SMS-ku

dening : T I U R
Dakplayokake wektu
Ing gemontang bandhul jam omahku
Ngirim SMS menyang nomermu
Ing selaning pring ora pethuk kang ngrembuyung
Nyilakake gegodhongan
Nyingkirake eri bebondhotan
Nyuklek camplang-camplang garing
Kang nggarit pulung ati
Dakkirim sms ing wengi kang adem
Ngliwati sepi kang ora sapa aruh
Ora medhot impen kang mili
Ing selanin pring ora pethuk kang ngrembuyung

Ing langit ngendi mboktitipake kangenku ?

Mitraku, dening : T I U R

MITRA.....Wis daktampa nawalamu mitra
Nalika udan deres sasi februari kang nggugah sepining ati
Durung wae rampung anggonmu
Mbabar crita kanthi mawa sewu rasa
Kang isih kemrungsung ing sajroning dhadha
Nanging pepisahan iki bakal dumadi
Tan rinasa wis telung taun luwih nyecep ngelmu bebarengan
Ora ana tembung liya
Kajaba atur panuwunku marang sliramu
Kang wis gelem nampa cacatku kanthi lila legawaning ati
Mitra...
Najan netra iki ora bisa sapatemon
Ananging tali kang wis karonce iki
Aja nganti ilang kasimpar ilining mangsa
Dakakoni pancen iki kang wis dadi pesthening gusti
Yen pepisahan iki kudu dumadi
Mitra...
Wengi iki wewayanganmu kumlebat maneh
Dina-dina kang kelakon wingi tansah dadekake
Tumetese waspaku
Lan nalika wengi terus lumaku kanthi tumekaning lingsir
Aku takon marang senthir
Kang isih setya madhangi pikir

Kapan aku lan kowe ketemu lan nulis crita endah kaya wingi kuwi

Kepercayaan Masyarakat Jawa

Kepercayaan orang jawa
“kepercayaan” berasal dari kata “percaya” adalah gerakan hati dalam menerima sesuatu yang logis dan bukan logis tanpa suatu beban atau keraguan sama sekali kepercayaan ini bersifat murni. Kata ini mempunyai kesamaan arti dengan keyakinan dan agama akan tetapi memiliki arti yang sangat luas.
Kepercayaan-kepercayaan dari agama hindu, budha, maupun kepercayaan dinamisme dan animisme itulah yang dalam proses perkembangan islam berinterelasi dengan kepercayaan-kepercayaan dalam islam.[1]
“orang jawa” adalah orang yang berpenduduk asli jawa tengah dan jawa timur yang berbahasa jawa atau orang yang bahasa ibunya adalah bahasa jawa.
Membahas mengenai kepercayaan orang jawa sangatlah luas dan meliputi berbagai aspek yang bersifat magic atau ghaib yang jauh dari jangkauan kekuatan dan kekuasaan mereka. Masyarakat jawa jauh sebelum agama-agama masuk, mereka sudah meyakini adanya Tuhan yang maha esa dengan berbagai sebutan diantaranya adalah “gusti kang murbeng dumadi” atau tuhan yang maha kuasa yang dalam seluruh proses kehidupan orang jawa pada waktu itu  selalu berorientasi pada tuhan yang maha esa. Jadi, orang jawa telah mengenal  dan mengakui adanya tuhan jauh sebelum agama masuk ke jawa ribuan tahun yang lalu dan sudah menjadi tradisi sampai saat ini yaitu agama kejawen yang merupakan tatanan “pugaraning urip” atau tatanan hidup berdasarkan pada budi pekerti yang luhur.
Keyakinan terhadap Tuhan yang Maha Esa pada tradisi jawa diwujudkan berdasarkan pada sesuatu yang nyata, riil atau kesunyatan yang kemudian direalisasikan pada tata cara hidup dan aturan positif dalam kehidupan masyarakat jawa, agar hidup selalu berlangsung dengan baik dan bertanggung jawab
Kejawen adalah sebuah kepercayaan atau mungkin boleh dikatakan agama yang terutama yang dianut di pulau jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di jawa.
Agama kejawen sebenarnya adalah nama sebuah kelompok kepercayaan-kepercayaan yang mirip satu sama lain dan bukan sebuah agama yang terorganisir seperti agama islam atau agama kristen.
Ciri khas dari agama kejawen adalah adanya perpaduan antara animisme, agama hindu dan budha. Namun pengaruh agama islam dan agama kristen. Nampak bahwa agama ini adalah sebuah kepercayaan sinkretisme.
Pengamatan Geetz tentang mojokuto terkait profesi penduduk setempat. Penggolongan penduduk menurut pandangan masyarakat mojokuto berdasarkan kepercayaan, profesi, etnis dan pandangan politik dan di temukannya tiga inti struktur sosial yakni desa, pasar dan birokrasi pemerintah yang mencerminkan tiga tipe kebudayaan abangan, santri dan priyayi.
1.      Varian Abangan
Struktur sosial desa biasanya diasosiasikan kepada para petani, pengrajin dan buruh kecil yang penuh dengan tradisi animisme upacara slametan, kepercayaan terhadap makhluk halus, tradisi pengobatan, sihir dan menunjuk kepada seluruh tradisi keagamaan abangan
Bagi sistem keagamaan jawa slametan, merupakan hasil tradisi yang menjadi perlambang kesatuan mistis dan sosial di mana mereka berkumpul dalam satu meja menghadirkan semua yang hadir dan ruh yang gaib untuk memenuhi setiap hajat orang atas suatu kejadian yang ingin diperingati, ditebus atau dikuduskan.
Dalam tradisi slametan dikenal adanya siklus slametan : 1) yang berkisar krisis kehidupan 2) yang berhubungan dengan pola hari besar islam namun mengikuti penanggalan jawa 3) yang terkait dengan intregasi desa 4) slametan untuk kejadian yang luar biasa yang ingin dislameti. Kesemuanya betapa slametan menempati setiap proses kehidupan dunia abangan. Slametan berimplikasi pada tingkah laku social dan memunculkan keseimbangan emosional individu karena telah dislameti.
2.      Varian Santri
Mojokuto yang berdiri pada pertengahan akhir abad ke-19, jamaah muslimnya terkristal dalam latar abangan yang umum. Sementara mereka yang terdiri dari kelas pedagang dan banyak petani muncul dari utara jawa memunculkan varian santri. Perbedaan yang mencolok antara abangan dan santri adalah jika abangan tidak acuh terhadap doktrin dan terpesona pada upacara. Sementara santri lebih memiliki perhatian terhadap doktrin dan mengalahkan aspek ritual islam yang menipis.
Untuk mempertahankan doktrin santri, mereka mengembangkan pola pendidikan yang khusus dan terus menerus. Di antaranya pondok (pola santri tradisional), langgar dan masjid (komunitas santri lokal), kelompok tarekat (mistik islam tradisional) dan sistem sekolah yang diperkenalkan oleh gerakan modernis. Kemudian memunculkan varian pendidikan baru dan upaya santri memasukan pelajaran doktrin padasekolah negeri.
3.      Varian Priyayi
Dalam kebudayaan jawa, istilah priyayi atau berdarah biru merupakan satu kelas sosial yang mengacu kepada golongan bangsawan. Suatu golongan tertinggi dalam masyarakat karena memiliki keturunan dari keluarga kerajaan.
Kelompok ini menunjuk pada elemen hinduisme lanjutan dari tradisi keraton hindu-jawa. Sebagai halnya keraton, maka priyayi lebih menekankan pada kekuatan sopan santun yang halus, seni tinggi dan mistisme intuitif dan potensi sosialnya yang memenuhi kebutuhan kolonial Belanda untuk mengisi birokrasi pemerintahannya.
Kepercayaan-kepercayaan religius para abangan merupakan campuran khas penyembahan unsur-unsur alamiah secara animisme yang berakar dalam agama-agama hinduisme yang semuanya telah ditumpangi oleh ajaran islam.
B. Pandangan hidup orang jawa
Yang di maksud pandangan hidup orang jawa adalah pandangan secara keseluruhan dari semua keyakinan deskriptif tentang realita kehidupan yang dihadapi oleh manusia sangat bermakna dan diperoleh dari berbagai pengalaman hidup.
Berdasarkan hasil penelitian parsudi suparlan di suriname (1976) bahwa orang jawa berprinsip “sangkan paraning dumadi” (dari mana manusia berasal, apa dan siapa dia pada masa kini dan kemana arah tujuan hidup yang dijalani dan ditujunya).
Prinsip ini menyangkut dua hal, yaitu konsep eksistensi manusia di dunia dan konsep tempat manusia di dunia.
Masyarakat jawa dengan segala pandangan hidupnya memiliki karakteristik budaya yang khas, sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Pada garis besarnya pandangan hidup orang jawa dapat dibedakan menjadi du bagian yaitu pandangan lahir dan pandangan batin. Pandangan lahir terkait dengan kedudukan seseorang sebagai makhluk individu dan sosial, sedangkan pandangan batin berkaitan dengan kedudukan seseorang sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Dalam hal ini pandangan jawa memiliki kaidah-kaidah yang di identifikasikan berdasarkan ungkapan-ungkapan budaya sebagai pengejawantahan nilai-nilai budaya yang didukung oleh masyarakatnya. Sebaliknya, pandangan batin terkait dengan persoalan-persoalan yang bersifat supranatural akan tetapi menduduki tempat yang penting dalam sistem budaya jawa.
Terdapat system yang menuntut untuk meminimalisasi kepentingan-kepentingan yang bersifat individu, hal tersebut didasarkan pada semangat komunal akan tetapi secara individu, seseorang di tuntut untuk memiliki kepercayaan yang kuat serta tekad dalam memperjuangkan hidup (jujur lan nerimo). Ungkapan diatas merupakan kristalisasi atau bahan untuk membaca semangat hidup agar mampu menempatkan diri sebagai individu guna menjaga keberadaan kehidupan.
Secara sosial, orang jawa memiliki orientasi utama yaitu dengan menciptakan sikap yang mulia terhadap orang lain. Untuk menciptakan hal tersebut banyak orang jawa yang menghindari sikap adigang adigung, adiguna sre dengki, panas elen, wedi isin, eling lan waspodo, serta menciptakan hubungan sosial yang harmoni. Dalam hal ini melibatkan norma social seperti rukun. Tepo sliro, jujur, andap ashor dan sebagainya.
Sebenarnya tujuan serta pandangan orang jawa itu sama, yaitu untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin bagi anggotanya. Kebahagiaan tersebut diwujudkan sebagai hidup sejahtera, cukup sandang pangan, tempat tinggal aman dan tenteram. Hubungan masyarakat jawa adalah pengejawantahan yang lebih lanjut dari manusia didalam keluarga. Sedangkan hubungan dikeluarganya adalah pengejawantahan dari hubungan manusia sebagai pribadi dan orang lain.
C. Ritual masyarakat jawa
Sejak jaman awal islam, banyak sekali tradisi-tradisi yang dibirkan berlanjut tapi spirit (jiwa dan semangatnya) diubah atau disesuaikan dengan nilai-nilai islam, seperti tata cara perkawinan masyarakat Arab pra-islam banyak yang dilestarikan sekaligus diislamkan  bagian intinya. Ini yang oleh sementara ahli antrophologi budaya disebut sebagai “islamisasi tradisi” atau “islamisasi budaya”[3]
Dalam masyarakat jawa ada ritual atau tradisi yang dipertahankan misalnya dalam agama islam sendiri terdapat tradisi-tradisi seperti tahlilan, ziarah kubur, haul dan sebagainya. Kegiatan tersebut tidak lepas dari kepercayaan-kepercayaan yang dianut oleh sebagian masyarakat jawa khususnya masyarakat yang beragama islam.
Ø   Tahlilan di lingkungan masyarakat islam
Tahlil itu berasal dari kata hallala, yuhallilu, tahlilan, artinya membaca kalimah la ilaha illallah. Di masyarakat jawa sendiri berkembang pemahaman bahwa setiap ada pertemuan yang ada di dalamnya dibaca kalimah itu biasanya dilakukan di masjid, mushola, rumah, atau lapangan.
Ø   Ziarah kubur atau mengunjungi makam
Kebiasaan yang masih banyak kita lihat dan masih dipertahankan oleh masyarakat islam jawa adalah ziarah kubur. Sudah menjadi pemandangan umum di masyarakat kalau tidak kamis sore kadang jumat pagi.[4] Hal ini dilakukan karena sejak agama islam belum masuk ke jawa masyarakat jawa pun melakukan ziarah kubur namun masih dalam kepercayaan hindu-budha.
Ø   Haul
Kata “haul” berasal dari bahasa Arab, artinya setahun. Peringatan haul berarti peringatan genap satu tahun. Biasanya peringatan-peringatan seperti ini kebanyakan dilakukan oleh masyarakat islam jawa, gema haul akan lebih terasa dahsyat apabila yang meninggal itu seorang tokoh kharismatik, ulama besar atau pendiri sebuah pesantren. Rangkaian acaranya biasanya dapat bervariasi , adapengajian, tahlil akbar, mujahadah, musyawarah.





