum agama-agama masuk, mereka sudah meyakini
adanya Tuhan yang maha esa dengan berbagai sebutan diantaranya adalah “gusti
kang murbeng dumadi” atau tuhan yang maha kuasa yang dalam seluruh proses
kehidupan orang jawa pada waktu itu selalu berorientasi pada tuhan yang
maha esa. Jadi, orang jawa telah mengenal dan mengakui adanya tuhan jauh
sebelum agama masuk ke jawa ribuan tahun yang lalu dan sudah menjadi tradisi
sampai saat ini yaitu agama kejawen yang merupakan tatanan “pugaraning urip”
atau tatanan hidup berdasarkan pada budi pekerti yang luhur.
Keyakinan
terhadap Tuhan yang Maha Esa pada tradisi jawa diwujudkan berdasarkan pada
sesuatu yang nyata, riil atau kesunyatan yang kemudian direalisasikan pada tata
cara hidup dan aturan positif dalam kehidupan masyarakat jawa, agar hidup
selalu berlangsung dengan baik dan bertanggung jawab
Kejawen
adalah sebuah kepercayaan atau mungkin boleh dikatakan agama yang terutama yang
dianut di pulau jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di jawa.
Agama
kejawen sebenarnya adalah nama sebuah kelompok kepercayaan-kepercayaan yang
mirip satu sama lain dan bukan sebuah agama yang terorganisir seperti agama
islam atau agama kristen.
Ciri khas
dari agama kejawen adalah adanya perpaduan antara animisme, agama hindu dan
budha. Namun pengaruh agama islam dan agama kristen. Nampak bahwa agama ini
adalah sebuah kepercayaan sinkretisme.
Pengamatan Geetz tentang
mojokuto terkait profesi penduduk setempat. Penggolongan penduduk menurut
pandangan masyarakat mojokuto berdasarkan kepercayaan, profesi, etnis dan
pandangan politik dan di temukannya tiga inti struktur sosial yakni desa, pasar
dan birokrasi pemerintah yang mencerminkan tiga tipe kebudayaan abangan, santri
dan priyayi.
1.
Varian Abangan
Struktur
sosial desa biasanya diasosiasikan kepada para petani, pengrajin dan buruh
kecil yang penuh dengan tradisi animisme upacara slametan, kepercayaan terhadap
makhluk halus, tradisi pengobatan, sihir dan menunjuk kepada seluruh tradisi
keagamaan abangan
Bagi
sistem keagamaan jawa slametan, merupakan hasil tradisi yang menjadi perlambang
kesatuan mistis dan sosial di mana mereka berkumpul dalam satu meja
menghadirkan semua yang hadir dan ruh yang gaib untuk memenuhi setiap hajat
orang atas suatu kejadian yang ingin diperingati, ditebus atau dikuduskan.
Dalam
tradisi slametan dikenal adanya siklus slametan : 1) yang berkisar krisis
kehidupan 2) yang berhubungan dengan pola hari besar islam namun mengikuti
penanggalan jawa 3) yang terkait dengan intregasi desa 4) slametan untuk
kejadian yang luar biasa yang ingin dislameti. Kesemuanya betapa slametan
menempati setiap proses kehidupan dunia abangan. Slametan berimplikasi pada
tingkah laku social dan memunculkan keseimbangan emosional individu karena
telah dislameti.
2.
Varian Santri
Mojokuto
yang berdiri pada pertengahan akhir abad ke-19, jamaah muslimnya terkristal
dalam latar abangan yang umum. Sementara mereka yang terdiri dari kelas
pedagang dan banyak petani muncul dari utara jawa memunculkan varian santri.
Perbedaan yang mencolok antara abangan dan santri adalah jika abangan tidak
acuh terhadap doktrin dan terpesona pada upacara. Sementara santri lebih
memiliki perhatian terhadap doktrin dan mengalahkan aspek ritual islam yang
menipis.
Untuk
mempertahankan doktrin santri, mereka mengembangkan pola pendidikan yang khusus
dan terus menerus. Di antaranya pondok (pola santri tradisional), langgar dan
masjid (komunitas santri lokal), kelompok tarekat (mistik islam tradisional)
dan sistem sekolah yang diperkenalkan oleh gerakan modernis. Kemudian
memunculkan varian pendidikan baru dan upaya santri memasukan pelajaran doktrin
padasekolah negeri.
3.
Varian Priyayi
Dalam
kebudayaan jawa, istilah priyayi atau berdarah biru merupakan satu kelas sosial
yang mengacu kepada golongan bangsawan. Suatu golongan tertinggi dalam
masyarakat karena memiliki keturunan dari keluarga kerajaan.
Kelompok
ini menunjuk pada elemen hinduisme lanjutan dari tradisi keraton hindu-jawa.
Sebagai halnya keraton, maka priyayi lebih menekankan pada kekuatan sopan
santun yang halus, seni tinggi dan mistisme intuitif dan potensi sosialnya yang
memenuhi kebutuhan kolonial Belanda untuk mengisi birokrasi pemerintahannya.
Kepercayaan-kepercayaan
religius para abangan merupakan campuran khas penyembahan unsur-unsur alamiah
secara animisme yang berakar dalam agama-agama hinduisme yang semuanya telah
ditumpangi oleh ajaran islam.