Sastra Jawa


Sastra adalah perwujudan pikiran dalam bentuk tulisan. Tulisan adalah media pemikiran yang tercurah melalui bahasa, bahasa yang bisa direpresentasikan dalam bentuk tulisan, media lain bisa saja berbentuk gambar, melody musik, lukisan ataupun karya lingkungan binaan (arsitektur). Sastra menjadi bagian dari budaya masyarakat.Sastra secara etimologi berasal dari bahasa Sansekerta, berasal dari akar kata ‘sas’,
yang dalam kata kerja turunan berarti ‘mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk/intruksi. Akhiran ‘tra’ menunjuk pada alat, sarana, sehingga sastra berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran.
Biasanya kata sastra diberi awalan ‘su’ ( menjadi susastra ). Su artinya ‘baik’, indah, sehingga istilah susastra berarti pengajaran atau petunjuk yang tertuang dalam suatu tulisan yang berisi hal-hal yang baik dan indah, atau dengan kata lain, ‘belles-letters’ ( tulisan yang indah dan sopan ).
Sebagai bahan dasar sastra (kesusasteraan) adalah bahasa. Bahasa yang digunakan dalam kesusasteraan memang berbeda dengan bahasa keilmuan maupun bahasa yang digunakan sehari-hari.
Bentuk karya sastra juga ada beberapa macam,
meliputi; Karya sastra yang berbentuk prosa, karya sastra yang berbentuk puisi dan
 karya sastra yang berbentuk drama.
Karya sastra lebih berfungsi untuk menghibur dan sekaligus memberi pengajaran sesuatu terhadap manusia. Sastra juga berfungsi untuk mengungkapkan adanya nilai keindahan (yang indah), nilai manfaat (berguna), dan mengandung nilai moralitas (pesan moral).
Melihat sastra yang begitu banyak ragam dan begitu panjang sejarahnya, menarik bagi kita untuk sedikit membahas tentang sastra jawa. Sastra yang sekarang ini tampak terpinggirkan dikarenakan kepentingan kebangsaan kita.

Sedikit sebagai patokan dalam perioderisasi sastra Jawa, kebanyakkan kidung ditulis di Bali. Berdasarkan karya-karya yang kita miliki, semua karya sastra Jawa pertengahan berasal dari Bali, tetapi tidak berarti bahwa karya ini tidak dikenal di Jawa sebelum runtuhnya Majapahit.
Istilah Jawa kuno, Jawa pertengahan, dan Jawa modern jika ditilik dari linguistik benar-benar membingungkan. Seolah-olah perioderisasi ini dibuat hanya berdasarkan masa atau kejadian tertentu. Istilah Jawa modern biasanya dipakai untuk menunjukkan bahasa yang dipakai dalam sastra Jawa padaawal abad ke-19.
Menurut sebuah teori, perioderisasi sastra tersebut berdasarkan rangkaian-rangkaian peristiwa. Hingga masa kekuasaan Majapahit, selain bahasa Jawa kuno yang digunakan menulis kakawin, jugaada bahasa Jawa lain, yang juga digunakan untuk menulis karya sastra lain. Setelah muncul kekuasaan Islam, bahasa Jawa lain itu pecah menjadi dua, yaitu bahasa Jawa yang dipergunakan di Bali dan disebut Jawa pertengahan, dan bahasa yang digunakan masyarakat Islam selanjutnya yang disebut Jawa modern. Memang teori ini masih memiliki kelemahan-kelemahan, namun secara rasional dapat diterima.
Dahulu, sastrawan Jawa menulis karyanya di lempengan batu dan prasasti, namun ada juga yang menggunakan daun lontar. Lontar tersebut diproses hingga menjadi kaku dan siap ditulisi. Jika berupa cerita, biasanya lontar tersebut dipotong-potong berukuran panjang 40-60 cm dan 3-5 cm untuk lebarnya. Bagian ujung dilubangi sehingga dapat dibendel kemudian diberi cover dari bahan yang lebih tebal. Sayangnya daun lontar tidak dapat bertahan lama. Kerusakan umumnya disebabkan karena serangga. Jarang ada daun lontar yang sanggup bertahan berabad-abad, Indonesia hanya memiliki daun lontar yang berumur 1-1.5 abad. Koleksi karya sastra kuno tersebut ada di tiga tempat, yaitu: Perpustakaan nasional di Jakarta, perpustakaan Universitas negeri Liden, Belanda, dan perpustakaan Kirtya di Singaraja. Koleksi terbanyak ada di Leiden. Ini tidak mengherankan karena pada saat itu pemerhati budaya Jawa banyak berasal dari Belanda.
Karya-karya sastra Jawa turut andil dalam perkembangan sastra Nusantara, karya-karya pujangga besar seperti Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca, Arjunawiwaha-Mpu Kanwa, Sutasoma, Ramayana, Desawarnana, Porusadasanta, Kidung Sunda, dan masih banyak lagi yang lain. Adanya karya-karya sastra tersebut hingga sekarang juga karena jasa juru salin, yang mengawetkan karya sastra tersebut dari tahun ke tahun. Kemungkinan kesalahan tulis dapat terjadi. Bisa dikarenakan kekurangtelitian atau kemiripan huruf, kesalahan itu dapat terjadi.
Karya-karya sastra tersebut merupakan salah satu kekayaan bangsa kita, dimana kita dapat mengetahui suatu sejarah dan pemikiran nenek moyang kita. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa penelitian di bidang ini masih terbuka luas. Masih banyak hal-hal yang tidak kita ketahui, misal perdebatan akan perioderisasi sastra Jawa, dan masih banyaknya karya yang sulit dibaca. Perlu adanya tekad dan usaha kita sebagai bangsa yang mencintai budaya untuk tetap melestarikan karya-karya langka ini. Memang upaya ini tidak bisa dipaksakan ke generasi muda mengingat banyaknya hal-hal yang mungkin lebih menarik minat mereka. Namun pasti di antara mereka masih banyak yang sadar dan mencintai budaya, mungkin perlu adanya suatu badan yang mengkoordinasi upaya pelestari sastra Jawa, dimana kegiatan-kegiatannya dapat menarik minat para pemuda-pemudi bangsa.

1. Periodesasi sastra jawa kuno
Sastra Jawa Kuno atau seringkali dieja sebagai Sastra Jawa Kuna meliputi sastra yang ditulis dalambahasa Jawa Kuna pada periode kurang-lebih ditulis dari abad ke-9 sampai abad ke-14 Masehi, dimulai denganPrasasti Sukabumi. Karya sastra ini ditulis baik dalam bentuk prosa (gancaran) maupun puisi (kakawin). Karya-karya ini mencakup genre seperti sajak wiracarita, undang-undang hukum, kronik (babad), dan kitab-kitab keagamaan.
Sastra Jawa Kuno diwariskan dalam bentuk manuskrip dan prasasti. Manuskrip-manuskrip yang memuat teks Jawa Kuno jumlahnya sampai ribuan sementara prasasti-prasasti ada puluhan dan bahkan ratusan jumlahnya. Meski di sini harus diberi catatan bahwa tidak semua prasasti memuat teks kesusastraan.
Karya-karya sastra Jawa penting yang ditulis pada periode ini termasuk Candakarana, Kakawin Ramayana dan terjemahan Mahabharata dalam bahasa Jawa Kuno.
Karya sastra Jawa Kuno sebagian besar terlestarikan di Bali dan ditulis pada naskah-naskah manuskrip lontar. Walau sebagian besar sastra Jawa Kuno terlestarikan di Bali, di Jawa dan Madura ada pula sastra Jawa Kuno yang terlestarikan. Bahkan di Jawa terdapat pula teks-teks Jawa Kuno yang tidak dikenal di Bali.
Penelitian ilmiah mengenai sastra Jawa Kuno mulai berkembang pada abad ke-19 awal dan mulanya dirintis oleh Stamford Raffles, Gubernur-Jenderal dari Britania Raya yang memerintah di pulau Jawa. Selain sebagai seorang negarawan beliau juga tertarik dengan kebudayaan setempat. Bersama asistennya, Kolonel Colin Mackenzie beliau mengumpulkan dan meneliti naskah-naskah Jawa Kuno.
Istilah sastra Jawa Kuno agak sedikit rancu. Istilah ini bisa berarti sastra dalam bahasa Jawa sebelum masuknya pengaruh Islam atau pembagian yang lebih halus lagi: sastra Jawa yang terlama. Jadi merupakan sastra Jawa sebelum masa sastra Jawa Pertengahan. Sastra Jawa Pertengahan adalah masa transisi antara sastra Jawa Kuno dan sastra Jawa Baru. Di dalam artikel ini, pengertian terakhir inilah yang dipakai
Periodesasi sastra jawa baru
Sastra Jawa Baru kurang-lebih muncul setelah masuknya agama Islam di pulau Jawa dari Demak antara abad kelima belas dan keenam belas Masehi.
Dengan masuknya agama Islam, orang Jawa mendapatkan ilham baru dalam menulis karya sastra mereka. Maka, pada masa-masa awal, zaman Sastra Jawa Baru, banyak pula digubah karya-karya sastra mengenai agama Islam. Suluk Malang Sumirang adalah salah satu yang terpenting.
Kemudian pada masa ini muncul pula karya-karya sastra bersifat ensiklopedis seperti Serat Jatiswara danSerat Centhini. Para penulis ‘ensiklopedia’ ini rupanya ingin mengumpulkan dan melestarikan semua ilmu yang (masih) ada di pulau Jawa, sebab karya-karya sastra ini mengandung banyak pengetahuan dari masa yang lebih lampau, yaitu masa sastra Jawa Kuna.
Gaya bahasa pada masa-masa awal masih mirip dengan Bahasa Jawa Tengahan. Setelah tahun ~ 1650,bahasa Jawa gaya Surakarta menjadi semakin dominan. Setelah masa ini, ada pula renaisans Sastra Jawa Kuna. Kitab-kitab kuna yang bernapaskan agama Hindu-Buddha mulai dipelajari lagi dan digubah dalam bahasa Jawa Baru.
Sebuah jenis karya yang khusus adalah babad, yang menceritakan sejarah. Jenis ini juga didapati pada Sastra Jawa-Bali.
3. Periodesasi sastra jawa pertengahan
Sastra Jawa Pertengahan muncul di Kerajaan Majapahit, mulai dari abad ke-13 sampai kira-kira abad ke-16. Setelah ini, sastra Jawa Tengahan diteruskan di Bali menjadi Sastra Jawa-Bali. Pada masa ini muncul karya-karya puisi yang berdasarkan metrum Jawa atau Indonesia asli. Karya-karya ini disebut kidung.
Daftar Prosa Sastra Jawa Tengahan
Tantu Panggelaran
Calon Arang
Tantri Kamandaka
Korawasrama
Pararaton
Daftar Puisi Sastra Jawa Tengahan
Kakawin Dewaruci
Kidung Sudamala
Kidung Subrata
Kidung Sunda
Kidung Panji Angreni
Kidung Sri Tanjung
4. Periodesasi sastra jawa moderen
Sastra Jawa Modern muncul setelah pengaruh penjajah Belanda dan semakin terasa di Pulau Jawa sejak abad kesembilan belas Masehi.
Para cendekiawan Belanda memberi saran para pujangga Jawa untuk menulis cerita atau kisah mirip orangBarat dan tidak selalu berdasarkan mitologi, cerita wayang, dan sebagainya. Maka, lalu muncullah karyasastra seperti di Dunia Barat; esai, roman, novel, dan sebagainya. Genre yang cukup populer adalah tentangperjalanan.
Gaya bahasa pada masa ini masih mirip dengan Bahasa Jawa Baru. Perbedaan utamanya ialah semakin banyak digunakannya kata-kata Melayu, dan juga kata-kata Belanda.
Pada masa ini (tahun 1839, oleh Taco Roorda) juga diciptakan huruf cetak berdasarkan aksara Jawa gayaSurakarta untuk Bahasa Jawa, yang kemudian menjadi standar di pulau Jawa.

e

Daftar Pustaka
• Amin, Drs, Darori, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000.
• Astianto, Henny, Filsafat Jawa, Yogyakarta: Warta Pustaka, 2006.
• Faruqi, Ismail R, Islam dan Kebudayaan, Bandung: MIZAN, 1984.
• Hasan, M, Tholhah, Islam dalam Perspektif Sosial Cultural, Jakarta: Lata Bora Pers, 1987.
• Padmosoekotjo, Ngengrengan Kasusastran Djawa. Jogjakarta: Hien Hoo Sing, 1960.