B. Pandangan hidup orang jawa
Yang di
maksud pandangan hidup orang jawa adalah pandangan secara keseluruhan dari
semua keyakinan deskriptif tentang realita kehidupan yang dihadapi oleh manusia
sangat bermakna dan diperoleh dari berbagai pengalaman hidup.
Berdasarkan
hasil penelitian parsudi suparlan di suriname (1976) bahwa orang jawa
berprinsip “sangkan paraning dumadi” (dari mana manusia berasal, apa dan siapa
dia pada masa kini dan kemana arah tujuan hidup yang dijalani dan ditujunya).
Prinsip
ini menyangkut dua hal, yaitu konsep eksistensi manusia di dunia dan konsep
tempat manusia di dunia.
Masyarakat
jawa dengan segala pandangan hidupnya memiliki karakteristik budaya yang khas,
sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Pada garis besarnya pandangan hidup orang
jawa dapat dibedakan menjadi du bagian yaitu pandangan lahir dan pandangan
batin. Pandangan lahir terkait dengan kedudukan seseorang sebagai makhluk
individu dan sosial, sedangkan pandangan batin berkaitan dengan kedudukan
seseorang sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Dalam hal ini pandangan jawa memiliki
kaidah-kaidah yang di identifikasikan berdasarkan ungkapan-ungkapan budaya
sebagai pengejawantahan nilai-nilai budaya yang didukung oleh masyarakatnya.
Sebaliknya, pandangan batin terkait dengan persoalan-persoalan yang bersifat
supranatural akan tetapi menduduki tempat yang penting dalam sistem budaya
jawa.
Terdapat
system yang menuntut untuk meminimalisasi kepentingan-kepentingan yang bersifat
individu, hal tersebut didasarkan pada semangat komunal akan tetapi secara
individu, seseorang di tuntut untuk memiliki kepercayaan yang kuat serta tekad
dalam memperjuangkan hidup (jujur lan nerimo). Ungkapan diatas merupakan
kristalisasi atau bahan untuk membaca semangat hidup agar mampu menempatkan
diri sebagai individu guna menjaga keberadaan kehidupan.
Secara
sosial, orang jawa memiliki orientasi utama yaitu dengan menciptakan sikap yang
mulia terhadap orang lain. Untuk menciptakan hal tersebut banyak orang jawa
yang menghindari sikap adigang adigung, adiguna sre dengki, panas elen, wedi
isin, eling lan waspodo, serta menciptakan hubungan sosial yang harmoni. Dalam
hal ini melibatkan norma social seperti rukun. Tepo sliro, jujur, andap ashor
dan sebagainya.
Sebenarnya
tujuan serta pandangan orang jawa itu sama, yaitu untuk mencapai kebahagiaan
lahir dan batin bagi anggotanya. Kebahagiaan tersebut diwujudkan sebagai hidup sejahtera,
cukup sandang pangan, tempat tinggal aman dan tenteram. Hubungan masyarakat
jawa adalah pengejawantahan yang lebih lanjut dari manusia didalam keluarga.
Sedangkan hubungan dikeluarganya adalah pengejawantahan dari hubungan manusia sebagai
pribadi dan orang lain.
C. Ritual masyarakat jawa
Sejak
jaman awal islam, banyak sekali tradisi-tradisi yang dibirkan berlanjut tapi
spirit (jiwa dan semangatnya) diubah atau disesuaikan dengan nilai-nilai islam,
seperti tata cara perkawinan masyarakat Arab pra-islam banyak yang dilestarikan
sekaligus diislamkan bagian intinya. Ini yang oleh sementara ahli
antrophologi budaya disebut sebagai “islamisasi tradisi” atau “islamisasi
budaya”[3]
Dalam
masyarakat jawa ada ritual atau tradisi yang dipertahankan misalnya dalam agama
islam sendiri terdapat tradisi-tradisi seperti tahlilan, ziarah kubur, haul dan
sebagainya. Kegiatan tersebut tidak lepas dari kepercayaan-kepercayaan yang
dianut oleh sebagian masyarakat jawa khususnya masyarakat yang beragama islam.
Ø
Tahlilan di lingkungan masyarakat islam
Tahlil
itu berasal dari kata hallala, yuhallilu, tahlilan, artinya membaca kalimah la
ilaha illallah. Di masyarakat jawa sendiri berkembang pemahaman bahwa setiap
ada pertemuan yang ada di dalamnya dibaca kalimah itu biasanya dilakukan di
masjid, mushola, rumah, atau lapangan.
Ø Ziarah kubur atau
mengunjungi makam
Kebiasaan
yang masih banyak kita lihat dan masih dipertahankan oleh masyarakat islam jawa
adalah ziarah kubur. Sudah menjadi pemandangan umum di masyarakat kalau tidak
kamis sore kadang jumat pagi.[4] Hal ini dilakukan karena sejak agama islam belum
masuk ke jawa masyarakat jawa pun melakukan ziarah kubur namun masih dalam
kepercayaan hindu-budha.
Ø Haul
Kata “haul” berasal dari bahasa Arab, artinya
setahun. Peringatan haul berarti peringatan genap satu tahun. Biasanya
peringatan-peringatan seperti ini kebanyakan dilakukan oleh masyarakat islam
jawa, gema haul akan lebih terasa dahsyat apabila yang meninggal itu seorang
tokoh kharismatik, ulama besar atau pendiri sebuah pesantren. Rangkaian
acaranya biasanya dapat bervariasi , adapengajian, tahlil akbar, mujahadah,
musyawarah.