BASA JAWA

Bahasa Jawa adalah bahasa tutur yang digunakan oleh penduduk asli suku Jawa terutama yang tinggal di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta. 
namun dalam prakteknya, tidak semua bahasa satu daerah sama. Bahasa Jawa memiliki ragam dialek yang sangat banyak sekali. 
berikut sedikit dialek yang menguasai daerah Jawa :
1. Bahasa Jawa Semarang adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di Karesidenan Semarang. Dialek ini tak banyak berbeda dengan dialek di daerah Jawa lainnya. Semarang termasuk daerah pesisir Jawa bagian utara, maka tak beda dengan daerah lainnya, YogyakartaSoloBoyolali dan Salatiga. Walau letak daerah Semarang yang heterogan dari pesisir (Pekalongan/Weleri, Kudus/Demak/Purwodadi) dan dari daerah bagian selatan/pegunungan membuat dialek yang dipakai memiliki kata ngokongoko andhap dan madya di Semarang ada di zaman sekarang.
·         Frasa: "Yo ora.." (Ya tidak) dalam dialek semarang menjadi "Yo orak too ". Kata ini sudah menjadi dialek sehari-hari para penduduk Semarang.
·         Contoh lain: " kuwi ugo" (itu juga) dalam dialek Semarang menjadi "kuwi barang" ("barang" diucapkan sampai sengau memakai huruf h "bharhang").
Para pemakai dialek Semarang juga senang menyingkat frasa, misalnya Lampu abang ijo (lampu lalu lintas) menjadi "Bang-Jo", Limang rupiah (5 rupiah) menjadi "mang-pi", kebun binatangmenjadi "Bon-bin", seratus (100) menjadi "nyatus", dan sebagainya. Namun tak semua frasa bisa disingkat, sebab tergantung kepada kesepakatan dan minat para penduduk Semarang mengenai frasa mana yang disingkat. Jadi contohnya "Taman lele" tak bisa disingkat "Tam-lel" juga Gedung Batu tak bisa menjadi "Ge-bat", dsb.
Namun ada juga kalimat-kalimat yang disingkat, contohnya; "Kau lho pak mu Nadri" artinya "Itu lho pamanmu dari Wanadri". "Arep numpak Kijang kol" artinya akan menumpang omprengan. Zaman dulu kendaraan omprengan biasa menggunakan mobil merk "Colt", disebut "kol" maka setelah diganti "Toyota Kijang" menjadi Kijang-kol. Apa lacur kini ada yang menjadi "mercy-kol".
Adanya para warga/budaya yang heterogen dari Jawa, TiongkokArabPakistan/India juga memiliki sifat terbuka dan ramah di Semarang tadi, juga akan menambah kosakata dan dialektik Semarang di kemudian hari. Adanya bahasa Jawa yang dipergunakan tetap mengganggu bahasa Jawa yang baku, sama dengan di daerah Solo. Artinya, jika orang Kudus, Pekalongan, Boyolali pergi ke kota Semarang akan gampang dan komunikatif berkomunikasi dengan penduduknya.
Dialek Semarang memiliki kata-kata yang khas yang sering diucapkan penuturnya dan menjadi ciri tersendiri yang membdakan dengan dialek Jawa lainnya. Orang Semarang suka mengucapkan kata-kata seperti "Piye, jal?" (=Bagaimana, coba?) dan "Yo, mesti!". Orang semarang lebih suka menggunakan kata "He'e" daripada "Yo" atau "Ya".
Orang Semarang juga lebih banyak menggunakan partikel "ik" untuk mengungkapkan kekaguman atau kekecewaan yang sebenarnya tidak dimiliki oleh bahasa Jawa. Misalnya untuk menyatakan kekaguman :"Alangkah indahnya!", orang Semarang berkata: "Apik,ik!". Contoh lain untuk menyatakan kekecewaan: "Sayang, orangnya pergi!", orang Semarang berkata: "Wonge lungo, ik"!.
Partikel "ik" kemungkinan berasal dari kata "iku" yang berarti "itu' dalam bahasa Jawa, sehingga untuk mengungkapkan kesungguhan orang Semarang mengucapkan "He'e, ik!" atau "Yo, ik".
Beberapa kosakata khas Semarang adalah: "semeh" Yang berarti "ibu" dan "sebeh" yang berarti "ayah", yang dalam dialek Jawa yang lain, "sebeh" sering dipakai dalam arti "mantra" atau "guna-guna"
2. Bahasa Jawa Surakarta adalah dialek bahasa Jawa yang diucapkan di daerah Surakarta dan sekitarnya. Dialek ini menjadi standar bagi pengajaran bahasa Jawa.
Meskipun satu rumpun, Bahasa Jawa di tiap daerah di Jawa Tengah mempunyai ciri-ciri tersendiri yang khas mencerminkan dari mana asal Bahasa Jawa tersebut.
Untuk istilah "dingin" di Surakarta menggunakan kata Bahasa Jawa "adem", sedangkan orang yang tinggal di Semarang menyebutnya "atis". Contoh:
"'Lha piye tho, aku meh mangkat nanging ra duwe duit."
("Bagaimana ini, saya akan berangkat tapi tidak punya uang.")
"Mbok kowe mesake aku, dijilehi duit piro wae sak nduwekmu."
("Kasihani aku, dipinjami uang berapa saja yang kamu punya.")
"Sesok tak baleke yen wis oleh kiriman soko mbakyu ku."
("Besok (dalam waktu yang tidak bisa ditentukan kapan) saya kembalikan kalau sudah dapat kiriman dari kakak perempuan saya.")

3. Dialek Surabaya atau lebih sering dikenal sebagai bahasa Suroboyoan adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di Surabaya dan sekitarnya. Dialek ini berkembang dan digunakan oleh sebagian masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Secara struktural bahasa, bahasa Suroboyoan dapat dikatakan sebagai bahasa paling kasar. Meskipun demikian, bahasa dengan tingkatan yang lebih halus masih dipakai oleh beberapa orang Surabaya, sebagai bentuk penghormatan atas orang lain. Namun demikian penggunaan bahasa Jawa halus (madya sampai krama) di kalangan orang-orang Surabaya kebanyakan tidaklah sehalus di Jawa Tengah terutama Yogyakarta dan Surakarta dengan banyak mencampurkan kata sehari-hari yang lebih kasar.
Beberapa kosa kata khas Suroboyoan:
·         "Pongor, Gibeng, Santap, Waso (istilah untuk Pukul atau Hantam);
·         "kathuken" berarti "kedinginan" (bahasa Jawa standar: kademen);
·         "gurung" berarti "belum" (bahasa Jawa standar: durung);
·         "gudhuk" berarti "bukan" (bahasa Jawa standar: dudu);
·         "deleh" berarti "taruh/letak" (delehen=letakkan) (bahasa Jawa standar: dekek);
·         "kek" berarti "beri" (kek'ono=berilah) (bahasa Jawa standar: wenehi);
·         "ae" berarti "saja" (bahasa Jawa standar: wae);
·         "gak" berarti "tidak" (bahasa Jawa standar: ora);
·         "arek" berarti "anak" (bahasa Jawa standar: bocah);
·         "kate/kape" berarti "akan" (bahasa Jawa standar: arep);
·         "lapo" berarti "sedang apa" atau "ngapain" (bahasa Jawa standar: ngopo);
·         "opo'o" berarti "mengapa" (bahasa Jawa standar: kenopo);
·         "soale" berarti "karena" (bahasa Jawa standar: kerono);
·         "atik" (diucapkan "atek") berarti "pakai" atau "boleh" (khusus dalam kalimat"gak atik!" yang artinya "tidak boleh");

4. Dialek Banyumasan atau sering disebut Bahasa Ngapak adalah kelompok bahasa bahasa Jawa yang dipergunakan di wilayah barat Jawa Tengah,Indonesia. Beberapa kosakata dan dialeknya juga dipergunakan di Banten utara serta daerah Cirebon-Indramayu. Logat bahasanya agak berbeda dibanding dialek bahasa Jawa lainnya. Hal ini disebabkan bahasa Banyumasan masih berhubungan erat dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi).
Bahasa Banyumasan terkenal dengan cara bicaranya yang khas. Dialek ini disebut Banyumasan karena dipakai oleh masyarakat yang tinggal di wilayah Banyumasan.
Seorang ahli bahasa Belanda, E.M. Uhlenbeck, mengelompokan dialek-dialek yang dipergunakan di wilayah barat dari Jawa Tengah sebagai kelompok (rumpun) bahasa Jawa bagian barat (Banyumasan, Tegalan, Cirebonan dan Banten Utara). Kelompok lainnya adalah bahasa Jawa bagian Tengah (Surakarta, Yogyakarta, Semarang dll) dan kelompok bahasa Jawa bagian Timur.
Kelompok bahasa Jawa bagian barat (harap dibedakan dengan Jawa Barat/Bahasa Sunda) inilah yang sering disebut bahasa Banyumasan (ngapak-ngapak).
Secara geografis, wilayah Banten utara dan Cirebon-Indramayu memang berada di luar wilayah berbudaya Banyumasan tetapi menurut budayawan Cirebon TD Sudjana, logat bahasanya memang terdengar sangat mirip dengan bahasa Banyumasan. Hal ini menarik untuk dikaji secara historis.
Dibandingkan dengan bahasa Jawa dialek Yogyakarta dan Surakarta, dialek Banyumasan banyak sekali bedanya. Perbedaan yang utama yakni akhiran 'a' tetap diucapkan 'a' bukan 'o'. Jadi jika di Solo orang makan 'sego' (nasi), di wilayah Banyumasan orang makan 'sega'. Selain itu, kata-kata yang berakhiran huruf mati dibaca penuh, misalnya kata enak oleh dialek lain bunyinya ena, sedangkan dalam dialek Banyumasan dibaca enakdengan suara huruf 'k' yang jelas, itulah sebabnya bahasa Banyumasan dikenal dengan bahasa Ngapak atau Ngapak-ngapak.

Dalam dalam satu kota pun terkadang masih banyak lagi logat daerah yang beragam. misalnya dalam lingkup kecil aja, logat daerah Pati akan ada perbedaan logat Jepara, Kudus. ini menjadi satu kekayaan budaya yang dimiliki Jawa.



Ajining Diri Saka Budi Pekerti lan Kendhaling Lathi

Jumat, 20 Desember 2013

SMS-ku

dening : T I U R
Dakplayokake wektu
Ing gemontang bandhul jam omahku
Ngirim SMS menyang nomermu
Ing selaning pring ora pethuk kang ngrembuyung
Nyilakake gegodhongan
Nyingkirake eri bebondhotan
Nyuklek camplang-camplang garing
Kang nggarit pulung ati
Dakkirim sms ing wengi kang adem
Ngliwati sepi kang ora sapa aruh
Ora medhot impen kang mili
Ing selanin pring ora pethuk kang ngrembuyung

Ing langit ngendi mboktitipake kangenku ?

Mitraku, dening : T I U R

MITRA.....Wis daktampa nawalamu mitra
Nalika udan deres sasi februari kang nggugah sepining ati
Durung wae rampung anggonmu
Mbabar crita kanthi mawa sewu rasa
Kang isih kemrungsung ing sajroning dhadha
Nanging pepisahan iki bakal dumadi
Tan rinasa wis telung taun luwih nyecep ngelmu bebarengan
Ora ana tembung liya
Kajaba atur panuwunku marang sliramu
Kang wis gelem nampa cacatku kanthi lila legawaning ati
Mitra...
Najan netra iki ora bisa sapatemon
Ananging tali kang wis karonce iki
Aja nganti ilang kasimpar ilining mangsa
Dakakoni pancen iki kang wis dadi pesthening gusti
Yen pepisahan iki kudu dumadi
Mitra...
Wengi iki wewayanganmu kumlebat maneh
Dina-dina kang kelakon wingi tansah dadekake
Tumetese waspaku
Lan nalika wengi terus lumaku kanthi tumekaning lingsir
Aku takon marang senthir
Kang isih setya madhangi pikir

Kapan aku lan kowe ketemu lan nulis crita endah kaya wingi kuwi

Rabu, 11 Desember 2013

Kepercayaan Masyarakat Jawa

Kepercayaan orang jawa
“kepercayaan” berasal dari kata “percaya” adalah gerakan hati dalam menerima sesuatu yang logis dan bukan logis tanpa suatu beban atau keraguan sama sekali kepercayaan ini bersifat murni. Kata ini mempunyai kesamaan arti dengan keyakinan dan agama akan tetapi memiliki arti yang sangat luas.
Kepercayaan-kepercayaan dari agama hindu, budha, maupun kepercayaan dinamisme dan animisme itulah yang dalam proses perkembangan islam berinterelasi dengan kepercayaan-kepercayaan dalam islam.[1]
“orang jawa” adalah orang yang berpenduduk asli jawa tengah dan jawa timur yang berbahasa jawa atau orang yang bahasa ibunya adalah bahasa jawa.
Membahas mengenai kepercayaan orang jawa sangatlah luas dan meliputi berbagai aspek yang bersifat magic atau ghaib yang jauh dari jangkauan kekuatan dan kekuasaan mereka. Masyarakat jawa jauh sebelum agama-agama masuk, mereka sudah meyakini adanya Tuhan yang maha esa dengan berbagai sebutan diantaranya adalah “gusti kang murbeng dumadi” atau tuhan yang maha kuasa yang dalam seluruh proses kehidupan orang jawa pada waktu itu  selalu berorientasi pada tuhan yang maha esa. Jadi, orang jawa telah mengenal  dan mengakui adanya tuhan jauh sebelum agama masuk ke jawa ribuan tahun yang lalu dan sudah menjadi tradisi sampai saat ini yaitu agama kejawen yang merupakan tatanan “pugaraning urip” atau tatanan hidup berdasarkan pada budi pekerti yang luhur.
Keyakinan terhadap Tuhan yang Maha Esa pada tradisi jawa diwujudkan berdasarkan pada sesuatu yang nyata, riil atau kesunyatan yang kemudian direalisasikan pada tata cara hidup dan aturan positif dalam kehidupan masyarakat jawa, agar hidup selalu berlangsung dengan baik dan bertanggung jawab
Kejawen adalah sebuah kepercayaan atau mungkin boleh dikatakan agama yang terutama yang dianut di pulau jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di jawa.
Agama kejawen sebenarnya adalah nama sebuah kelompok kepercayaan-kepercayaan yang mirip satu sama lain dan bukan sebuah agama yang terorganisir seperti agama islam atau agama kristen.
Ciri khas dari agama kejawen adalah adanya perpaduan antara animisme, agama hindu dan budha. Namun pengaruh agama islam dan agama kristen. Nampak bahwa agama ini adalah sebuah kepercayaan sinkretisme.
Pengamatan Geetz tentang mojokuto terkait profesi penduduk setempat. Penggolongan penduduk menurut pandangan masyarakat mojokuto berdasarkan kepercayaan, profesi, etnis dan pandangan politik dan di temukannya tiga inti struktur sosial yakni desa, pasar dan birokrasi pemerintah yang mencerminkan tiga tipe kebudayaan abangan, santri dan priyayi.
1.      Varian Abangan
Struktur sosial desa biasanya diasosiasikan kepada para petani, pengrajin dan buruh kecil yang penuh dengan tradisi animisme upacara slametan, kepercayaan terhadap makhluk halus, tradisi pengobatan, sihir dan menunjuk kepada seluruh tradisi keagamaan abangan
Bagi sistem keagamaan jawa slametan, merupakan hasil tradisi yang menjadi perlambang kesatuan mistis dan sosial di mana mereka berkumpul dalam satu meja menghadirkan semua yang hadir dan ruh yang gaib untuk memenuhi setiap hajat orang atas suatu kejadian yang ingin diperingati, ditebus atau dikuduskan.
Dalam tradisi slametan dikenal adanya siklus slametan : 1) yang berkisar krisis kehidupan 2) yang berhubungan dengan pola hari besar islam namun mengikuti penanggalan jawa 3) yang terkait dengan intregasi desa 4) slametan untuk kejadian yang luar biasa yang ingin dislameti. Kesemuanya betapa slametan menempati setiap proses kehidupan dunia abangan. Slametan berimplikasi pada tingkah laku social dan memunculkan keseimbangan emosional individu karena telah dislameti.
2.      Varian Santri
Mojokuto yang berdiri pada pertengahan akhir abad ke-19, jamaah muslimnya terkristal dalam latar abangan yang umum. Sementara mereka yang terdiri dari kelas pedagang dan banyak petani muncul dari utara jawa memunculkan varian santri. Perbedaan yang mencolok antara abangan dan santri adalah jika abangan tidak acuh terhadap doktrin dan terpesona pada upacara. Sementara santri lebih memiliki perhatian terhadap doktrin dan mengalahkan aspek ritual islam yang menipis.
Untuk mempertahankan doktrin santri, mereka mengembangkan pola pendidikan yang khusus dan terus menerus. Di antaranya pondok (pola santri tradisional), langgar dan masjid (komunitas santri lokal), kelompok tarekat (mistik islam tradisional) dan sistem sekolah yang diperkenalkan oleh gerakan modernis. Kemudian memunculkan varian pendidikan baru dan upaya santri memasukan pelajaran doktrin padasekolah negeri.
3.      Varian Priyayi
Dalam kebudayaan jawa, istilah priyayi atau berdarah biru merupakan satu kelas sosial yang mengacu kepada golongan bangsawan. Suatu golongan tertinggi dalam masyarakat karena memiliki keturunan dari keluarga kerajaan.
Kelompok ini menunjuk pada elemen hinduisme lanjutan dari tradisi keraton hindu-jawa. Sebagai halnya keraton, maka priyayi lebih menekankan pada kekuatan sopan santun yang halus, seni tinggi dan mistisme intuitif dan potensi sosialnya yang memenuhi kebutuhan kolonial Belanda untuk mengisi birokrasi pemerintahannya.
Kepercayaan-kepercayaan religius para abangan merupakan campuran khas penyembahan unsur-unsur alamiah secara animisme yang berakar dalam agama-agama hinduisme yang semuanya telah ditumpangi oleh ajaran islam.
B. Pandangan hidup orang jawa
Yang di maksud pandangan hidup orang jawa adalah pandangan secara keseluruhan dari semua keyakinan deskriptif tentang realita kehidupan yang dihadapi oleh manusia sangat bermakna dan diperoleh dari berbagai pengalaman hidup.
Berdasarkan hasil penelitian parsudi suparlan di suriname (1976) bahwa orang jawa berprinsip “sangkan paraning dumadi” (dari mana manusia berasal, apa dan siapa dia pada masa kini dan kemana arah tujuan hidup yang dijalani dan ditujunya).
Prinsip ini menyangkut dua hal, yaitu konsep eksistensi manusia di dunia dan konsep tempat manusia di dunia.
Masyarakat jawa dengan segala pandangan hidupnya memiliki karakteristik budaya yang khas, sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Pada garis besarnya pandangan hidup orang jawa dapat dibedakan menjadi du bagian yaitu pandangan lahir dan pandangan batin. Pandangan lahir terkait dengan kedudukan seseorang sebagai makhluk individu dan sosial, sedangkan pandangan batin berkaitan dengan kedudukan seseorang sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Dalam hal ini pandangan jawa memiliki kaidah-kaidah yang di identifikasikan berdasarkan ungkapan-ungkapan budaya sebagai pengejawantahan nilai-nilai budaya yang didukung oleh masyarakatnya. Sebaliknya, pandangan batin terkait dengan persoalan-persoalan yang bersifat supranatural akan tetapi menduduki tempat yang penting dalam sistem budaya jawa.
Terdapat system yang menuntut untuk meminimalisasi kepentingan-kepentingan yang bersifat individu, hal tersebut didasarkan pada semangat komunal akan tetapi secara individu, seseorang di tuntut untuk memiliki kepercayaan yang kuat serta tekad dalam memperjuangkan hidup (jujur lan nerimo). Ungkapan diatas merupakan kristalisasi atau bahan untuk membaca semangat hidup agar mampu menempatkan diri sebagai individu guna menjaga keberadaan kehidupan.
Secara sosial, orang jawa memiliki orientasi utama yaitu dengan menciptakan sikap yang mulia terhadap orang lain. Untuk menciptakan hal tersebut banyak orang jawa yang menghindari sikap adigang adigung, adiguna sre dengki, panas elen, wedi isin, eling lan waspodo, serta menciptakan hubungan sosial yang harmoni. Dalam hal ini melibatkan norma social seperti rukun. Tepo sliro, jujur, andap ashor dan sebagainya.
Sebenarnya tujuan serta pandangan orang jawa itu sama, yaitu untuk mencapai kebahagiaan lahir dan batin bagi anggotanya. Kebahagiaan tersebut diwujudkan sebagai hidup sejahtera, cukup sandang pangan, tempat tinggal aman dan tenteram. Hubungan masyarakat jawa adalah pengejawantahan yang lebih lanjut dari manusia didalam keluarga. Sedangkan hubungan dikeluarganya adalah pengejawantahan dari hubungan manusia sebagai pribadi dan orang lain.
C. Ritual masyarakat jawa
Sejak jaman awal islam, banyak sekali tradisi-tradisi yang dibirkan berlanjut tapi spirit (jiwa dan semangatnya) diubah atau disesuaikan dengan nilai-nilai islam, seperti tata cara perkawinan masyarakat Arab pra-islam banyak yang dilestarikan sekaligus diislamkan  bagian intinya. Ini yang oleh sementara ahli antrophologi budaya disebut sebagai “islamisasi tradisi” atau “islamisasi budaya”[3]
Dalam masyarakat jawa ada ritual atau tradisi yang dipertahankan misalnya dalam agama islam sendiri terdapat tradisi-tradisi seperti tahlilan, ziarah kubur, haul dan sebagainya. Kegiatan tersebut tidak lepas dari kepercayaan-kepercayaan yang dianut oleh sebagian masyarakat jawa khususnya masyarakat yang beragama islam.
Ø   Tahlilan di lingkungan masyarakat islam
Tahlil itu berasal dari kata hallala, yuhallilu, tahlilan, artinya membaca kalimah la ilaha illallah. Di masyarakat jawa sendiri berkembang pemahaman bahwa setiap ada pertemuan yang ada di dalamnya dibaca kalimah itu biasanya dilakukan di masjid, mushola, rumah, atau lapangan.
Ø   Ziarah kubur atau mengunjungi makam
Kebiasaan yang masih banyak kita lihat dan masih dipertahankan oleh masyarakat islam jawa adalah ziarah kubur. Sudah menjadi pemandangan umum di masyarakat kalau tidak kamis sore kadang jumat pagi.[4] Hal ini dilakukan karena sejak agama islam belum masuk ke jawa masyarakat jawa pun melakukan ziarah kubur namun masih dalam kepercayaan hindu-budha.
Ø   Haul
Kata “haul” berasal dari bahasa Arab, artinya setahun. Peringatan haul berarti peringatan genap satu tahun. Biasanya peringatan-peringatan seperti ini kebanyakan dilakukan oleh masyarakat islam jawa, gema haul akan lebih terasa dahsyat apabila yang meninggal itu seorang tokoh kharismatik, ulama besar atau pendiri sebuah pesantren. Rangkaian acaranya biasanya dapat bervariasi , adapengajian, tahlil akbar, mujahadah, musyawarah.





Selasa, 10 Desember 2013

Sastra Jawa


Sastra adalah perwujudan pikiran dalam bentuk tulisan. Tulisan adalah media pemikiran yang tercurah melalui bahasa, bahasa yang bisa direpresentasikan dalam bentuk tulisan, media lain bisa saja berbentuk gambar, melody musik, lukisan ataupun karya lingkungan binaan (arsitektur). Sastra menjadi bagian dari budaya masyarakat.Sastra secara etimologi berasal dari bahasa Sansekerta, berasal dari akar kata ‘sas’,
yang dalam kata kerja turunan berarti ‘mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk/intruksi. Akhiran ‘tra’ menunjuk pada alat, sarana, sehingga sastra berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran.
Biasanya kata sastra diberi awalan ‘su’ ( menjadi susastra ). Su artinya ‘baik’, indah, sehingga istilah susastra berarti pengajaran atau petunjuk yang tertuang dalam suatu tulisan yang berisi hal-hal yang baik dan indah, atau dengan kata lain, ‘belles-letters’ ( tulisan yang indah dan sopan ).
Sebagai bahan dasar sastra (kesusasteraan) adalah bahasa. Bahasa yang digunakan dalam kesusasteraan memang berbeda dengan bahasa keilmuan maupun bahasa yang digunakan sehari-hari.
Bentuk karya sastra juga ada beberapa macam,
meliputi; Karya sastra yang berbentuk prosa, karya sastra yang berbentuk puisi dan
 karya sastra yang berbentuk drama.
Karya sastra lebih berfungsi untuk menghibur dan sekaligus memberi pengajaran sesuatu terhadap manusia. Sastra juga berfungsi untuk mengungkapkan adanya nilai keindahan (yang indah), nilai manfaat (berguna), dan mengandung nilai moralitas (pesan moral).
Melihat sastra yang begitu banyak ragam dan begitu panjang sejarahnya, menarik bagi kita untuk sedikit membahas tentang sastra jawa. Sastra yang sekarang ini tampak terpinggirkan dikarenakan kepentingan kebangsaan kita.

Sedikit sebagai patokan dalam perioderisasi sastra Jawa, kebanyakkan kidung ditulis di Bali. Berdasarkan karya-karya yang kita miliki, semua karya sastra Jawa pertengahan berasal dari Bali, tetapi tidak berarti bahwa karya ini tidak dikenal di Jawa sebelum runtuhnya Majapahit.
Istilah Jawa kuno, Jawa pertengahan, dan Jawa modern jika ditilik dari linguistik benar-benar membingungkan. Seolah-olah perioderisasi ini dibuat hanya berdasarkan masa atau kejadian tertentu. Istilah Jawa modern biasanya dipakai untuk menunjukkan bahasa yang dipakai dalam sastra Jawa padaawal abad ke-19.
Menurut sebuah teori, perioderisasi sastra tersebut berdasarkan rangkaian-rangkaian peristiwa. Hingga masa kekuasaan Majapahit, selain bahasa Jawa kuno yang digunakan menulis kakawin, jugaada bahasa Jawa lain, yang juga digunakan untuk menulis karya sastra lain. Setelah muncul kekuasaan Islam, bahasa Jawa lain itu pecah menjadi dua, yaitu bahasa Jawa yang dipergunakan di Bali dan disebut Jawa pertengahan, dan bahasa yang digunakan masyarakat Islam selanjutnya yang disebut Jawa modern. Memang teori ini masih memiliki kelemahan-kelemahan, namun secara rasional dapat diterima.
Dahulu, sastrawan Jawa menulis karyanya di lempengan batu dan prasasti, namun ada juga yang menggunakan daun lontar. Lontar tersebut diproses hingga menjadi kaku dan siap ditulisi. Jika berupa cerita, biasanya lontar tersebut dipotong-potong berukuran panjang 40-60 cm dan 3-5 cm untuk lebarnya. Bagian ujung dilubangi sehingga dapat dibendel kemudian diberi cover dari bahan yang lebih tebal. Sayangnya daun lontar tidak dapat bertahan lama. Kerusakan umumnya disebabkan karena serangga. Jarang ada daun lontar yang sanggup bertahan berabad-abad, Indonesia hanya memiliki daun lontar yang berumur 1-1.5 abad. Koleksi karya sastra kuno tersebut ada di tiga tempat, yaitu: Perpustakaan nasional di Jakarta, perpustakaan Universitas negeri Liden, Belanda, dan perpustakaan Kirtya di Singaraja. Koleksi terbanyak ada di Leiden. Ini tidak mengherankan karena pada saat itu pemerhati budaya Jawa banyak berasal dari Belanda.
Karya-karya sastra Jawa turut andil dalam perkembangan sastra Nusantara, karya-karya pujangga besar seperti Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca, Arjunawiwaha-Mpu Kanwa, Sutasoma, Ramayana, Desawarnana, Porusadasanta, Kidung Sunda, dan masih banyak lagi yang lain. Adanya karya-karya sastra tersebut hingga sekarang juga karena jasa juru salin, yang mengawetkan karya sastra tersebut dari tahun ke tahun. Kemungkinan kesalahan tulis dapat terjadi. Bisa dikarenakan kekurangtelitian atau kemiripan huruf, kesalahan itu dapat terjadi.
Karya-karya sastra tersebut merupakan salah satu kekayaan bangsa kita, dimana kita dapat mengetahui suatu sejarah dan pemikiran nenek moyang kita. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa penelitian di bidang ini masih terbuka luas. Masih banyak hal-hal yang tidak kita ketahui, misal perdebatan akan perioderisasi sastra Jawa, dan masih banyaknya karya yang sulit dibaca. Perlu adanya tekad dan usaha kita sebagai bangsa yang mencintai budaya untuk tetap melestarikan karya-karya langka ini. Memang upaya ini tidak bisa dipaksakan ke generasi muda mengingat banyaknya hal-hal yang mungkin lebih menarik minat mereka. Namun pasti di antara mereka masih banyak yang sadar dan mencintai budaya, mungkin perlu adanya suatu badan yang mengkoordinasi upaya pelestari sastra Jawa, dimana kegiatan-kegiatannya dapat menarik minat para pemuda-pemudi bangsa.

1. Periodesasi sastra jawa kuno
Sastra Jawa Kuno atau seringkali dieja sebagai Sastra Jawa Kuna meliputi sastra yang ditulis dalambahasa Jawa Kuna pada periode kurang-lebih ditulis dari abad ke-9 sampai abad ke-14 Masehi, dimulai denganPrasasti Sukabumi. Karya sastra ini ditulis baik dalam bentuk prosa (gancaran) maupun puisi (kakawin). Karya-karya ini mencakup genre seperti sajak wiracarita, undang-undang hukum, kronik (babad), dan kitab-kitab keagamaan.
Sastra Jawa Kuno diwariskan dalam bentuk manuskrip dan prasasti. Manuskrip-manuskrip yang memuat teks Jawa Kuno jumlahnya sampai ribuan sementara prasasti-prasasti ada puluhan dan bahkan ratusan jumlahnya. Meski di sini harus diberi catatan bahwa tidak semua prasasti memuat teks kesusastraan.
Karya-karya sastra Jawa penting yang ditulis pada periode ini termasuk Candakarana, Kakawin Ramayana dan terjemahan Mahabharata dalam bahasa Jawa Kuno.
Karya sastra Jawa Kuno sebagian besar terlestarikan di Bali dan ditulis pada naskah-naskah manuskrip lontar. Walau sebagian besar sastra Jawa Kuno terlestarikan di Bali, di Jawa dan Madura ada pula sastra Jawa Kuno yang terlestarikan. Bahkan di Jawa terdapat pula teks-teks Jawa Kuno yang tidak dikenal di Bali.
Penelitian ilmiah mengenai sastra Jawa Kuno mulai berkembang pada abad ke-19 awal dan mulanya dirintis oleh Stamford Raffles, Gubernur-Jenderal dari Britania Raya yang memerintah di pulau Jawa. Selain sebagai seorang negarawan beliau juga tertarik dengan kebudayaan setempat. Bersama asistennya, Kolonel Colin Mackenzie beliau mengumpulkan dan meneliti naskah-naskah Jawa Kuno.
Istilah sastra Jawa Kuno agak sedikit rancu. Istilah ini bisa berarti sastra dalam bahasa Jawa sebelum masuknya pengaruh Islam atau pembagian yang lebih halus lagi: sastra Jawa yang terlama. Jadi merupakan sastra Jawa sebelum masa sastra Jawa Pertengahan. Sastra Jawa Pertengahan adalah masa transisi antara sastra Jawa Kuno dan sastra Jawa Baru. Di dalam artikel ini, pengertian terakhir inilah yang dipakai
Periodesasi sastra jawa baru
Sastra Jawa Baru kurang-lebih muncul setelah masuknya agama Islam di pulau Jawa dari Demak antara abad kelima belas dan keenam belas Masehi.
Dengan masuknya agama Islam, orang Jawa mendapatkan ilham baru dalam menulis karya sastra mereka. Maka, pada masa-masa awal, zaman Sastra Jawa Baru, banyak pula digubah karya-karya sastra mengenai agama Islam. Suluk Malang Sumirang adalah salah satu yang terpenting.
Kemudian pada masa ini muncul pula karya-karya sastra bersifat ensiklopedis seperti Serat Jatiswara danSerat Centhini. Para penulis ‘ensiklopedia’ ini rupanya ingin mengumpulkan dan melestarikan semua ilmu yang (masih) ada di pulau Jawa, sebab karya-karya sastra ini mengandung banyak pengetahuan dari masa yang lebih lampau, yaitu masa sastra Jawa Kuna.
Gaya bahasa pada masa-masa awal masih mirip dengan Bahasa Jawa Tengahan. Setelah tahun ~ 1650,bahasa Jawa gaya Surakarta menjadi semakin dominan. Setelah masa ini, ada pula renaisans Sastra Jawa Kuna. Kitab-kitab kuna yang bernapaskan agama Hindu-Buddha mulai dipelajari lagi dan digubah dalam bahasa Jawa Baru.
Sebuah jenis karya yang khusus adalah babad, yang menceritakan sejarah. Jenis ini juga didapati pada Sastra Jawa-Bali.
3. Periodesasi sastra jawa pertengahan
Sastra Jawa Pertengahan muncul di Kerajaan Majapahit, mulai dari abad ke-13 sampai kira-kira abad ke-16. Setelah ini, sastra Jawa Tengahan diteruskan di Bali menjadi Sastra Jawa-Bali. Pada masa ini muncul karya-karya puisi yang berdasarkan metrum Jawa atau Indonesia asli. Karya-karya ini disebut kidung.
Daftar Prosa Sastra Jawa Tengahan
Tantu Panggelaran
Calon Arang
Tantri Kamandaka
Korawasrama
Pararaton
Daftar Puisi Sastra Jawa Tengahan
Kakawin Dewaruci
Kidung Sudamala
Kidung Subrata
Kidung Sunda
Kidung Panji Angreni
Kidung Sri Tanjung
4. Periodesasi sastra jawa moderen
Sastra Jawa Modern muncul setelah pengaruh penjajah Belanda dan semakin terasa di Pulau Jawa sejak abad kesembilan belas Masehi.
Para cendekiawan Belanda memberi saran para pujangga Jawa untuk menulis cerita atau kisah mirip orangBarat dan tidak selalu berdasarkan mitologi, cerita wayang, dan sebagainya. Maka, lalu muncullah karyasastra seperti di Dunia Barat; esai, roman, novel, dan sebagainya. Genre yang cukup populer adalah tentangperjalanan.
Gaya bahasa pada masa ini masih mirip dengan Bahasa Jawa Baru. Perbedaan utamanya ialah semakin banyak digunakannya kata-kata Melayu, dan juga kata-kata Belanda.
Pada masa ini (tahun 1839, oleh Taco Roorda) juga diciptakan huruf cetak berdasarkan aksara Jawa gayaSurakarta untuk Bahasa Jawa, yang kemudian menjadi standar di pulau Jawa.

e

Daftar Pustaka
• Amin, Drs, Darori, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000.
• Astianto, Henny, Filsafat Jawa, Yogyakarta: Warta Pustaka, 2006.
• Faruqi, Ismail R, Islam dan Kebudayaan, Bandung: MIZAN, 1984.
• Hasan, M, Tholhah, Islam dalam Perspektif Sosial Cultural, Jakarta: Lata Bora Pers, 1987.
• Padmosoekotjo, Ngengrengan Kasusastran Djawa. Jogjakarta: Hien Hoo Sing, 1960.









BASA JAWA

Bahasa Jawa adalah bahasa tutur yang digunakan oleh penduduk asli suku Jawa terutama yang tinggal di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta. 
namun dalam prakteknya, tidak semua bahasa satu daerah sama. Bahasa Jawa memiliki ragam dialek yang sangat banyak sekali. 
berikut sedikit dialek yang menguasai daerah Jawa :
1. Bahasa Jawa Semarang adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di Karesidenan Semarang. Dialek ini tak banyak berbeda dengan dialek di daerah Jawa lainnya. Semarang termasuk daerah pesisir Jawa bagian utara, maka tak beda dengan daerah lainnya, YogyakartaSoloBoyolali dan Salatiga. Walau letak daerah Semarang yang heterogan dari pesisir (Pekalongan/Weleri, Kudus/Demak/Purwodadi) dan dari daerah bagian selatan/pegunungan membuat dialek yang dipakai memiliki kata ngokongoko andhap dan madya di Semarang ada di zaman sekarang.
·         Frasa: "Yo ora.." (Ya tidak) dalam dialek semarang menjadi "Yo orak too ". Kata ini sudah menjadi dialek sehari-hari para penduduk Semarang.
·         Contoh lain: " kuwi ugo" (itu juga) dalam dialek Semarang menjadi "kuwi barang" ("barang" diucapkan sampai sengau memakai huruf h "bharhang").
Para pemakai dialek Semarang juga senang menyingkat frasa, misalnya Lampu abang ijo (lampu lalu lintas) menjadi "Bang-Jo", Limang rupiah (5 rupiah) menjadi "mang-pi", kebun binatangmenjadi "Bon-bin", seratus (100) menjadi "nyatus", dan sebagainya. Namun tak semua frasa bisa disingkat, sebab tergantung kepada kesepakatan dan minat para penduduk Semarang mengenai frasa mana yang disingkat. Jadi contohnya "Taman lele" tak bisa disingkat "Tam-lel" juga Gedung Batu tak bisa menjadi "Ge-bat", dsb.
Namun ada juga kalimat-kalimat yang disingkat, contohnya; "Kau lho pak mu Nadri" artinya "Itu lho pamanmu dari Wanadri". "Arep numpak Kijang kol" artinya akan menumpang omprengan. Zaman dulu kendaraan omprengan biasa menggunakan mobil merk "Colt", disebut "kol" maka setelah diganti "Toyota Kijang" menjadi Kijang-kol. Apa lacur kini ada yang menjadi "mercy-kol".
Adanya para warga/budaya yang heterogen dari Jawa, TiongkokArabPakistan/India juga memiliki sifat terbuka dan ramah di Semarang tadi, juga akan menambah kosakata dan dialektik Semarang di kemudian hari. Adanya bahasa Jawa yang dipergunakan tetap mengganggu bahasa Jawa yang baku, sama dengan di daerah Solo. Artinya, jika orang Kudus, Pekalongan, Boyolali pergi ke kota Semarang akan gampang dan komunikatif berkomunikasi dengan penduduknya.
Dialek Semarang memiliki kata-kata yang khas yang sering diucapkan penuturnya dan menjadi ciri tersendiri yang membdakan dengan dialek Jawa lainnya. Orang Semarang suka mengucapkan kata-kata seperti "Piye, jal?" (=Bagaimana, coba?) dan "Yo, mesti!". Orang semarang lebih suka menggunakan kata "He'e" daripada "Yo" atau "Ya".
Orang Semarang juga lebih banyak menggunakan partikel "ik" untuk mengungkapkan kekaguman atau kekecewaan yang sebenarnya tidak dimiliki oleh bahasa Jawa. Misalnya untuk menyatakan kekaguman :"Alangkah indahnya!", orang Semarang berkata: "Apik,ik!". Contoh lain untuk menyatakan kekecewaan: "Sayang, orangnya pergi!", orang Semarang berkata: "Wonge lungo, ik"!.
Partikel "ik" kemungkinan berasal dari kata "iku" yang berarti "itu' dalam bahasa Jawa, sehingga untuk mengungkapkan kesungguhan orang Semarang mengucapkan "He'e, ik!" atau "Yo, ik".
Beberapa kosakata khas Semarang adalah: "semeh" Yang berarti "ibu" dan "sebeh" yang berarti "ayah", yang dalam dialek Jawa yang lain, "sebeh" sering dipakai dalam arti "mantra" atau "guna-guna"
2. Bahasa Jawa Surakarta adalah dialek bahasa Jawa yang diucapkan di daerah Surakarta dan sekitarnya. Dialek ini menjadi standar bagi pengajaran bahasa Jawa.
Meskipun satu rumpun, Bahasa Jawa di tiap daerah di Jawa Tengah mempunyai ciri-ciri tersendiri yang khas mencerminkan dari mana asal Bahasa Jawa tersebut.
Untuk istilah "dingin" di Surakarta menggunakan kata Bahasa Jawa "adem", sedangkan orang yang tinggal di Semarang menyebutnya "atis". Contoh:
"'Lha piye tho, aku meh mangkat nanging ra duwe duit."
("Bagaimana ini, saya akan berangkat tapi tidak punya uang.")
"Mbok kowe mesake aku, dijilehi duit piro wae sak nduwekmu."
("Kasihani aku, dipinjami uang berapa saja yang kamu punya.")
"Sesok tak baleke yen wis oleh kiriman soko mbakyu ku."
("Besok (dalam waktu yang tidak bisa ditentukan kapan) saya kembalikan kalau sudah dapat kiriman dari kakak perempuan saya.")

3. Dialek Surabaya atau lebih sering dikenal sebagai bahasa Suroboyoan adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di Surabaya dan sekitarnya. Dialek ini berkembang dan digunakan oleh sebagian masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Secara struktural bahasa, bahasa Suroboyoan dapat dikatakan sebagai bahasa paling kasar. Meskipun demikian, bahasa dengan tingkatan yang lebih halus masih dipakai oleh beberapa orang Surabaya, sebagai bentuk penghormatan atas orang lain. Namun demikian penggunaan bahasa Jawa halus (madya sampai krama) di kalangan orang-orang Surabaya kebanyakan tidaklah sehalus di Jawa Tengah terutama Yogyakarta dan Surakarta dengan banyak mencampurkan kata sehari-hari yang lebih kasar.
Beberapa kosa kata khas Suroboyoan:
·         "Pongor, Gibeng, Santap, Waso (istilah untuk Pukul atau Hantam);
·         "kathuken" berarti "kedinginan" (bahasa Jawa standar: kademen);
·         "gurung" berarti "belum" (bahasa Jawa standar: durung);
·         "gudhuk" berarti "bukan" (bahasa Jawa standar: dudu);
·         "deleh" berarti "taruh/letak" (delehen=letakkan) (bahasa Jawa standar: dekek);
·         "kek" berarti "beri" (kek'ono=berilah) (bahasa Jawa standar: wenehi);
·         "ae" berarti "saja" (bahasa Jawa standar: wae);
·         "gak" berarti "tidak" (bahasa Jawa standar: ora);
·         "arek" berarti "anak" (bahasa Jawa standar: bocah);
·         "kate/kape" berarti "akan" (bahasa Jawa standar: arep);
·         "lapo" berarti "sedang apa" atau "ngapain" (bahasa Jawa standar: ngopo);
·         "opo'o" berarti "mengapa" (bahasa Jawa standar: kenopo);
·         "soale" berarti "karena" (bahasa Jawa standar: kerono);
·         "atik" (diucapkan "atek") berarti "pakai" atau "boleh" (khusus dalam kalimat"gak atik!" yang artinya "tidak boleh");

4. Dialek Banyumasan atau sering disebut Bahasa Ngapak adalah kelompok bahasa bahasa Jawa yang dipergunakan di wilayah barat Jawa Tengah,Indonesia. Beberapa kosakata dan dialeknya juga dipergunakan di Banten utara serta daerah Cirebon-Indramayu. Logat bahasanya agak berbeda dibanding dialek bahasa Jawa lainnya. Hal ini disebabkan bahasa Banyumasan masih berhubungan erat dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi).
Bahasa Banyumasan terkenal dengan cara bicaranya yang khas. Dialek ini disebut Banyumasan karena dipakai oleh masyarakat yang tinggal di wilayah Banyumasan.
Seorang ahli bahasa Belanda, E.M. Uhlenbeck, mengelompokan dialek-dialek yang dipergunakan di wilayah barat dari Jawa Tengah sebagai kelompok (rumpun) bahasa Jawa bagian barat (Banyumasan, Tegalan, Cirebonan dan Banten Utara). Kelompok lainnya adalah bahasa Jawa bagian Tengah (Surakarta, Yogyakarta, Semarang dll) dan kelompok bahasa Jawa bagian Timur.
Kelompok bahasa Jawa bagian barat (harap dibedakan dengan Jawa Barat/Bahasa Sunda) inilah yang sering disebut bahasa Banyumasan (ngapak-ngapak).
Secara geografis, wilayah Banten utara dan Cirebon-Indramayu memang berada di luar wilayah berbudaya Banyumasan tetapi menurut budayawan Cirebon TD Sudjana, logat bahasanya memang terdengar sangat mirip dengan bahasa Banyumasan. Hal ini menarik untuk dikaji secara historis.
Dibandingkan dengan bahasa Jawa dialek Yogyakarta dan Surakarta, dialek Banyumasan banyak sekali bedanya. Perbedaan yang utama yakni akhiran 'a' tetap diucapkan 'a' bukan 'o'. Jadi jika di Solo orang makan 'sego' (nasi), di wilayah Banyumasan orang makan 'sega'. Selain itu, kata-kata yang berakhiran huruf mati dibaca penuh, misalnya kata enak oleh dialek lain bunyinya ena, sedangkan dalam dialek Banyumasan dibaca enakdengan suara huruf 'k' yang jelas, itulah sebabnya bahasa Banyumasan dikenal dengan bahasa Ngapak atau Ngapak-ngapak.

Dalam dalam satu kota pun terkadang masih banyak lagi logat daerah yang beragam. misalnya dalam lingkup kecil aja, logat daerah Pati akan ada perbedaan logat Jepara, Kudus. ini menjadi satu kekayaan budaya yang dimiliki Jawa.



 
Free Website templatesfreethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesFree Soccer VideosFree Wordpress ThemesFree Web Templates